Pengesahan RUU Cipta Kerja tahun ini memunculkan skeptisisme rakyat terhadap pemerintahan Jokowi—bahkan tidak jarang label otoritarianisme dipakai. Apakah pada kenyataannya penggunaan label ini terhadap pemerintahan Jokowi dapat dibilang valid?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai tujuh persen dengan catatan iklim investasi beserta regulasinya betul-betul terbuka dan memberikan kesempatan untuk investor lokal bergerak menciptakan pertumbuhan ekonomi. Namun, selama berlangsungnya masa periode kedua kepresidenan Jokowi hingga saat ini, ekonomi Indonesia tetap mengalami pertumbuhan yang stagnan. Bahkan, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat pada 4 hingga 5 persen dan tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 6,5 persen (Badan Pusat Statistika, 2011).
Disparitas yang ada antara realita dengan impian Jokowi mendorong pemerintahannya untuk mencari suatu alternatif yang dapat mengubah status quo secara drastis. Dampak dari alternatif ini adalah tendensi yang dapat mengikis elemen demokrasi sebagai dasar pemerintahan Indonesia. Alternatif yang dimaksud adalah manifestasi dalam berbagai pasal yang tercantum di dalam RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Selain urgensi ekonomi sebagai motif utamanya, proses pembentukan ini juga dipermudah oleh iklim sosio-ekonomi yang tercipta atas konsekuensi dari pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 menjadi momentum yang tepat untuk membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja. Masyarakat kehilangan fokus untuk memperhatikan isu selain dalam bidang kesehatan karena pandemi yang semakin parah. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah angka positif yang terus bertambah dan mengkhawatirkan. Berdasarkan data terakhir Satgas COVID-19 (11/11/20) jumlah korban yang terinfeksi sebanyak 448.118, dengan 378.982 korban dinyatakan sembuh, dan 14.836 meninggal dunia. Banyaknya korban yang terinfeksi dan meninggal dunia menjadikan isu-isu kesehatan sebagai fokus utama daripada isu politik dan ekonomi.
Linz (1978) dalam bukunya berargumen bahwa berbagai problematika sosio-ekonomi memfasilitasi adanya keruntuhan demokrasi, bahkan hingga transisi menuju otoritarianisme. Otoritarianisme merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan yang sudah lama digunakan oleh berbagai negara, walaupun ada beberapa perbedaan definisi yang diberikan satu pemikir dengan yang lain. Secara garis besar otoritarianisme memiliki empat karakteristik utama: terbatasnya representasi politik rakyatnya; legitimasi politik yang menggunakan basis emosional serta glorifikasi rezim; mobilisasi politik yang rendah; serta kekuatan eksekutif yang ambigu (Linz, 2000).
Langkah pemerintah dalam membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja dianggap menyalahi aturan sejak awal dan menerima penolakan dari berbagai kalangan, seperti buruh, mahasiswa dan akademisi. Guru Besar Hukum Unpad, Susi Dwi Harijanti, membacakan pernyataan sikap para akademisi secara virtual (7/10/20) yang menyatakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja lantaran observasi jumlah penyimpangan dalam proses pembahasan hingga isi undang-undang yang disahkan dalam rapat paripurna DPR (5-10-20).
Banyaknya penyimpangan dalam proses pembahasan sampai pengesahan RUU Cipta Kerja membuat berbagai kalangan seperti buruh dan mahasiswa menyatakan aksi protes melalui aksi demonstrasi di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Namun, pemerintah dianggap melakukan represi terhadap aspirasi politik rakyat. Buruh dan mahasiswa yang mengikuti aksi demonstrasi di berbagai daerah mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan. Seperti di Surabaya, sekitar 180 demonstran mengalami kekerasan fisik oleh polisi dan kemudian ditangkap. Aparat keamanan tetap melakukan tindak kekerasan kepada para demonstran meskipun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD, secara resmi menyatakan bahwa unjuk rasa diperbolehkan seperti yang telah diatur pada UU No. 9 Tahun 1998.
Selain itu, “Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja” yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum UGM (2020) mengidentifikasi berbagai polemik RUU Cipta Kerja. Pertama, RUU Cipta Kerja memiliki permasalahan-permasalahan krusial apabila ditinjau dari aspek metodologis, paradigma, dan substansi pengaturan di dalam bidang-bidang kebijakan. Kedua, menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk mewujudkan pembangunan memang dianggap penting, namun upaya ini perlu dibangun dengan tidak mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Ketiga, terdapat kontradiksi dalam maksud perancangan RUU Cipta Kerja.
Di satu sisi, RUU ini dirancang dengan maksud mengatasi permasalahan pengaturan bidang terkait pembangunan dan investasi yang tumpang tindih. Namun, di sisi lain RUU ini mensyaratkan adanya sekitar 500 aturan turunan sehingga berpotensi melahirkan pengaturan yang berlebihan dan jauh lebih kompleks. Terakhir, partisipasi sebagai aspek penting dalam penyusunan peraturan undang-undang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas tidak dianggap penting dan cenderung diabaikan.
Glorifikasi rezim pun terlihat melalui pejabat pemerintahan yang mendukung penerbitan RUU Cipta Kerja dengan klaim bahwa UU ini akan mendatangkan berbagai manfaat, seperti ketertarikan investor untuk menanam modal di Indonesia. Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, dalam diskusi Rekat Anak Bangsa bertajuk “Melawan Resesi” (15/8/20) mengatakan bahwa investor enggan datang ke Indonesia sebelum ada RUU Cipta Kerja karena kepastian hukum yang rendah, sulitnya perizinan, dan biaya logistik yang mahal. Menurutnya, dengan adanya RUU Cipta Kerja, permasalahan tersebut terselesaikan dengan mudah.
Namun, berbeda dengan pendapat pejabat pemerintahan yang mendukung RUU Cipta Kerja, Faisal Basri, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, berpendapat bahwa pertumbuhan investasi di Indonesia cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bahkan menurutnya, pemerintahan Jokowi menciptakan rekor tertinggi dalam jumlah investasi yang masuk sehingga jumlah investasi bukanlah masalah di Indonesia. Masalahnya adalah buruknya birokrasi dan peraturan yang selama ini menyulitkan investor untuk menanam modal serta maraknya tindak korupsi yang mengakibatkan ketimpangan antara pemasukan dan hasil investasi.
Selanjutnya, mobilisasi politik pada masa pemerintahan Jokowi juga tidak efektif. Suatu aksi dapat dikatakan sebagai mobilisasi politik apabila usaha tersebut terstruktur dan memiliki dasar kepentingan kolektif. Berbagai gerakan dengan latar belakang yang kurang selaras dan struktur yang nihil tidak bisa dengan mudahnya diklasifikasikan sebagai mobilisasi politik (Netti, 1967). Batasan ini dipasang karena sejarah advokasi konsep mobilisasi politik yang mendorong kepercayaan bahwa organisasi tidak berstruktur cenderung gagal dalam melaksanakan mobilisasi.
Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan demikian terkait konsep mobilisasi politik dianggap problematis karena mengenyampingkan aksi-aksi dari kelompok tanpa struktur tanpa memperhatikan capaian yang diraih. Hal ini menjadi dasar advokasi pembuatan definisi ulang mengenai konsep tersebut. Sebagai upaya konseptualisasi ulang, Nedelmann (1987) menjelaskan bahwa mobilisasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai usaha partisipasi aktif publik dalam memberikan pengaruh terhadap distribusi kekuasaan dalam suatu sistem politik yang ada. Mobilisasi mungkin memang kerap muncul pada masa pemerintahan Jokowi, namun muncul pertanyaan seberapa relevannya aksi-aksi yang dilaksanakan dalam memengaruhi distribusi kekuasaan sistem politik di Indonesia.
Gejayan Memanggil menjadi suatu aksi penanda resistensi rakyat terhadap situasi negara domestik dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap meragukan. Meskipun bukan katalis penolakan terhadap Revisi UU KPK, pergerakan ini yang menjadi penanda awal meleknya mahasiswa akan ketidakjelasan politik yang ada. Hal ini demikian karena berbeda dengan pergerakan mahasiswa di wilayah lain, Gejayan merupakan lokasi yang strategis—dekat dengan berbagai universitas di Jogja.
Skala Gejayan Memanggil menjadikan aksi tersebut sebagai rujukan kulminasi aksi demokrasi di Indonesia dekade lalu. Aksi dengan skala yang tidak kalah besarnya muncul sebagai upaya untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. Merujuk pada kedua aksi ini, dapat dilihat bahwa rakyat Indonesia sudah memiliki kesadaran kolektif untuk berpartisipasi langsung dalam kegiatan politik. Akan tetapi, mobilisasi politik bukanlah hanya ajang untuk menunjukkan keaktifan rakyat dalam aktivitas-aktivitas yang bersifat politis. Perlu ada capaian yang jelas—pengaruh terhadap status quo—agar suatu aksi bisa secara efektif dianggap sebagai mobilisasi politik.
Tuntutan utama yang diajukan dalam Gejayan Memanggil salah satunya adalah peninjauan ulang terkait revisi UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang pada saat itu segera disahkan. Revisi UU KPK dianggap melemahkan karakter independen yang merupakan ciri khas KPK dengan memperkuat pengawasan terhadapnya. Eksistensi gerakan-gerakan yang menolak kebijakan yang dianggap menyeleweng ini terjadi di berbagai tempat dengan skala yang masif. Namun pada realitanya, hal tersebut tidak menghentikan pemerintah dalam mengesahkan revisi UU KPK.
Revisi UU KPK yang disahkan pada 17 September 2019 tetap juga tidak dicabut. Aksi dengan skala serupa juga kembali muncul sebagai upaya untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja karena dinilai merugikan banyak pihak dan prosesnya yang tidak transparan. Seperti menyaksikan ulang suatu kejadian sejarah, RUU Cipta Kerja resmi disahkan pada 5 Oktober 2020—awal-awal munculnya menarik berbagai resistensi—dan hingga saat ini belum ada tanda-tanda pemerintah menarik Undang-undang tersebut.
Pemerintah yang enggan mempertimbangkan reaksi-reaksi yang timbul sebagai alasan untuk mengkaji ulang kebijakan-kebijakan ini menyebabkan mobilisasi politik tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Padahal, tujuan akhir dari mobilisasi politik adalah tepat untuk mengubah struktur politik yang ada dengan memberikan kesadaran akan urgensi perubahan tersebut kepada pemerintah yang ada. Apabila hal ini tidak tercapai, dapat dikatakan bahwa pada akhirnya mobilisasi politik yang ada tidak efektif karena tidak“memobilisasi politik. Sebelum sampai pada hal tersebut, pemerintah juga melakukan berbagai respons represif untuk meredam gerakan resistensi. Aksi penolakan RUU Cipta Kerja sarat akan kekerasan oleh polisi; tangan kosong, peluru karet, dan gas air mata digunakan. Sikap abai dan represif sebagai respons pemerintah terhadap berbagai tuntutan demokrasi mampu mengikis rezim demokrasi, bahkan berpotensi mendorong peralihan menuju rezim otoritarianisme.
Pemerintahan Jokowi juga menunjukkan kekuatan eksekutif yang bersifat ambigu. Ambigu dalam maksud ketidakjelasan batas kekuatan yang dimiliki oleh pemerintahan eksekutif. Kekuatan tersebut dapat disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi. Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan salah satu penyelewengan kekuatan ini. Pengesahan RUU Cipta Kerja menggambarkan pemerintah memelihara oligarki kapitalis dan merugikan buruh.
Beberapa kritik mengenai isi RUU Cipta Kerja meliputi penghapusan sanksi pidana untuk perbuatan pidana lingkungan hidup, penghilangan fungsi pemerintah sebagai pengontrol jalannya perizinan, pengubahan pasal 19 UU SBP pada pasal 32 RUU Cipta Kerja yang mengubah syarat pengalihfungsian lahan dan munculnya pasal 142 RUU Cipta Kerja tentang penghapusan AMDAL (Fakultas Hukum UGM, 2020). Dapat dilihat bahwa pasal-pasal di atas berpotensi merusak lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa kekuasaan oligarki sangat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang cenderung lebih condong kepada kepentingan-kepentingan pihak yang terlibat.
Sikap pemerintah dalam menanggapi berbagai reaksi masyarakat dalam pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja juga mengindikasikan aspek-aspek otoritarianisme. Pemerintahan telah membatasi representasi politik rakyat dengan menghiraukan berbagai protes dan melakukan tindakan kekerasan kepada para demonstran. Kemudian, glorifikasi rezim juga terbentuk dengan adanya elite pemerintah yang mendukung pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja meskipun menerima pertentangan. Selanjutnya, walaupun sudah muncul banyak aksi-aksi sebagai upaya resistensi, mobilisasi politik yang ada dapat dibilang tidak efektif. Terakhir, kekuatan eksekutif yang ambigu terlihat di pengesahan RUU Cipta Kerja yang mengesampingkan kepentingan banyak kalangan untuk memuaskan elite dan golongan oligarki.
Dapat disimpulkan dengan menilik karakteristik-karakteristik yang disampaikan oleh Linz bahwa pemerintahan saat ini melalui pengesahan RUU Cipta Kerja berpotensi mengalami transisi menuju rezim otoritarianisme. Perlu dipahami bahwa transisi demikian tidak berlangsung sekejap, namun melalui indikasi-indikasi pengikisan rezim seperti pelemahan-pelemahan lembaga, peredaman aksi, naiknya oligarki, dan hal lainnya. Meskipun secara resmi sistem pemerintahan Indonesia sekarang belum bisa dianggap sebagai otoritarianisme, sistem demokrasi dapat terancam apabila tren yang ada terus dipelihara. Suatu kesadaran akan pentingnya demokrasi sudah tidak cukup, sehingga perlu adanya tinjauan kritis untuk memformulasikan metode-metode yang dapat membendung tren ini.
Penulis: May Latifah dan Rumi Rayhan Pekerti (Magang)
Penyunting: Safira Tafani Cholisi
Ilustrator: Dwi Nanda Renaldy Syah (Magang)
Referensi
Baihaqi, A. (2020). Terkait Demo Omnibus Law, Kontras Surabaya Laporkan Polisi Ke Ombudsman. [online] detiknews. Available at: <https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5252367/terkait-demo-omnibus-law-kontras-surabaya-laporkan-polisi-ke-ombudsman> [Accessed 18 November 2020]
Bernie, M. (2020). Parade Kekerasan Oleh Polisi Buktikan Reformasi Memang Dikorupsi – Tirto.ID. [online] tirto.id. Available at: <https://tirto.id/parade-kekerasan-oleh-polisi-buktikan-reformasi-memang-dikorupsi-f5PR> [Accessed 18 November 2020].
CNN Indonesia. (2020). Cara Otoriter Pemerintah Dapat Stempel Buruh Di Omnibus Law. [online] CNN Indonesia. Available at: <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200217174020-32-475439/cara-otoriter-pemerintah-dapat-stempel-buruh-di-omnibus-law%0A> [Accessed 18 November 2020].
CNN Indonesia. (2020). Mengukur Sahih Tudingan Nuansa Orde Baru Di Rezim Jokowi. [online] CNN Indonesia. Available at: <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201021144813-32-561063/mengukur-sahih-tudingan-nuansa-orde-baru-di-rezim-jokow> [Accessed 18 November 2020].
Debora, Y. (2020). Isi Tuntutan Demo Mahasiswa Gejayan Memanggil 2 Pada 30 September – Tirto.ID. [online] tirto.id. Available at: <https://tirto.id/isi-tuntutan-demo-mahasiswa-gejayan-memanggil-2-pada-30-september-eiXu> [Accessed 18 November 2020].
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. (2020). ‘Catatan Kritis Dan Rekomendasi Terhadap Ruu Cipta Kerja’.
Idris, M. (2020). Janji Jokowi Pertumbuhan Ekonomi Meroket 7 Persen Dan Realisasinya Pada 2015-2020 Halaman All – Kompas.Com. [online] KOMPAS.com. Available at: <https://money.kompas.com/read/2020/10/20/090200126/janji-jokowi-pertumbuhan-ekonomi-meroket-7-persen-dan-realisasinya-pada-2015?page=all> [Accessed 18 November 2020].
Linz, J. J., & Linz, J. J. (2000). Totalitarian and authoritarian regimes. Lynne Rienner Publishers.
Nedelmann, B. (1987). Individuals and parties—Changes in processes of political mobilization. European Sociological Review, 3(3), 181-202.
Nettl, J. P. (1967). Political mobilization: A sociological analysis of methods and concepts. London: Faber.
Nurmoko, A. H. (2020). Urgensi Menghadapi Krisis : New Normal atau Manajemen Krisis , Ekonomi Mandiri atau Kapitalisme Oligarki, (July).
Przeworski, A. (1991). Democracy and the market: Political and economic reforms in Eastern Europe and Latin America. Cambridge University Press.
Ramli, R. (2020). Luhut: Percayalah Pemerintah Memberikan Yang Terbaik Buat Rakyat. [online] KOMPAS.com. Available at: <https://money.kompas.com/read/2020/08/17/133000926/luhut–percayalah-pemerintah-memberikan-yang-terbaik-buat-rakyat> [Accessed 18 November 2020].
Riansyah, E. (2020). Para Pebisnis Tambang Dan Energi Kotor Di Balik Omnibus Law: – Greenpeace Indonesia. [online] Greenpeace Indonesia. Available at: <https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/44060/para-pebisnis-tambang-dan-energi-kotor-di-balik-omnibus-law/> [Accessed 18 November 2020].
Shorten, R. (2012). Modernism and Totalitarianism. Rethinking the 1ntellectua.
Sihite, E. and Firdaus, E., (2020). Guru Besar Dan Para Dosen Kampus Ternama Tolak Omnibus Law. [online] Viva.co.id. Available at: <https://www.viva.co.id/berita/nasional/1309730-guru-besar-dan-para-dosen-kampus-ternama-tolak-omnibus-law> [Accessed 18 November 2020].
Sugiharto, J. (2020). Tok! Revisi UU KPK Disahkan DPR. [online] Tempo. Available at: <https://nasional.tempo.co/read/1248836/tok-revisi-uu-kpk-disahkan-dpr> [Accessed 18 November 2020].
Sukmawijaya, A. (2020). Membandingkan Pertumbuhan Ekonomi Era SBY Dan Jokowi. [online] Available at: <https://kumparan.com/kumparanbisnis/membandingkan-pertumbuhan-ekonomi-era-sby-dan-jokowi-1549415979213066574/full> [Accessed 18 November 2020].