Pada Rabu (10-07), Transparency International Indonesia (TII) bekerja sama dengan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan diskusi bertajuk “KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi”. Diskusi ini diadakan sebagai respons atas pengumuman sembilan anggota panitia seleksi pimpinan dan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diskusi dihadiri oleh tiga narasumber; Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM; Wawan Suyatmiko, Deputi Sekretaris Jenderal TII; dan Wasingatu Zakiyah, Direktur Caksana Institute.
Diskusi dibuka dengan Zainal yang berpendapat bahwa sejak disahkannya Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tidak lagi menjadi tonggak utama dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, menurutnya seleksi calon komisioner KPK saat ini tidak akan cukup untuk memulihkan KPK. Zainal menjelaskan bahwa harapan untuk memperbaiki KPK hanya akan muncul jika undang-undang tersebut diubah. “Undang-undangnya enggak berubah, kan? Jadi, kita enggak bisa [berharap banyak pada KPK-red],” ujar Zainal.
Wawan turut mengonfirmasi pendapat Zainal dengan menjelaskan penurunan kinerja KPK yang signifikan setelah peraturan tersebut disahkan. Menurut paparannya, KPK merupakan lembaga yang dibiayai oleh uang rakyat sehingga kinerja yang baik menjadi bentuk pertanggungjawaban dari penggunaan uang rakyat. “Kalau performanya tadi seperti yang ada di hasil kajian kami, ya itu lah yang harus menjadi catatan bahwa mereka harus dikritisi,” ucap Wawan.
Selanjutnya, Zakiyah menegaskan bahwa masyarakat sipil perlu ikut serta dalam mengusulkan nama calon pimpinan dan dewan pengawas KPK. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan salah satu langkah nyata masyarakat sipil untuk mengawal seleksi calon komisioner KPK. “Kita bisa dorong sama-sama, mau enggak mau, ya peran masyarakat sipil memang harus begitu,” ungkap Zakiyah.
Mahmud, perwakilan dari Institute for Research and Empowerment, menyebutkan bahwa gerakan masyarakat sipil untuk melawan korupsi sebenarnya sudah ada sejak awal era reformasi. Pendapat ini didukung oleh Zaenur Rohman, peneliti PUKAT, yang memberi contoh para akademisi UGM yang secara aktif membuat petisi, seperti Petisi Bulaksumur. Zaenur juga menekankan bahwa gerakan masyarakat sipil harus lebih luas dan tidak hanya terbatas pada sektor akademik. “Cara merawat optimisme [sampai-red] 5 tahun ke depan [harus dicari-red] agar gerakan yang masih di sektoral bisa terhubung dan bersolidaritas,” tutur Zaenur.
Melihat posisi masyarakat sipil yang sangat penting dalam mengawal gerakan antikorupsi, Wawan menyampaikan pentingnya pembentukan pos komando (posko) pengawalan. Posko ini nantinya akan menjadi pusat informasi dan pengawalan kinerja KPK. Wawan menyatakan bahwa posko tersebut tidak hanya bertujuan mencari calon pimpinan dan dewan pengawas KPK, tetapi juga menjadi tempat edukasi bagi masyarakat mengenai KPK. “Jadi, orang-orang datang ke posko itu juga bertanya [mengenai-red] KPK kedepannya,” ujar Wawan.
Mengakhiri diskusi, Wawan menekankan pentingnya fokus pada penguatan gerakan masyarakat sipil. Meskipun KPK mengalami tekanan, masyarakat sipil harus tetap berdaya dan kritis dalam menuntut akuntabilitas. “Sebenarnya, [upaya-red] anti korupsi di Indonesia itu bukan bersandar pada KPK, tapi bersandar pada gerakan masyarakat sipil itu sendiri,” tegas Wawan.
Penulis: Aditya Rizky Nugroho dan Leoni Nevia
Penyunting: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing
Fotografer: Fatimah Azzahrah