Dalam pusaran kuasa dan hegemoni musik arus utama, dangdut terus-menerus mengalami pergeseran. Namun, ada satu aliran dangdut yang berhasil melampaui logika industri musik Indonesia. Dangdut itu bernama koplo.
Dang-dut, dang-dut, dang-dut. Tak-tuk, tak-tuk, tak-tuk. Saat dangdut digelar, masyarakat tidak lagi tersebar. Ratusan bahkan ribuan massa akan mengerubungi acara apa pun itu, dari hajatan besar hingga khitanan; asalkan dangdut koplo musiknya. Lagu-lagu yang diputar pun itu-itu saja. Paling-paling, iramanya diubah sedikit. Selama akses ke musiknya murah dan lagunya bernuansa kedaerahan, semua orang bisa bergoyang. Dangdut koplo bisa menggoyang kemapanan.
Namun sayang seribu sayang, halang rintang terus dihadapkan kepada para pegiat dangdut koplo. Mereka, para pegiat dangdut koplo, kerap dihina karena musiknya dianggap musik orang miskin nan kampungan. Kerap juga, musik mereka dihina karena dianggap tak sesuai dengan standar moral masyarakat. Lantas, bagaimana dangdut koplo bertahan di tengah terpaan musik populer?
Rezim Rhoma Mengatur Irama
Semua bermula dari kehadiran musik dangdut ke permukaan. Sebagai musik yang terhitung “berbeda” pada masanya, dangdut berhasil menjadi musik tandingan, khususnya dalam kancah musik populer. Dalam sejarahnya, dangdut bukanlah berasal dari satu musik yang tunggal, melainkan serapan dari musik-musik yang sudah ada. Asal mula istilah dangdut sendiri sulit diidentifikasi. Ada yang bilang dangdut berasal dari cemoohan musisi pop tahun 1970-an. Namun, para pegiat dangdut tahun ‘70-an menyatakan istilah dangdut diambil dari irama dan birama uniknya yang menghasilkan bunyi seperti “dang-dut”. Walaupun sebenarnya sejarah dangdut tercacah, para musisi dangdut ternama, seperti Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih, mendaku dangdut berasal dari orkes Melayu ataupun musik India (Simatupang 1996; Weintraub 2010).
Dalam praktiknya, lagu dangdut didominasi nuansa percintaan sehingga bertalian dengan anak muda. Lebih-lebih, ada kesadaran bahwa dangdut adalah sarana pembebasan dalam bentuk ekspresi diri dan perayaan kesenangan. Itu alasan dangdut sukses mendulang penggemar hingga mancanegara, yang kesemuanya adalah masyarakat sipil (Weintraub 2013).
Di samping itu, musisi dangdut tersohor pasti memiliki kecenderungan ideologi politiknya. Sebut saja Bang Rhoma Irama yang bertahun-tahun “mendakwahkan” Islam via musik dangdutnya. Pada masa kampanye Pemilu 1977, Bang Rhoma resmi memulai debutnya sebagai juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang saat itu dipimpin Djaelani Naro. Pasca-bergabungnya Bang Rhoma dengan PPP, karier politiknya kian moncer. Kritik terhadap Pemerintahan Orde Baru sekaligus strategi menggencarkan doktrin Islam konservatif berhasil menarik massa (Arifa 2022; Darajat 2023).
Walaupun jelang Pemilu 1987 Rhoma menyatakan pamit dari PPP dan dunia politik praktis, eksistensinya tetap berhasil mendongkrak posisi politisnya. Bang Rhoma, justru terpilih menjadi anggota MPR yang mewakili utusan golongan seniman sepanjang medio ‘90-an. Bang Rhoma menduduki posisi ini dari 1992–1997. Kesuksesan dakwah politik Rhoma via dangdut nyatanya tak hanya berhenti pada kritiknya terhadap Orde Baru atau penggencaran doktrin Islam konservatif, tetapi bahkan menyangkal laku musik yang dijalankan oleh artis lainnya. Siasatnya menggunakan dangdut sebagai alat politik terbukti mangkus (Arifa 2022; Darajat 2023).
Dengan wacana yang dibangun Rhoma, ia mempunyai dominasi untuk mengontrol laku musik dangdut itu sendiri. Salah satunya terbukti dari dominasi Rhoma terhadap Elvy Sukaesih. Rhoma menetapkan bahwa Elvy hanya boleh melakukan pentas dan rekaman bersama Soneta. Hal ini dilakukan Rhoma sebagai upaya untuk memantapkan aspek legal dalam musik dangdut sehingga logika produksi musik arus utama juga bisa diimplementasikan dalam dangdut (Darajat 2023).
Pada akhirnya, bukan hanya musik arus utama yang mengeksklusi kelahiran musisi alternatif lainnya. Bahkan, musik dangdut ala Rezim Rhoma Irama–yang pernah ditentang dan menentang musisi arus utama–tak tinggal diam saat praktik ekonomi dangdut terusik dengan musik dangdut pinggiran. Dengan melalui Persatuan Artis Musik Melayu-Dangdut Indonesia (PAMMI), Rezim Rhoma Irama, bersama-sama, mengeluarkan pelbagai pernyataan tentang dangdut yang asli sekaligus menyebarkan kebencian tentang musisi dangdut yang baru muncul, khususnya koplo.
Dangdut pun harus diteraturkan (baca: didisiplinkan) sesuai dengan marwah melayunya menurut mereka (Darajat 2023). Hal tersebut tidak mengherankan. Pasalnya, Rhoma Irama memang menyusun modal kekuasaanya dengan merujuk langsung musik yang ia bawakan ke irama Melayu Deli. Menurut Rhoma, musik dangdutnya merupakan musik asli yang kembali kepada “akarnya”.
Tak hanya pada konstruksi wacana identitas musikal, Rezim Rhoma Irama ini juga berhasil membubuhkan stigma terhadap musisi baru dangdut pada saat itu. Salah satu laku unjuk kuasa oleh Rezim Rhoma Irama adalah pemboikotan terhadap musik dangdut koplo Inul Daratista. Rezim Rhoma Irama menilai dangdut koplo dan goyangan Inul telah mencederai musik dangdut, mengundang berahi, dan merusak moral bangsa. Dalam suatu pertemuan, Rhoma berbisik kepada Inul, ”Tahu nggak kamu, kemarin di TV ada seseorang yang memerkosa anak karena ia baru saja melihat VCD-mu!” (Basri 2023; Darajat 2023)
Tak hanya melalui pernyataan Rhoma, tokoh Islam lainnya turut memberikan pernyataan. Ketua Komisi Fatwa MUI saat itu, Ma’ruf Amin, turut memberi komentar, ”Kalau goyang biasa yang berpengaruh (syahwat) saja haram, apalagi goyang semacam itu. Bukan hanya haram, tapi juga berbahaya.” MUI hingga pemerintah ikut merespons, dan menjadi salah satu sebab bergulirnya Rancangan Undang-Undang Antipornografi (Basri 2023; Darajat 2023).
Goyangan Maut Koplo Anti-Arus Utama
Karut-marut konflik antara musisi dangdut arus utama dengan musisi dangdut koplo bermula sejak musik dangdut koplo lebih mudah diakses. Sepanjang perkembangannya, dangdut koplo berhasil melahirkan nuansa baru, yakni dangdut yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentunya dangdut koplo tak lantas bisa disebut revolusioner. Namun, dangdut koplo layak bisa dikatakan emansipatoris sebagai gerakan musik pada masanya (Darajat 2023).
Dangdut koplo sendiri tersebar pertama kali di Jawa Timur sekitar 1990-an. Salah satu tokoh awalnya adalah Naylan yang merupakan musisi keliling dari Kampung Dukuh Kupang, Surabaya. Karakteristik dangdut koplo Jawa Timur terletak pada pola permainan kendang, yaitu dengan ketukan tempo yang cenderung cepat sehingga menghasilkan irama yang berbeda dengan dangdut (Cipta 2020; Susanti 2019).
Tidak ada yang tahu pasti sosok sebetulnya yang menyebarkan dangdut koplo, sehingga bisa se-santer sekarang. Namun, satu hal yang pasti: dangdut koplo berhasil menggoyang komodifikasi dangdut arus utama sejak 2000-an. Secara bertahap, dangdut koplo berhasil menghasilkan tiga goyangan maut, yakni (1) menggoyang rezim kemapanan irama dangdut Rhoma Irama; (2) menggoyang rezim kemapanan moralitas Rhoma Irama yang berkiblat Islam konservatif; dan (3) menggoyang rezim kemapanan pola produksi, distribusi, dan konsumsi industri musik arus utama dengan sistem kerja sama yang tidak terencana, tetapi mampu menguntungkan masing-masing pihak (Darajat 2023).
Goyangan Maut Anti-Rezim Irama Rhoma
Rezim Rhoma Irama bisa dibilang merupakan kumpulan musisi yang esensialis. Mudahnya, para musisi ini mendaku dirinya yang paling tahu tentang musik dangdut. Mereka merasa bahwa sumber kebenaran tentang “apa itu musik dangdut” ada di tangan mereka. Padahal, jika melihat realitanya, mereka hanya tidak rela jika musik mereka dimainkan tanpa ada keuntungan yang mereka terima. Alih-alih menjadi ruang inklusif dan berfokus pada penghiburan masyarakat dan perubahan sosial, musisi arus utama memusingkan diri mereka dengan isu hak cipta (Darajat 2023).
Dalam suatu cerita yang beredar, Rhoma Irama disebut kerap kali mendatangi beberapa orkes melayu (OM) yang menampilkan lagu miliknya. Salah satunya adalah FOX di Jombang. Pada pertengahan 1990-an, manajemen Rhoma Irama menghubungi OM FOX dan mempertanyakan penggunaan lagu hingga aransemen yang dilakukan. Mau tak mau, OM FOX tak boleh lagi memainkan lagu-lagu ciptaan Rhoma Irama (HB 2018).
Salah satu kasus yang terbaru juga terjadi pada 2021. Saat itu, Rhoma Irama berseteru dengan Sandi Record yang disinyalir melanggar hak cipta atas penyebaran lagu Rhoma Irama di kanal Youtube mereka. Namun, Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan itu (Suwiknyo 2021). Lantas, pertanyaanya adalah apakah proses penyebaran musik dangdut koplo itu salah sejak awal? Nyatanya, catatan sejarah berkata lain.
Musisi dangdut koplo, pada awalnya, memang tidak menemukan kreativitas mereka sendiri. Alhasil, lahirlah metode “persis kaset”. OM-OM yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur tetap berorientasi pada figur kondang dangdut Jakarta, seperti Elvy Sukaesih dan Rhoma Irama. Barulah perubahan terjadi ketika musisi dangdut koplo menghadirkan gaya musik dangdut yang berbeda. Siasatnya, musisi dangdut koplo menyematkan versi asli di awal, biasanya hingga refrain, dan setelahnya diaransemen ulang dengan musikalitas yang berbeda (HB 2018). Karena adanya ruang kreasi tersebut, akhirnya setiap orkes melayu mempunyai kesadaran untuk menciptakan ciri khas. Ciri khas tersebut terbedakan pada alat musik, elemen bunyi, dan genre yang dicampurkan (HB 2018).
Misalnya, OM Monata yang mendulang sukses akibat pencampuran permainan offbeat reggae dengan nuansa koplo. OM Monata sering kali mengejutkan penonton dengan perubahan tempo dari reggae berganti koplo secara mendadak; yang uniknya tetap harmonis.
Beda halnya dengan OM Lagista yang memadukan tabuh kendang tradisional, selompret yang biasa dipakai untuk jathilan, dan alat musik elektronik menjadi satu. Penonton selalu terperangah dengan suguhan tradisionalnya, tak jarang penonton menggunakan atribut lokal seperti topeng reog untuk menonton OM Lagista. Harmonisasi tangga nada pentatonis lokal (pelog dan slendro) dengan tangga nada diatonis jadi elemen penting kemasan musik koplo-tradisional jawa-nya.
Tak kalah kreatif dengan musisi dangdut koplo lainnya, NDX A.K.A. berhasil memikat penonton dengan penyerapan genre Hip-Hop ke dalam musik dangdut koplo. Metode looping dan sampling hingga lakon beatboxing ditampilkan oleh NDX A.K.A hampir di seluruh panggungnya.
Kekhasan musikalitas yang dilahirkan oleh dangdut koplo senantiasa terbentuk selaras dengan keinginan masyarakat. Mulai dari musik kedaerahan, musik yang di-remix, ataupun musik yang benar-benar baru di daerah tersebut; semuanya bertahan dari panggung rakyat ke panggung rakyat lainnya (Darajat 2023).
Goyangan Maut Anti-Rezim Moralitas
Sejak awal kemunculannya, dangdut tak henti-henti melahirkan nuansa yang merakyat. Namun, sayangnya, idealisme normatif yang diusung dangdut dari “akar” ke-Melayuan-nya memarjinalkan keragaman masyarakat penikmat dangdut itu sendiri. Tanpa pernah benar-benar memberikan kuasa kepada rakyat, dangdut justru mengontrol moralitas di masyarakat itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Rezim Rhoma Irama (Darajat 2023).
Rhoma Irama sendiri telah menulis lebih dari 307 lagu, dengan 150 lagunya berisikan pesan imperatif untuk bisa berperilaku sebagai manusia yang baik (Weintraub 2010). Lagu-lagu ini tercipta sepulang Rhoma Irama dari ibadah haji. Syahdan, lagu Rhoma Irama kian dominan dengan logika keagamaan. Misalkan saja, lagu “Emansipasi Wanita” yang di satu sisi menggarisbawahi kenyataan peran perempuan, tetapi di sisi lain juga menyangkal eksistensi keberdayaan perempuan sebab tak sesuai kodrat Tuhan. Berikut isi lagunya:
Wanita sekarang dalam perjuangan
Menyaingi pria di segala bidang
Di rumah, di kantor
Bahkan sampai ke jalan pemerintahan
Memang peranan wanita perlu di dalam pembangunan
Tapi peranan wanita jangan sampai keterlaluan
Kalau peranan wanita melanggar batasan fungsinya
Ini bencana
Wanita dan pria tak ‘kan pernah sama
Secara kodrati berbeda fungsinya
Jiwanya, badannya
Tuhan telah mengatur pembidangannya
Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, wacana moralitas yang diusung oleh Rhoma Irama melalui PAMMI digunakan untuk mengkritik musisi lainnya, seperti Inul Daratista, Annisa Bahar, dan lain-lain. Anggapan bahwa Inul dan Annisa telah menyalahi kodrat sebagai perempuan sekaligus merusak moralitas menjadi wacana pada masa itu. Laku musik dangdut koplo dibombardir.
Meskipun demikian, musisi dangdut koplo masih bertahan, bahkan mampu menggeser wacana moralitas ini sendiri. Panggung-panggung dangdut koplo tetap berjalan. Dari “goyang ngebor” hingga “goyang gergaji”, rakyat tetap menikmatinya. Eksistensi dangdut koplo juga kian bertahan ketika kalangan “Islam Nusantara” yang saat itu mengikuti ajaran Gus Dur bersikap kompromis terhadap musisi dangdut koplo (Darajat 2023).
Gus Dur beberapa kali mengeluarkan pernyataan tentang doktrin moralis Rezim Rhoma Irama. Salah satu yang terkenal adalah, “Ini bukan negeri ancaman. Daripada ngurusin Inul, lebih baik Rhoma ngurusin orang yang korupsi” (Liputan 6 2003). Hal ini dilakukan oleh Gus Dur bukan tanpa sebab. Bagi Gus Dur, alih-alih menyalahkan sesama musisi dengan sikap mengerdilkan, lebih baik para musisi berfokus menyoroti permasalahan negara yang lebih luas.
Menurut Undang-Undang Dasar (UUD) kita, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya, selama tidak bertentangan dengan konstitusi. Dan yang menentukan hal itu bukanlah perorangan warga masyarakat, melainkan hanya Mahkamah Agung. Dengan kata lain, Bang Haji melakukan pelanggaran konstitusi demi menjaga moral dan akhlak kaum muslimin dari kerusakan. Karena berusaha menjaga prosedur seperti yang digariskan dalam UUD 45, maka penulis melakukan tindakan dengan berpendapat, “Bang Haji secara konstitusional tidak berhak melakukan pelarangan terhadap Inul karena ‘pengeboran’-nya “ (Gus Dur 2003)
Semenjak inilah, asumsi moralis masyarakat terhadap dangdut perlahan bergeser menjadi musik yang benar-benar bebas (Darajat 2023).
Goyangan Maut Anti-Rezim Produksi
Selain menggeser paradigma tentang dangdut itu sendiri, dangdut koplo juga berhasil bertahan dengan proses produksi hingga distribusi yang organik. Dengan melepas dangdut dari logika produksi arus utama, dangdut lebih mudah dinikmati, hanya mengandalkan popularitas dari panggung ke panggung.
Ambil contoh penelitian yang dilakukan Kusno (2012). Dalam risetnya, Kusno berusaha menginvestigasi praktik produksi dan distribusi VCD dangdut koplo di Pati, Jawa Tengah. Di sana, proses produksi dan distribusi VCD dangdut koplo dimulai dari satu acara komunitas nelayan dalam rangka acara sedekah laut. Para nelayan memperoleh sokongan dana utama dari para pemilik kapal sebesar Rp 1 juta per pemilik kapal. Selanjutnya, setiap kepala keluarga yang tinggal di sekitar kampung itu dikenai iuran sebesar Rp 20 ribu. Dengan masuknya sponsor rokok juga, terkumpullah dana sebesar Rp 90 juta. Uang tersebut digunakan untuk membayar pengisi hiburan utama, saat itu OM Monata.
Dengan pertunjukan ini pula, para musisi dangdut koplo melakukan proses perekaman video klip mereka. Pemilik acara akan mengurus perihal konsep penampilan, panggung, dan lain sebagainya. Pemilik acara juga mengundang jasa perekaman sekaligus meneken nota kesepahaman dengan pengganda VCD untuk melakukan proses pengeditan, mixing, dan distribusi. Sistem seperti ini pun tidak selalu sama di setiap acaranya karena sangat tergantung dengan kemampuan pemilik acara maupun makelar jasa perekaman dan pengganda VCD (Darajat 2023).
Dengan biaya yang terhitung murah dan tanpa target penjualan masif seperti label musik raksasa, proses produksi dangdut koplo mampu menggeser dominasi musik populer. Selain itu, musisi dangdut koplo tidak pernah mempersoalkan pembajakan. Bagi musisi dangdut koplo, penyebaran musik secara alamiah justru membuat mereka semakin laris tanggapan; membuat mereka tetap bertahan hidup (Darajat 2013).
Pontang-Panting Emansipatoris
Meskipun dangdut koplo berhasil melalui terjangan musik populer sekaligus dangdut arus utama, tak berarti dangdut koplo bisa disebut bentuk dangdut yang paling ideal. Para pegiat dangdut koplo, saat ini, tak butuh waktu lama untuk terjerat komodifikasi industri musik. Artinya, wacana emansipatoris yang menjadi basis kesuksesannya pun kian ditinggalkan ketika artis-artisnya kian besar (Darajat 2023).
Dari destigmatisasi terhadap dangdut sebagai musik kampungan hingga penciptaan alur produksi musik kolektif, sudah semestinya dangdut koplo menjadi pelopor musik yang inklusif. Sudah saatnya pula bagi para pegiat dangdut koplo mengimajinasikan tujuan lanjutan dari musik sendiri. Lebih-lebih, mengorientasikan dangdut sebagai musik rakyat, bukan alat penguasa. Sudah saatnya, perkataan “Apalah artinya dunia tanpa musik?” diganti dengan “Apa artinya musik jika hanya jadi milik penguasa?”
Penulis: Vigo Joshua
Penyunting: M. Ihsan Nurhidayah
Ilustrator: Parama Bisatya
Daftar Pustaka
Arifa, Rahma. 2022. “Jejak Rhoma Irama di Panggung Politik dan Magnet Suara di Pemilu 2024 | Narasi TV.” Narasi Tv. https://narasi.tv/read/narasi-daily/jejak-rhoma-irama-di-panggung-politik-dan-magnet-suara-di-pemilu-2024.
Basri, Muhammad R. 2023. “Perseteruan Wacana Dangdut Koplo – Jawa Pos – Halaman 2.” JawaPos.com. https://www.jawapos.com/minggu/01686708/perseteruan-wacana-dangdut-koplo?page=2.
BHPN. 2023. “ANALISIS DAN EVALUASI UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI.” BPHN. https://www.bphn.go.id/data/documents/aeporno.pdf.
“Cak Sodiq – Gelandangan Om New Monata Supertrack Clothing Jogja.” 2023. YouTube.
Cipta, Samudra E. 2020. “MUSIK KOPLO SEBAGAI IDENTITAS KELOKALAN BARU PADA PENGGUNAAN BAHASA OSING BANYUWANGI (BERDASARKAN TINJAUAN SOSIO KULTURAL-HISTORIS).” Cermin Jurnal Penelitian 4 (1). https://doi.org/10.36841/cermin_unars.v4i1.517.
Darajat, Irfan R. 2013. “Asolole: Antara Rhoma dan Irama – IndoPROGRESS.” IndoPROGRESS. https://indoprogress.com/2013/04/asolole-antara-rhoma-dan-irama/.
Darajat, Irfan R. 2018. “Salah Tompo*: Memahami Praktik dan Pemaknaan Dangdut Koplo dalam Menggoyang Kemapanan.” Serunai.co. https://serunai.co/2018/11/28/salah-tompo-memahami-praktik-dan-pemaknaan-dangdut-koplo-dalam-menggoyang-kemapanan/.
Darajat, Irfan R. 2023. Irama orang-orang (menolak) kalah: dangdut koplo, politik, dan kemapanan. Marjin Kiri.
Dur, Gus. 2003. “Inul, Rhoma, dan Saya.” GusDur.Net. https://gusdur.net/inul-rhoma-dan-saya/.
endiza younk. 2017. “bojoku digondol bojone..Official Music Video NDX a k a ft PJR Crazygila Production.” YouTube.
HB, Michael. 2018. “Polemik JRX – Via Vallen : Perdebatan yang Sia-sia.” Serunai.co. https://serunai.co/2018/12/12/polemik-jrx-via-vallen-perdebatan-yang-sia-sia/.
Liputan6. 2003. “Gus Dur: Inul Disukai Karena Kejujurannya – ShowBiz Liputan6.com.” Liputan6.com. https://www.liputan6.com/showbiz/read/220730/gus-dur-inul-disukai-karena-kejujurannya.
Majalah Tempo. 1979. “Soalnya sih komersiil saja – Musik.” Majalah TEMPO. https://majalah.tempo.co/read/musik/54557/soalnya-sih-komersiil-saja.
PAMMI. 2023. “Tentang – PAMMI.” PAMMI. https://pammi.co.id/tentang/.
panama multimedia. 2018. “OPENING LAGISTA NJARAN.” YouTube.
Susanti, Fitria D. 2019. “PERKEMBANGAN MUSIK DANGDUT KOPLO JAWA TIMUR TAHUN 2003–2017.” AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah 7 (3).
Suwiknyo, Edi. 2021. “Sengketa Hak Cipta, Gugatan Raja Dangdut Rhoma Irama Kandas.” Kabar24. https://kabar24.bisnis.com/read/20210417/16/1382392/sengketa-hak-cipta-gugatan-raja-dangdut-rhoma-irama-kandas.
Weintraub, Andrew N. 2013. “The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genre in East Java, Indonesia.” Asian Music 44 (2). 10.1353/amu.2013.0019.