Perjalanan panjang pascarelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Malioboro telah genap menginjak tahun kedua. Di tengah keadaan yang semakin sulit itu, kehidupan para PKL harus terus berjalan. Berbagai siasat harus mereka lakukan. Syahdan, sepenggal ingatan kemudian mengembara kembali ke peristiwa relokasi yang masih melekat dalam benak, tepatnya Selasa (01-02-2022).
Benny, PKL Teras Malioboro (TM) 2 yang sudah menggantungkan hidup sejak puluhan tahun, kembali mengenang masa-masa menghidupi dirinya di Trotoar Malioboro. Sejak itu, ia hidup sebagai bagian dari pariwisata Yogyakarta yang terus berkembang. Maka dari itu, menjadi suatu hal yang wajar apabila keberadaannya dan para PKL lain merupakan hal penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi Yogyakarta sebagai kota pariwisata. “Sebenarnya, malah PKL inilah yang menjadi ruhnya Malioboro,” ujar Benny.
Situasinya kemudian berubah dan merenggut sumber penghidupan para PKL di sepanjang Trotoar Malioboro. Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta mengeluarkan Surat Edaran Gubernur DIY Nomor 3/SE/1/2022 tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Khusus Pedestrian di Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo. Dalam salah satu poin dijelaskan bahwa pada Selasa (01-02-2022), para PKL harus mengosongkan kawasan pedestrian sepanjang Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo.
Pengeluaran Surat Edaran menjadi buntut dari salah satu upaya yang menunjang program penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. Hal itu dianggap menjadi biang keladi atas relokasi PKL di Malioboro. Bhima Yudhistira, Direktur dan Pendiri Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai bahwa relokasi tersebut menyingkirkan masyarakat yang bertahun-tahun menggantungkan ekonominya di sepanjang Jalan Malioboro. “Jadi, penetapan Sumbu Filosofis dijadikan pembenaran, justifikasi, untuk menyingkirkan mereka yang dianggap kecil, dianggap sebagai hama dalam ekonomi Jogja,” jelasnya.
Upik Supriyati, salah seorang PKL TM 2 dan pengurus Paguyuban Tridharma, ingat betul peristiwa relokasi itu. Ia pun sejatinya hanya mengetahui rencana relokasi dari kabar yang tersiar di media sosial. Meski demikian, pagi itu, 1 Februari 2022 sekitar pukul 07.00 WIB, ia dan beberapa PKL tetap melakukan aktivitas seperti sediakala, membuka lapak sejak pagi menjelang. Harapannya hanya satu, lebih banyak rezeki yang bakal ia dapat pada hari itu.
Nahasnya, baru saja pintu rezeki dibuka, lapaknya sontak didatangi oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tanpa aba-aba dan peringatan apa pun. “Saya tanya surat edarannya mana, mereka menjawab baru dibuat katanya,” Upik melihat ada kejanggalan.
Menjelang siang, sekitar pukul 11.00 WIB, Satpol PP kembali mendatangi lapaknya, kini lengkap dengan membawa surat edaran. Tak ada waktu lagi bagi Upik dan para PKL untuk meminta kejelasan atau hanya sekadar untuk mempersiapkan kepindahan. “Harus saat itu juga, langsung. Mau nggak mau harus pindah ke tempat relokasi,” ujarnya.
Muhammad Rakha Ramadhan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menceritakan kronologi relokasi. Ia menjelaskan bahwa Peraturan Walikota (PERWALI) Kota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Khusus Malioboro–A. Yani yang menjadi payung hukum bagi PKL mendadak dicabut dan digantikan dengan PERWALI Kota Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2022. “Sekitar lima hari sebelum relokasi, tiba-tiba muncul PERWALI tahun 2022 yang isinya cuma satu, yakni mencabut dasar hukum PKL di sepanjang Malioboro,” ujarnya.
Menurut Rakha pencabutan PERWALI tersebut otomatis akan membuat keberadaan PKL di Malioboro menjadi ilegal. Selain itu, ia juga menyoroti mengenai perubahan peraturan secara mendadak tanpa partisipasi publik. Dalam konteks pembuatan regulasi, Rakha menjelaskan bahwa terdapat aspek meaningful participation (partisipasi yang bermakna oleh publik). “Partisipasi yang bermakna itu yang memang hilang. Tiba-tiba bikin PERWALI dan segala macem,” tegasnya.
Segudang Alibi di Balik Relokasi
Hari-hari setelah relokasi dilalui Upik dan para PKL dengan penuh ketidakpastian. TM 2 yang menjadi tempat relokasi nyatanya tidak mampu memberikan penghidupan yang layak bagi para PKL. “Saya pernah mengalami 14 hari enggak laku. Padahal saya masih di lorong sebelah barat, masih di depan, sedangkan yang di lorong belakang-belakang itu lebih ngenes lagi,” ujar Upik.
Tidak berhenti di sana, permasalahan kemudian bertambah ketika munculnya wacana relokasi tahap kedua bagi para PKL di TM 2. Informasi tersebut Upik dapatkan melalui sosial media. Namun, Ia menyebutkan kabar tersebut tidak dibarengi dengan kejelasan informasi tentang kapan dan di mana mereka akan direlokasi.
Melalui wawancara dengan BALAIRUNG pada Sabtu (04-06-2023), pihak Unit Pelaksanaan Teknis Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (UPT PKCB) Malioboro Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menanggapi seruan masalah yang tengah dihadapi para PKL. Yetti Martanti, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, bersikukuh bahwa pihaknya telah menyampaikan informasi penempatan PKL Malioboro di TM 2. “Kami sudah sampaikan dari lama, TM 2 itu cuma shelter selama 2 tahun. Semuanya sudah dikomunikasikan,” sangkal Yetti.
Selain upaya komunikasi, Yetti menyatakan pihak pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk membantu kedua TM agar ramai didatangi pengunjung. Yetti mengungkap data pengunjung di TM 1 pernah sampai menyentuh angka 40.000. “Nah, kalau mereka cerdas kan bisa menangkap itu. Kita nggak bisa mencekoki [para PKL-red] satu-satu,” tuturnya.
Namun, upaya komunikasi pemerintah mengenai status TM 2 itu tak sepenuhnya disampaikan kepada para PKL Malioboro. Lantaran, Upik menyebutkan pemberitahuan mengenai penempatan sementara PKL di TM 2 tidak mencantumkan jangka waktu yang pasti. Ia juga mengingatkan perihal sejumlah kesepakatan dan perjanjian yang tidak diwujudkan oleh Dinas Kebudayaan Kota, mulai dari nama-nama PKL yang tidak terdata sampai ukuran lapak yang tidak layak. “Katanya, lapaknya 1,5 meter, tapi dapatnya cuma 1,2 meter. Kemudian juga di tengah lorong E-F itu kan jalan, tapi malah dibuat lapak,” sanggahnya.
Lapak dan lorong sempit menjadikan TM 2 tempat yang panas dan sesak, baik bagi para pengunjung maupun pedagang. Upik mengatakan pengunjung seringkali hanya berjalan sampai bagian tengah TM 2, lalu kembali ke depan untuk keluar. Hal ini membuat lapak di bagian belakang tidak terlihat sehingga arus pengunjung tidak merata. “Sekarang kalau dibayangkan 40.000 [orang-red] masuk di ruangan yang atapnya pendek, panas, orang nggak akan berlama-lama di situ untuk asyik berbelanja,” bantah Upik.
Kendati sebelumnya keberadaan PKL Malioboro pernah diatur dalam PERWALI Kota Yogyakarta, Yetti menegaskan bahwa PKL Malioboro tidak memiliki izin untuk berjualan di sepanjang selasar Malioboro. “Mereka melakukan aktivitas di Malioboro itu bukan miliknya,” tegas Yetti. Ia melanjutkan bahwa pihak PKL tidak pernah membayar sekalipun kepada pemerintah sehingga pihaknya perlu mengakomodasi sisi lain yang merasa terganggu atas kehadiran PKL. Salah satunya, para pemilik toko yang menyampaikan bahwa lapak PKL menutupi toko mereka.
Menurut Yetti, pemindahan ke TM 2 dan TM 1 justru merupakan sebuah afirmasi dari pemerintah untuk para PKL agar tetap dapat melaksanakan aktivitas ekonomi. Ia menyatakan bahwa pemerintah telah mengangkat status PKL dari informal menjadi formal dengan memberikan tempat berjualan yang sudah jelas status legalnya. Ia menambahkan bahwa pihak pemerintah juga telah memberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan status PKL menjadi pelaku UMKM. “Selama ini kan mereka berekonominya nggak jelas,” ucap Yetti.
Tak sampai di situ, Yetti mengungkap bahwa tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memfasilitasi PKL di tempat baru mereka. Pihaknya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp58.000.000,00 setiap bulan hanya untuk listrik. Ia mengklaim kondisi tersebut jauh lebih baik dari ketika para PKL masih berjualan di selasar. Menurutnya, sekarang PKL tidak perlu lagi memperhitungkan biaya listrik dan air sehingga bisa berjualan untuk keuntungannya sendiri. “Kalau dihitung, bisa sampai ratusan [juta-red] bahkan milyaran yang kita sumbangkan dari negara untuk mereka,” sumbar Yetti.
Mengenai lapak PKL yang mengganggu para pemilik toko, Upik menyangkal hal tersebut sebagai alasan utama dari relokasi. Ia menjelaskan bahwa lapak para pedagang yang menutupi toko hanya beberapa. Justru banyak PKL yang memiliki hubungan baik dengan pemilik toko. Salah satunya ialah ayah Upik yang sering kali menitip barang dagangan kepada toko di depan lapaknya. “Pada awal tahun ‘60-an, bapak saya malah disuruh jualan di situ untuk menjaga keamanan toko dari perampok,” tutur Upik.
Lebih lanjut, Upik mengatakan bahwa hubungan PKL dengan para pemilik toko merupakan hubungan timbal balik. PKL tidak hanya memakai selasar di depan toko, tetapi juga membayar listrik kepada pemilik toko. Tak hanya itu, ia juga membeberkan bahwa PKL selalu mengeluarkan uang untuk sampah dan retribusi ketika masih berada di sepanjang Jalan Malioboro.
Benny pun turut menuturkan hal yang sama dengan Upik. Menurutnya, PKL dan pemilik toko memiliki peminat yang berbeda sehingga dia tidak setuju jika PKL dianggap mengganggu toko berjualan. Menurutnya, keragaman barang dagang yang dimiliki PKL dan toko justru mengakomodasi seluruh kalangan masyarakat yang ingin berbelanja di Malioboro. Benny menyebutkan Hamzah Batik (Mirota Batik) sebagai salah satu toko yang tetap laris-manis meski PKL di depan tokonya menjual jenis barang yang sama. “Sampai di depannya dikasih tenda merah sama Mirota, malah nggak masalah,” sahut Benny.
Walau sudah tidak membayar listrik setelah direlokasi, Upik mengaku para PKL menggelontorkan uang yang tidak sedikit ketika pertama kali direlokasi ke TM 2. Biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp3.500.00,00–Rp5.000.000,00 hanya untuk memperbaiki penyekat dan menambahkan pajangan untuk jualan. “Kita jualan modal sendiri, sampai hutang di bank,” jelas Upik.
Tak hanya perihal uang, Upik mengatakan para PKL pun menghias dan melukis lantai di setiap lorong sebagai usaha untuk mendatangkan para pengunjung. Tujuannya adalah agar TM 2 terlihat menarik bagi pengunjung untuk berfoto-foto. Mereka berharap pengunjung dapat melihat-lihat barang dagangan dan tertarik untuk membeli. Upik menerangkan usaha tersebut dilakukan secara swadaya. “Kita tidak semata-mata meminta-minta ke pemerintah,” ujarnya.
Terkait dengan pelatihan yang diberikan oleh pemerintah, Upik dan Benny serentak mengatakan tidak pernah menerima pelatihan semacam itu. Upik menjelaskan pelatihan tersebut hanya diberikan kepada PKL TM 1 dan pengurus lama Koperasi Paguyuban Tridharma. Untuk TM 2 secara keseluruhan, Upik menyebut tidak ada pelatihan untuk para penjual atau pembenahan tempat dari pemerintah.
Jalan Terjal PKL Menuju Relokasi Kedua
Segala keresahan PKL disuarakan lewat aksi-aksi beserta upaya konsolidasi dengan pihak UPT PKCB dan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Mereka juga menggandeng beberapa pihak seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat guna membedah isu ini melalui diskusi-diskusi. Akan tetapi, upaya yang dilakukan para PKL selama dua tahun semenjak relokasi pertama itu tidak kunjung menemukan titik terang. Upik menyebut pemerintah seakan menutup mata dan menutup telinganya ketika diminta pertanggungjawaban.
Kesemrawutan juga menghantui rencana relokasi kedua. Berawal dari surat yang mendatangi Upik pada Selasa (04-07-2023) pukul 20.00 WIB. Surat tersebut berisi undangan tanda tangan perjanjian kontraktual antara PKL dan pemerintah yang akan dilakukan pada Rabu pagi keesokan harinya. Surat itu memicu kedatangan para PKL ke Kantor Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, sebab pemberitahuan yang mendadak dan temuan nama-nama lapak yang tidak sesuai.
Menindaklanjuti keluhan tersebut, terbentuk Panitia Khusus (Pansus) Pengawasan Relokasi PKL Malioboro yang diketuai oleh Fokki Ardiyanto, anggota DPRD Kota Yogyakarta, untuk melaksanakan validasi data. Namun, dengan tidak adanya transparansi beserta intimidasi yang didapatkan oleh para PKL dalam prosesnya, validasi tersebut dinilai tidak adil oleh para PKL. Mereka pun menuntut diadakannya validasi ulang. Dari hasil validasi data itu, Upik menyebut terdapat enam belas lapak siluman, yaitu pedagang yang bukan bagian dari PKL selasar Malioboro dulu, tetapi ikut memiliki lapak di TM 2.
“Kita nggak bakalan tahu kalau kita nggak demo,” ucap Upik sembari mengingat demonstrasi PKL di Kantor Paniradya Kaistimewan Desember lalu. Aksi tersebut membuahkan rincian terkait jumlah daya tampung PKL di TM 1 dan di Ketandan, lokasi yang nantinya akan mereka tempati setelah relokasi kedua. Namun, angka 300 dan 700 yang dikabarkan Paniradya itu pun tidak sesuai dengan jumlah PKL di TM 2 yang mencapai 1.041.
“Saya dapat kabar dari Paniradya, nggak mungkin [mendapatkan lapak-red] 1,5 [meter-red] karena lahannya nggak cukup,” ujar Upik mengenai relokasi mendatang. Kecewa dengan pernyataan tersebut, para PKL pun bertemu dengan Ratu Hemas selaku permaisuri dari Sultan Hamengkubuwono X. Melalui video yang disebar oleh akun @arifusman02780 pada aplikasi TikTok, Ratu Hemas menyebut kondisi lapak TM 2 tidak memenuhi syarat. Ia mengatakan perlu adanya ajakan untuk membicarakan lebih lanjut terkait kebutuhan para PKL. Namun, sampai saat ini Upik mengatakan tidak mendapat balasan dari surat yang terakhir ia kirim kepada Ratu Hemas.
Kejanggalan yang kerap dihadapi oleh para PKL membuat Upik skeptis dalam rencana relokasi kedua yang dicanangkan pada tahun 2025 mendatang. Berkaca dari pengalamannya dua tahun ke belakang, ia mengkhawatirkan nasib para PKL pada relokasi selanjutnya. Tak kunjung datangnya ajakan sosialisasi dari pemerintah mengukuhkan sikap Upik. “Saya mikirnya kalau [perjanjian tanda tangan-red] kontraktual, kita tolak,” tegasnya.
Reporter: Dias Nashrul Fatha, Catharina Maida, dan Takhfa Rayhan Fadhilah
Penulis: Catharina Maida dan Takhfa Rayhan Fadhilah
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Natasya Mutia Dewi dan Catharina Maida
Ilustrator: Nabillah Faisal