Segala sesuatu yang non-hetero acapkali mengalami penolakan dan penyingkiran pada negeri ini. Tak terkecuali, budaya lokal non-hetero yang sudah diyakini turun-temurun. Serangkaian pemberantasan terjadi, heteronormativitas yang jadi biang keladi.
Penolakan terhadap suatu hal berbau non-hetero acap kali terjadi dalam pergelaran bangsa ini. Sebagaimana yang terjadi terhadap kalangan LGBT dan semua hal yang berhubungan selalu di persekusi sana-sini. Sejak 2006–2018 tercatat sebanyak 1.850 jumlah persekusi terhadap kalangan lgbt di Indonesia. Bahkan, di tahun 2017 sendiri terdapat sebanyak 975 kasus diskriminasi berdasarkan orientasi seksual non-hetero (Zakiah 2018).
Heteronormativitas menjadi biang keladi atas langgengnya beragam kekerasan berbasis orientasi seksual non-hetero. Secara definisi, norma ini dapat diartikan sebagai suatu pandangan yang melihat seksualitas, gender beserta peranannya di masyarakat secara biner sehingga hanya menyisakan laki-laki dan perempuan sebagai gender yang fitrah dan alamiah (Orellana, Alarcón, dan Schnettler 2022). Akibatnya, segala sesuatu yang non-hetero, baik berupa gender di luar gender biner, orientasi seksual non-hetero, ekspresi gender non-normatif dianggap menyeleweng dan di luar manusia normal (Orellana, Alarcón, dan Schnettler 2022; Morantes-Africano 2023; Bradshaw 2024).
Heteronormativitas mengakibatkan pemersekusian terhadap beberapa budaya lokal. Misal di tahun 2023 lalu, pentas teater monolog di Bone, Sulawesi Selatan, dibubarkan oleh pemerintah setempat lantaran telah menyalahi norma. Dalih pembubaran ini adalah karena terdapat pelibatan bissu yang dianggap menjadi bagian dari LGBT. Para rohaniawan non-biner terpaksa memupus harapan mengekspresikan diri.
Tuduhan yang sama pun menjadi alasan utama untuk kembali mengekang kebebasan berekspresi. Kali ini pementasan film Kucumbu Tubuh Indahku (2018) yang mengalami pemboikotan massal di jagat sosial media karena menampilkan kehidupan seorang penari lengger yang kental akan nilai-nilai non-hetero. Penolakan tersebut terjadi karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai norma dan agama.
Padahal, apabila menelaah ke bilik sejarah, keberadaan budaya non-hetero pernah hidup berbarengan di tengah masyarakat tanpa mendapatkan tindakan diskriminasi. Lantas, mengapa budaya hetero menjelma menjadi norma pakem yang disebut dengan heteronormativitas? Untuk menjawab itu, tulisan ini akan dibagi melalui pembabakan periode waktu khusus dari pra-kolonialisme, kolonialisme, dan pasca-kolonialisme.
Masa Kejayaan Budaya Non-Hetero
Di Jawa, pada masa Kerajaan Majapahit, terdapat kisah tentang Hayam Wuruk (1334–1389 M). Berdasarkan naskah-naskah kuno seperti kakawin Negarakertagama dan Pararaton, Hayam Wuruk dikisahkan sebagai seorang maharaja yang maskulin lagi gagah berwibawa, tetapi di sisi lain ia ditampilkan sebagai penari yang tampil feminin di hadapan para menterinya (Hardjowardojo 1965; Oetomo 2001). Hayam Wuruk memiliki beberapa nama sesuai perannya, salah satu namanya adalah Pager Antimun di kala memerankan tokoh perempuan (Hardjowardojo 1965). Sifat feminin Hayam Wuruk berkaitan dengan kepercayaannya sebagai pemeluk agama Hindu yang memercayai perwujudan Dewa Siwa sebagai Ardhanarishvara. Konsep ini merupakan representasi dari Dewa Siwa yang bersifat maskulin. Sementara itu, Sakti atau Parvati, yang merupakan permaisurinya, bersifat feminim. Keduanya manunggaling, menjadi satu tubuh (Rao 1916). Ardhanarishvara melambangkan prinsip laki-laki dan perempuan yang tidak bisa dipisahkan, manusia bukanlah makhluk berkelamin tunggal murni, serta setiap manusia berpotensi menggabungkan dua jenis kelamin (Raveesh 2013).
Budaya non-hetero juga dapat ditelaah dalam sejarah kesenian Reog Ponorogo. Dalam reog terdapat dua tokoh yang memiliki relasi non-hetero, warok dan gemblak. Tradisi warok muncul pertama kali di abad ke-15, di era Majapahit, dalam cengkeraman kekuasaan Prabu Brawijaya V, Bhre Kertabumi. Cerita reog ponorogo memiliki lima versi yang berbeda, ada yang menyebut Ki Ageng Kutu sebagai kerabat dekat Prabu Brawijaya V, juga ada yang mengatakan ki ageng sebagai abdi dalam yang memberontak terhadap raja. Kendati demikian, semua memiliki persamaan dalam status Ki Ageng Kutu sebagai guru sekaligus pemimpin bagi para warok. Dalam tulisan Wilson (1999) warok hadir sebagai perlawanan terhadap Bhre Kertabumi yang membiarkan perilaku pejabat korup serta lebih memprioritaskan permaisurinya. Ki Ageng melatih para warok untuk melawan pasukan Bhre Kertabumi, walau akhirnya menyadari pasukan warok tak cukup kuat. Alhasil, Ki Ageng bersiasat untuk melakukan perlawanan melalui seni tari yang dikenal sebagai Reog Ponorogo (Wilson 1999).
Para warok dilatih dengan keyakinan Buddha sekte Tantrayana yang merupakan keyakinan terhadap kesempurnaan hidup berupa kesaktian kanuragan yang diperoleh dengan menjauhi hawa nafsu seksual (Kencanasari 2009). Untuk mengalihkan nafsu, dihadirkan seorang laki-laki tampan, muda, bertubuh bagus yang disebut sebagai gemblak. Pada dasarnya, eksistensi gemblak dijadikan “pengganti perempuan” sebagai teman hidup (Krismawati, Warto, dan Suryani 2018).
Dalam sejarah perkembangannya, warok tetap eksis di kala Bathara Katong mengambil kekuasaan Ki Ageng Kutu dan menyebarkan agama Islam (Fauzanafi 2005). Katong mendirikan Ponorogo dengan memberikan kedudukan yang istimewa terhadap warok sebagai demang atau pemimpin desa (Krismawati, Warto, dan Suryani 2018). Hal itu dikarenakan warok lekat dengan kultur Hindu-Budha sehingga sangat dipercayai oleh masyarakat (Kencanasari 2009). Kedatangan Islam yang dibawa Katong tidak menyurutkan tradisi seksual warok dan gemblak, dan bahkan membuat terjadinya akulturasi antara budaya nenek moyang, Hindu, Buddha, dan Islam (Kencanasari 2009; Krismawati, Warto, dan Suryani 2018).
Keragaman gender juga ditemui di Pulau Sulawesi, tepatnya di suku Bugis. Suku Bugis mengakui terdapat lima gender yang berlaku di masyarakat: oroane, makkunrai, calalai, calabai, serta bissu. Tidak seperti konsepsi gender biner yang sekarang lazim kita gunakan, lima gender di suku Bugis memiliki laku dan konfigurasi alat kelamin masing-masing. Bissu mengemban posisi penting dalam masyarakat Bugis sebagaimana yang tertulis dalam epos La Galigo yang selalu mengagungkannya. Bissu mengambil peran penting sebagai penentu hajat orang banyak. Masyarakat biasa dan keluarga kerajaan sering meminta petunjuk, pertolongan, ataupun berobat dan berguru kepada bissu (Suliyati 2018). Bissu mendapatkan posisi penting karena pengetahuannya tentang adat istiadat, tradisi, silsilah keluarga, kehidupan sosial di dunia dan kehidupan para dewata, menguasai pengobatan dan mistik (Suliyati 2018). Selain pengetahuan, Bissu memiliki kebijaksanaan yang menjadikannya sebagai penasehat kerajaan dalam pelbagai hal, salah satunya dalam penentuan hari untuk berperang (Azizah 2022).
Dalam La Galigo belum jelas menyebutkan gender seorang bissu, namun dalam perkembangannya, bissu berasal dari golongan calabai dan calalai, meski tidak semua dari mereka dapat menjadi bissu (Faisal 2021). Sebagian besar bissu berasal dari calabai (Pelras 1996). Surat yang ditulis oleh saudagar Portugis, António de Paiva tahun 1544, juga menceritakan bissu yang menjadi imam besar kerajaan di Sulawesi Selatan. Paiva menyebut mereka tidak berjenggot, berpakaian gaya wanita, memanjangkan rambut lalu di kepang, dan meniru cara bicara perempuan (Baker 2005).
Kolonialisme Belanda Pembawa Heteronormativitas
Sejalan dengan penjajahan, Belanda turut membawa norma dan nilai mereka untuk diterapkan di wilayah jajahan mereka, termasuk Hindia-Belanda. Salah satu norma yang dibawa adalah norma heteroseksual, diterapkan melalui politik seksualitas. Politik seksualitas secara singkat adalah kebijakan negara yang mengatur tentang hubungan seksual dengan siapa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan (Suryakusuma 1991). Melalui politik seksualitas, Belanda membangun kerangka biner yang memandang bahwa gender melekat pada tubuh dan sebagai konsekuensi atas jenis kelamin sehingga menjadi suatu hal yang saklek (Errington 1990; Epstein dan Straub 1991 dalam Blackwood 2005). Lantas, bagaimana kondisi politik seksualitas yang ada di Belanda dapat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat non-hetero?
Pada awalnya, tidak ada larangan melakukan hubungan homoseksual di Belanda maupun Hindia-Belanda. Akan tetapi, hal tersebut mulai berubah ketika homoseksual menjadi perdebatan publik di Belanda pada awal tahun 1890–1911 (Hekma 2010). Perdebatan berhenti karena Partai Kristen mendominasi parlemen yang berimplikasi disahkannya undang-undang 248 Bis. Undang-undang ini bersifat diskriminatif karena mengkriminalisasi hubungan seksual sesama jenis anak berumur di bawah 21 tahun, sementara lawan jenis di bawah 16 tahun. Kedatangan Nazi di Belanda turut mempengaruhi dengan memperkenalkan paragraf 175 anti-gay Jerman (Hekma 2004). Akibatnya sentimen anti-homoseksual semakin menguat dan terbawa ke negara jajahannya (Putri 2019).
Puncaknya, pada tahun 1938–1939, Belanda melakukan zedenschoonmaak ‘pembersihan moral’ adalah upaya untuk menangkap orang-orang homoseksual. Hasilnya adalah pembentukan unit khusus yang dinamakan operasi susila (Bloembergen 2009). Operasi susila menangkap para homoseksual baik dari orang Belanda maupun Pribumi, Cina, dan Arab. Dampak dari operasi tersebut tentunya cukup luas, bahkan hingga budaya masyarakat non-hetero.
Praktik-praktik masyarakat adat yang berhubungan dengan homoseksual ikut terkena dampak. Reog ponorogo menjadi saksi pelarangan Belanda karena mengandung unsur-unsur homoseksual karena di dalamnya terdapat relasi warok dan gemblak (Boellstorff 2005). Reog dilarang berpentas di jalan-jalan pada masa penjajahan (Achmadi 2013). Reog sekadar diperbolehkan berpentas di dalam rumah atau berpayung atap privasi.
Hasilnya, keragaman seksual dan gender di Nusantara tergerus oleh kolonialisme (Hidayana 2018). Tekanan sosial, hilangnya jabatan, dan susahnya mendapat pekerjaan adalah konsekuensi jika tertangkap sebagai pelaku non-hetero. Diskriminasi terhadap non-hetero di masyarakat menjadi suatu hal yang lumrah. Dengan demikian, Kolonialisme telah membawa standar norma dan nilai baru di Indonesia hingga kedepannya nilai tersebut masih dibawa pada masa pasca-kemerdekaan.
Subyek Non-Hetero Pascakolonialisme
Era awal kemerdekaan ditandai dengan menguatnya stigma terhadap homoseksualitas yang semula dianggap sakral dan indah menjadi sesuatu yang dinafikan (Artha dan Prastiyo 2021). Kendati secara peraturan perundang-undangan tidak ada usaha untuk mendiskriminasi mereka, stigma terhadap perilaku homoseksual tersebut mulai menguat.
Dimulainya pemerintahan Soeharto diiringi dengan sebuah promosi ide yang menempatkan sebuah konsep ideal akan keluarga serta peran gender di dalamnya. Ide ini menekankan pentingnya peran perempuan sebagai seorang ibu atau dikenal luas sebagai ideologi ibuisme. Hal ini dibangun atas premis bahwa perempuan seyogianya akan menikah dengan laki-laki dan menjadi ibu atas anak-anaknya atau disebut juga sebagai ideologi ibuisme. Seorang perempuan dikonstruksikan untuk mengerjakan tugas domestik, sementara laki-laki dikonstruksikan untuk menjadi pemimpin keluarga yang bekerja banting-tulang. Ide ini kemudian disosialisasikan melalui sistem pendidikan yang mengarahkan anak-anak perempuan untuk menjadi seorang ibu dan istri yang baik (Blackwood 2007). Secara umum, pemerintah membangun sebuah distingsi peran antara laki-laki dan perempuan. Idealitas akan keselarasan jenis kelamin dan peran seseorang menjadi suatu ide yang harus diterima dan diberlakukan.
Sehingga, ekspresi gender dan seksualitas atau bahkan pembagian kerja antar gender yang tidak mengikuti norma ini menjadi sesuatu yang tidak sepantasnya. Misalnya saja kelompok Gerwani yang saat itu menjadi gerakan politik radikal untuk emansipasi perempuan. Mereka dibubarkan dengan tuduhan telah melakukan seks sesama jenis sebagai dalih pemberangusannya (Boellstorff 2005). Ruang bagi kaum non-hetero menjadi tertutup sebab kuatnya heteronormativitas yang menjadi keberlakuan normal dan ideal di masyarakat. Implikasinya bukan hanya pada kebebasan ekspresi gender, melainkan juga terhadap orientasi seksual.
Soeharto pada 1994 meminta delegasi Indonesia pada International Conference on Population and Development di Kairo, untuk tidak mengakui pernikahan sesama jenis karena itu adalah hal yang “aneh-aneh” (Oetomo 2001). Adapun Menteri Pemberdayaan Perempuan Indonesia pada saat itu menyatakan bahwa lesbianisme bukanlah budaya Indonesia maupun ideologi negara (Murray 1999 dalam Blackwood 2007). Lantas bagaimana sikap dan perlakuan terhadap kebudayaan dan keseniaan non-hetero? Rupa-rupanya rezim ini menyikapinya dengan melabeli mereka sebagai bagian dari komunis. Sama halnya ketika gerakan perempuan radikal seperti Gerwani yang disudutkan. Hal ini juga terjadi pada Reog Ponorogo, dianggap dari bagian yang sama: aktivis komunis dan pegiat homoseksual.
Terdapat juga salah satu budaya yang dianggap berafiliasi dengan komunis, yaitu Bissu. Melalui labelisasi komunis terhadap Bissu yang dilakukan oleh pemerintah, kelompok ini mendapatkan tekanan. Sederet tuduhan pada mereka mereka antara lain sirik, komunis, dan tidak selaras dengan nilai ideal yang ada karena ekspresi gendernya. Tuduhan-tuduhan itu ditujukan untuk membangun sebuah norma yang dianggap ideal dan bermartabat, sekaligus untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan perlawanan yang bisa mengganggu kelanggengan kekuasaan penguasa.
Kesimpulan
Kolonialisme meninggalkan warisan heteronormativitas dalam bangsa ini. Kerangka biner yang di bangun membelenggu budaya non-hetero dari masa ke masa. Serangkaian peristiwa dan politik seksualitas yang dijalankan–Kolonial Belanda dan Orde Baru–nyaris membabat tuntas budaya non-hetero. Pelaku budaya non-hetero yang awalnya bisa hidup berdampingan dalam bangsa ini, kini harus berjuang mempertahankan budayanya. Represi, diskriminasi, dan labelling menghantui mereka dalam menjalani kehidupan.
Penulis: Achmad Zainuddin Hidayatullah dan Kornelius Hari (magang)
Penyunting: Gabriel Jovan
Ilustrator: Muhammad Fajru Rakha (magang)
Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro. 2013. “Pasang Surut Dominasi Islam terhadap Kesenian Reog Ponorogo.” Analisis XIII (1).
Aldrich, Robert. 2003. Colonialism and Homosexuality. New York: Routledge.
Artha, Gratia W., & Prasetiyo, Endri B. 2021. Eksistensi Identitas Homoseksualitas (Studi Fenomenologi Ala Geng Kenthir). Malang: Bukuin.
Azizah, Nurul . 2022. “Agama Dan Tradisi: Pergumulan Bissu’ Masyarakat Bugis Di Sulawesi Selatan.” Penelitian Keislaman 18 (02): 67–32. https://doi.org/10.20414/jpk.v18i1.4964.
Baker, Brett. 2005. “South Sulawesi in 1544: A Portuguese Letter.” RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs 39 (1): 61.
Bertrand, Romain. 2007. “La Politique Éthique Des Pays-Bas à Java (1901-1926)”. Vingtième Siècle. Revue d’histoire. 93(1): 115±138.
Blackwood, Evelyn. 2005. “Gender Transgression in Colonial and Postcolonial Indonesia.” The Journal of Asian Studies 64 (4): 849–79. ttp://www.jstor.org/stable/25075902.
Blackwood, Evelyn. 2007. “Regulation of Sexuality in Indonesian Discourse: Normative Gender, Criminal Law and Shifting Strategies of Control.” Culture, Health, & Sexuality 9 (3): 293-307. https://doi.org/10.1080/13691050601120589.
Bloembergen, Marieke. 2009. Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan. Jakarta: Kompas.
Boellstorff, Tom. 2005. Gay Archipelago. New Jersey: Princeton University Press.
Bradshaw, Jodie. 2024. “Queer Oppression in the Global South and the Structural Violence of Development.” E-International Relations. January 4, 2024. https://www.e-ir.info/2024/01/04/queer-oppression-in-the-global-south-and-the-structural-violence-of-development/.
Blussé, Leonard. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKIS.
Faisal. 2021. “KONSTRUKSI MITOS MODERN TERHADAP BISSU KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES.” Journal of Innovation Research and Knowledge 1 (7). https://doi.org/10.53625/jirk.v1i7.797.
Fauzanafi, Muhammad Zamzam. 2005. Reog Ponorogo, Menari Di Antara Dominasi Dan Keragaman. Yogyakarta : Kepel Press.
Hardjowardojo, R Pitono . 1965. Pararaton ; Atau, Tjeritera Ken Angrok. Djakarta: Bhratara.
Hekma, Gert. 2004. “The Netherlands.” glbtq: An Encyclopedia of Gay, Lesbian, Bisexual, Transgender, and Queer Culture https://web.archive.org/web/20110604140233/http://www.glbtq.com/social-sciences/netherlands,4.html
Hekma, Gert. 2010. “Homosexuality and the Left in the Netherlands: 1890-1911.” Journal of Homosexuality 29 (2-3). https://doi.org/10.1300/J082v29n02_04.
Hidayana, Irwan M. 2018. Homoseksualitas bukan produk Barat: Keberagaman gender di Indonesia. The Conversation. Diakses pada tanggal 3 November 2023 melalui: https://theconversation.com/homoseksualitas-bukan-produk-barat-keberagaman-gender-di-indonesia-101669
Jaelani, Gani A. 2019. Dilema Negara Kolonial: Seksualitas Dan Moralitas Di Hindia Belanda Awal Abad Xx. Patanjala. Vol.11. No.1 2019. DOI: http://dx.doi.org/10.30959/patanjala.v11i1.468
Kencanasari, Lisa Sulistyaning . 2009. “Warok Dalam Kesenian Reog Ponorogo (Perspektif Eksistensialisme).” Jurnal Filsafat 19 (2).
Klinkenberg, E. M. . 2021. Romeo and Julius in the Tropics: The 1938 Zedenschandaal as a Case Study of the Intersection between Colonialism and Homosexuality in the Dutch Indies. Utrecht University.
Koenders, Petrus & Koenders, Pieter. 1996. Tussen Christelijk Réveil en Seksuele Revolutie. Stichting Beheer IISG. ISBN 9068611100, 9789068611106
Krismawati, Nia Ulfia, Warto Warto, and Nunuk Suryani. 2018. “Eksistensi Warok Dan Gemblak Di Tengah Masyarakat Muslim Ponorogo Tahun 1960-1980.” Religió: Jurnal Studi Agama-Agama 8 (1): 116–38. https://doi.org/10.15642/religio.v8i1.747.
Lieshout, Maurice van. 1911. “1911 Homosexuality in Criminal Law.” Queer U Stories. May 31, 1911. https://www.queerustories.com/canon/1911-homoseksualiteit-in-het-strafrecht/.
McLean, Nyx. 2018. “The Trouble with Making LGBTIAQ People Live on Heterosexuals’ Terms.” The Conversation. June 24, 2018. https://theconversation.com/the-trouble-with-making-lgbtiaq-people-live-on-heterosexuals-terms-98392.
Morantes-Africano, Leonardo. 2023. “Queering Habitus: Interrogating Heteronormative Dispositions That Reproduce Inequalities towards Sexual Minorities.” Research in Post-Compulsory Education 28 (2): 241–59. https://doi.org/10.1080/13596748.2023.2206708.
Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Internet Archive. Galang Press Yogyakarta. https://archive.org/details/OetomoMemberiSuaraGayIndonesia/page/n79/mode/2up?view=theater.
Onghokham. 1991. “Kekuasaan dan seksualitas, lintasan sejarah pra dan masa kolonial”, Prisma, (7): 15-23.
Orellana, Ligia, Tatiana Alarcón, and Berta Schnettler. 2022. “Behavior without Beliefs: Profiles of Heteronormativity and Well-Being among Heterosexual and Non-Heterosexual University Students in Chile.” Frontiers in Psychology 13 (August). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.988054.
Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Oxford, Ox, Uk ; Cambridge, Mass., Usa: Blackwell Publishers.
Putri, Risa Herdahita. 2019. Razia Homoseksual Zaman Kolonial. Historia. Diakses pada tanggal 03 November 2023 melalui https://historia.id/politik/articles/razia-homoseksual-zaman-kolonial-PdjAZ/page/1
Rao, Gopinata. 1916. Elements of Hindu Iconography. 2.2 Vol II, Pt. II. Madras Law Printing House.
Raveesh, BN. 2013. “Ardhanareeshwara Concept: Brain and Psychiatry.” Indian Journal of Psychiatry 55 (6): 263. https://doi.org/10.4103/0019-5545.105548.
Snijders, Paul, ‘François, Joannes Henri’, 2001, Who’s Who in Gay & Lesbian History. London/ New York.
Suliyati, Titiek. 2018. “Bissu: Keistimewaan Gender Dalam Tradisi Bugis.” Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi 2 (1): 52. https://doi.org/10.14710/endogami.2.1.52-61.
Suryakusuma, Julia I. 1991. “Konstruksi Sosial Seksualitas: Sebuah Pengantar Teoritis”, Prisma, Vol. XX (7):
Wilson, Ian Douglas. 1999. “Reog Ponorogo: Spirituality, Sexuality, and Power in a Javanese Performance Tradition.” Intersections, no. 2. http://intersections.anu.edu.au/issue2/Warok.html.
Zakiah, Naila Rizqi. 2018. “Seri Monior Dan Dukumentasi 2018: Bahaya Akut Persekusi LGBT.” Jakarta Selatan: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.