Meski acap kali diterima sebagai pedoman, sebuah falsafah bukan melulu berarti benar. Ia tidak kebal kepentingan dan patut dicurigai. Adakalanya, falsafah hadir untuk mengelirukan keadaan serta menjadi alat pemancang kekuasaan.Â
Ada hantu yang menggentayangi Yogyakarta—hantu yang tidak berbau dan tidak bersuara. Hantu ini merayap menuju kepala dan larut di dalam nalar. Pelan-pelan, ia membangun selaput di mata orang-orang untuk mengaburkan keadaan yang senyatanya bermasalah: bahwa Yogyakarta dirongrong kemiskinan.Â
Seiring berjalannya waktu, hantu ini, yang diam-diam menghinggapi masyarakat Yogyakarta, dianggap sebagai lumrah dan diterima begitu saja. Ia menjadi falsafah yang digunakan untuk menavigasi penafsiran. Samar-samar, hantu ini bersembunyi dalam perbincangan soal kearifan lokal—salah satu komponen yang konon, menjadikan Yogyakarta begitu istimewa.
Yogya Istimewa, Katanya
Keistimewaan Yogyakarta bermula dengan adanya Perjanjian Giyanti 1755. Perjanjian ini menjadi cikal bakal berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada 1755 serta Kadipaten Pakualaman pada 1813. Keberadaan kedua kerajaan ini telah diakui bahkan sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang (Budi 2023). Di kemudian hari, Yogyakarta tetap memiliki keistimewaannya bahkan setelah Indonesia merdeka karena dukungan Sultan Hamengku Buwono (HB) IX pada masa awal perjuangan Kemerdekaan. Kontribusi HB IX dimulai sejak proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan cara meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Alwi 2009).
Selain peleburan Yogyakarta ke dalam NKRI, HB IX juga mempersilakan pemindahan ibu kota ke Yogyakarta ketika Belanda kembali menduduki Jakarta. Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, HB IX kembali menunjukkan dukungannya dengan memberikan suaka kepada tentara Indonesia di Keraton dan berhasil memenangkan pertempuran tersebut. Kemenangan tersebut menghasilkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berisi penarikan pasukan Belanda dari Yogyakarta dan disusul dengan penyerahan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 (Alwi 2009).
Oleh karena jasa-jasa HB IX kepada NKRI, keistimewaan Yogyakarta diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. UU ini menjadi cikal bakal lahirnya frasa “daerah istimewa” Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu, UU tersebut mengalami berbagai perubahan hingga berbentuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY) (DPR RI 2017). Kehadiran UU ini menjadikan Provinsi Yogyakarta memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dapat ditemui di provinsi-provinsi lain, seperti adanya tanah Kasultanan (Sultan Ground) dan Dana Keistimewaan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 42 UU KDIY.
Meskipun keistimewaan telah diberikan, rakyat Provinsi Yogyakarta tak jua sejahtera. Salah satu masalah sosial utama yang menggerogoti Yogyakarta adalah tingginya angka kemiskinan. Dari 2018 hingga 2023, BPS mencatatkan persentase penduduk miskin Provinsi Yogyakarta lebih buruk daripada nasional. Dalam jangka waktu tersebut, persentase penduduk miskin Provinsi Yogyakarta berkisar di angka 11—12%, sementara persentase nasional berada di angka 9—10%. Masyarakat yang dikategorikan miskin dalam pengukuran ini merupakan masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs approach) dan memiliki rerata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK) (BPS DIY, n.d.).Â
Gambar 1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin Indonesia dan Provinsi Yogyakarta dalam Rentang 5 Tahun Terakhir
Faktor-faktor kemiskinan yang dimaksud meliputi keterbatasan jumlah sumber daya alam, maraknya alih fungsi lahan pertanian, dan minimnya lapangan kerja (Ratnawati 2011). Selain itu, penyelewengan dana keistimewaan (danais) oleh pemerintah memperpelik kemiskinan Provinsi Yogyakarta. Pada 2020, alun-alun utara dipugar dengan membuat pagar besi yang mengelilinginya demi mengembalikan bentuk asli. Permasalahannya, anggaran dana yang digelontorkan sebesar 2,3 miliar rupiah dan berasal dari danais (Pertana 2020). Padahal, danais 2020 semestinya dialokasikan untuk menangani pandemi Covid-19 (Pramesti 2021). Pemerintah daerah pada waktu itu beralasan tidak sanggup memberikan bantuan finansial sehingga masyarakat diminta untuk mandiri.
Kendati demikian, pemerintah Provinsi Yogyakarta masih berusaha menekan angka kemiskinan menjadi 10,66% pada tahun 2023. Per Desember 2023, pemerintah Provinsi Yogyakarta telah menjalankan 49 program dengan 61 kegiatan dan menggelontorkan dana sebanyak Rp326.415.136.544,00 (Bappeda DIY 2023). Program-program tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta 2022—2027 (Bappeda DIY 2023) dengan contoh program seperti Desa Mandiri Budaya, Desa Prima, dan beasiswa pendidikan untuk keluarga miskin. Aris Eko Nugroho sebagai Paniradya Pati—pemimpin Paniradya Kaistimewan yang mengatur urusan keistimewaan—mengatakan bahwa program-program tersebut didanai oleh danais (Humas Pemda DIY 2023).
Kembali pada glorifikasi keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi Yogyakarta, ihwal kemiskinan merupakan sebuah pertanyaan besar. Sebab, terdapat pelbagai keistimewaan yang hadir sejalan dengan eksistensi label “daerah istimewa” yang didapatkan oleh Provinsi Yogyakarta, seperti danais. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 42 ayat (2) UU KDIY tentang Keistimewaan DIY, besaran danais diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Yogyakarta kepada pemerintah pusat. Pada tahun 2023, sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023, Provinsi Yogyakarta menerima danais sebesar Rp1.420.000.000.000,00. Akan tetapi, dengan danais sebesar 1,42 triliun, besaran dana yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan hanya sekitar 22,98% atau setara dengan Rp326.415.136.544,00. Pertanyaannya: Mengapa?
Air Diam Tanda Tak Dalam
Kemiskinan di Provinsi Yogyakarta tak membuat pemerintah mengevaluasi kinerjanya atau sistem monarki. Bahkan, sinuwun, malah mengeluarkan pelbagai kebijakan yang makin melegitimasi dirinya dan memarginalkan masyarakatnya. Sultan Ground, misalnya, banyak menciptakan kecemasan. Ketika tahun 2009 terdapat wacana bahwa Tamansari hendak difungsikan kembali sebagaimana mestinya dulu (istana plesiran megah lengkap dengan danau buatan di tengah-tengahnya) untuk mendapat pengakuan UNESCO, Yudianto terpaksa nrimo (menerima). Meski sudah bermukim lama di wilayah itu, bukan artinya ia bisa bernafas lega: Yudianto beserta penduduk di sana mesti berkemas seandainya Keraton menginginkan tanahnya kembali untuk tujuan apapun.
Sikap berbeda ditunjukkan oleh para buruh dalam aksi May Day pada tanggal 1 Mei 2023. Mereka turun ke jalan dan menyampaikan tuntutan mengenai UMP Provinsi Yogyakarta. Bagi mereka, UMP Yogyakarta yang sekarang tidak cukup untuk sekadar menopang hidup yang layak. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) mendesak HB X yang memegang jabatan sebagai Gubernur Provinsi Yogyakarta untuk menaikkan UMP Yogyakarta sebesar 50%. Bagi mereka, upah yang layak berada di angka Rp4.000.000.
Senada tapi tak serupa, Widodo telah lama berjuang melawan korporasi tambang pasir besi sejak 2006. Salah satu dari dua perusahaan yang dilawannya dimiliki oleh keluarga Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Izin penambangan ini memengaruhi enam desa dan ditakutkan mengaborsi usaha mandiri tani lahan pantai di Kulon Progo.Â
Meski demikian, secara umum, suara-suara perlawanan seperti para buruh dalam aksi May Day dan Widodo seakan redup di antara masyarakat Provinsi Yogyakarta itu sendiri. Seolah-olah, hadir sebuah tembok besar yang menghambat nalar kritis untuk memeriksa keadaan dan memperjuangkan hidup yang lebih layak. Tembok besar ini menjelma menjadi hantu yang menyetir penafsiran umum masyarakat dalam menyikapi berbagai masalah sosial, terutama kemiskinan. Ia menjadi ilusi untuk lari dari masalah dan diam-diam menabur pupuk untuk memelihara tatanan kekuasaan yang mapan. Sebuah penelitian terhadap warga Desa Mertelu, Kecamatan Gedangsari akhirnya berhasil mendeteksi hantu tersebut (Hudayana dan Nurhadi 2020). Dari sana, kita bisa beranjak untuk memahami fenomena umum yang tengah terjadi. Nama hantu itu: nrimo ing pandum.
Falsafah untuk Siapa?
Nrimo ing Pandum (NIP) merupakan falsafah Jawa yang menekankan pada penerimaan situasi atau keadaan secara ikhlas dan apa adanya. Narimo berarti menerima dan Pandum berarti pemberian (Prayekti 2019). Secara umum, nrimo ing pandum berarti menerima apa yang diberi. Sikap menerima (nrimo) yang tecermin dari falsafah ini dapat ditelusuri dari tradisi yang diwariskan dari masa ke masa oleh kerajaan bercorak Jawa, seperti Majapahit, Mataram, Demak, Singosari, Blambangan, Yogyakarta, dan Surakarta.Â
Salah satunya, misalnya, adalah spirit kehambaan untuk melayani raja (Kuswaya dan Ma’mun 2020). Krismawati (2013) dalam wawancara dengan “abdi dalem kaputren” (pelayan permaisuri dan putri raja), memperlihatkan bagaimana golongan abdi dalem Keraton Yogyakarta merasa cukup hanya dengan statusnya, meski digaji minim dan tunjangannya kecil. Sikap nrimo dinilai tinggi oleh orang Jawa (Hasim 2012).Â
Kolonialisme juga turut ambil peran. Pendudukan panjang di Jawa memaksa penduduknya mengadopsi sikap nrimo agar bisa menebus hari demi hari dari sistem perbudakan yang terjadi. Lama-lama, sikap nrimo ini menjadi keras dan mengkristal dalam karakteristik orang Jawa (Kuswaya dan Ma’mun 2020).Â
NIP sendiri berkaitan dengan pandangan dunia Jawa secara keseluruhan. Dalam pandangan dunia Jawa, keteraturan dan harmoni menjadi hal yang utama. Kekacauan dapat terjadi seandainya dua unsur ini tidak ditaati. Dalam interaksi antarmanusia, keteraturan dan harmoni dijelmakan dalam tatanan hierarkis masyarakat: setiap orang punya tempat masing-masing dan harus berperan sesuai posisinya sendiri-sendiri (Magnis-Suseno 1984).Â
Dari sini, NIP, sebagai suatu falsafah, secara tidak langsung melanggengkan tatanan hierarkis masyarakat. Kedudukan harus diterima sebagai nasib yang tersurat. Konsekuensinya: struktur kekuasaan menjadi ajek. Siapa yang paling diuntungkan? Tentu, para penguasa. Kelas penguasa terus bertengger di atas dan mempertahankan posisinya melalui bangunan pemahaman yang dianggap sebagai umum (common sense). Dalam pandangan Gramsci, hal ini merujuk pada hegemoni budaya (Barker dan Jane 2016). Melalui kombinasi persetujuan (consent) dan pendisiplinan dari aparatus penguasa (Gramsci dalam Hoare dan Smith 1999), satu bangunan pemahaman tertentu terpacak dan menjadi dominan dalam masyarakat sebagai alat menafsirkan keadaan.
Usaha menegakkan kekuasaan ini tecermin, misalnya, dalam geger Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang terjadi pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Undang-undang ini mengatur sistem pemerintahan daerah dan pengisian jabatan kepala daerah beserta wakilnya ditentukan melalui mekanisme pemilihan. Ujung-ujungnya, toh, tidak terjadi mekanisme pemilihan untuk menentukan pemangku jabatan tersebut, namun perebutan kekuasaan tetap terpelihara dalam lingkup internal keraton (Ahnaf dan Salim 2017).Â
Sebagai upaya untuk mempertegas kekuasaannya, HB X mengeluarkan sabdatama pada 6 Maret 2015. Sabdatama ini berisi delapan butir perintah, dan pada dasarnya berusaha untuk terus mengukuhkan raja sebagai satu-satunya sosok yang memiliki wewenang dan kekuasaan. Butir pertama, misalnya, berbunyi: “Ora isa sopo wae, ngungkuli utowo ndhuwuri mungguhing keraton.” (Tidak seorang pun boleh melebihi kewenangan keraton [Raja]). Dan kalimat terakhir pada butir kedua berbunyi: “Kang bisa mutusne Raja.” (Yang bisa memutuskan hanya Raja). Pada butir keempat, bunyinya semakin tegas: “Sing gelem lan ngrumangsani bagian saka alam lan gelem nyawiji karo alam, kuwi sing pantes diparingi lan diparengake ngleksanaake dhawuh lan isa diugemi” (Siapa saja yang merasa bagian dari alam dan mau menjadi satu dengan alam, dialah yang layak diberi dan diperbolehkan melaksanakan perintah dan bisa dipercaya) dan bahwa “…kang gumelar iki wis ono kang noto. Dumadi onolir gumanti ora kepareng dirusuhi.” (Bagian ini sudah ada yang mengatur. Bila ada pergantian, tidak boleh diganggu).Â
Seakan belum puas, Sultan pun mengeluarkan sabda jejering raja (sabda sebagai raja) pada 31 Desember 2015. Salah satu isinya menyatakan bahwa sabda yang dikeluarkan didasarkan pada perintah Tuhan dan para leluhur Sultan. Pengeluaran sabdatama secara efektif mengaitkan kepentingan politis raja dengan falsafah yang diterima secara umum—Sultan mengerek langit untuk urusan kotor manusia. Melalui geger tersebut, kita dapat memahami bahwa pihak penguasa secara langsung maupun tidak langsung berusaha menekankan satu bangunan pemahaman tertentu sebagai mutlak dan wajib untuk diamini.Â
Dalam konteks Provinsi Yogyakarta, NIP adalah bangunan pemahaman itu, ia melakoni fungsi ganda sebagai alat penegak kekuasaan sekaligus ilusi pelarian terhadap masalah-masalah sosial seperti kemiskinan. Nrimo dicitrakan sebagai sikap yang luhur dan dipermak menjadi identitas kultural. Akibatnya, alih-alih memperbaiki masalah, pemerintah daerah di Provinsi Yogyakarta merasa tidak perlu risau terhadap angka kemiskinan yang memuncak. Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, contohnya, menyatakan bahwa warga Provinsi Yogyakarta, walaupun miskin-miskin, tapi bahagia. Atau Paku Alam X yang menyatakan bahwa data BPS tidak bersesuaian sebab Provinsi Yogyakarta memiliki kearifan lokal—kebiasaan untuk tidak melakukan konsumsi di luar kebutuhan primer, misalnya—sehingga kemiskinan yang terjadi harus dipandang sebagai anomali. Perkaranya: klaim ini datang sewenang-wenang dari pemegang kuasa itu sendiri, bukan masyarakat umum. Angan-angan muluk soal “miskin tapi bahagia” berpegang pada “kearifan lokal” menguap di antara tubuh-tubuh berkeringat yang roboh membanting tulang dan pagar besi yang dibangun berkitar-kitar. NIP sebagai falsafah hidup menjadi instrumen yang mangkus dalam melanggengkan narasi “miskin tapi bahagia” yang datang dari mulut pemegang kuasa sekaligus slogan untuk menghalau nalar kritis mempertanyakan keadaan. Kebahagiaan, dalam konteks ini, terlihat seperti gagasan semu yang terpaksa diseberangi. Kemiskinan, toh, tidak ujug-ujug dititahkan oleh langit. Ia menjadi konsekuensi dari cacat kebijakan dan pengorganisasian sosial manusia—dan semestinya dapat diatasi pula oleh manusia. Sudah saatnya kita bertanya: Apa yang patut diterima dari kemiskinan?
Penulis: Enjeli WMS dan Giovanni Ramadhani (Magang)
Penyunting: Nadia R. Chairina
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi
Daftar Pustaka
Afandi, Muhammad. 2022. “Menanam adalah Melawan: Obituari Widodo, Petani-Pejuang dari Pesisir Kulon Progo Menentang Kerakusan Keraton Yogya.” Project Multatuli. https://projectmultatuli.org/menanam-adalah-melawan-obituari-widodo-petani-pejuang-dari-pesisir-kulon-progo-menentang-kerakusan-keraton-yogya/.
Ahnaf, Muhammad I., and Hairus Salim. 2017. Krisis keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta. Sleman, Indonesia: CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies), Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada.
Bappeda DIY. 2023. “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta 2022—2027.” DPRD DIY. https://www.dprd-diy.go.id/wp-content/uploads/2023/02/RPJMD-DIY-Tahun-2022-2027.pdf.
Bappeda DIY. 2023. “Upaya Pemerintah dalam Pengentasan Kemiskinan.” List Master Data | Aplikasi Dataku. https://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/index/672-upaya-pemerintah-dalam-pengentasan-kemiskinan.
Barker, Chris, and Emma A. Jane. 2016. Cultural Studies: Theory and Practice. Los Angeles: SAGE.
BPS DIY. n.d. “Konsep Kemiskinan dan Ketimpangan.” BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. Accessed December 24, 2023. https://yogyakarta.bps.go.id/subject/23/kemiskinan-dan-ketimpangan.html#subjekViewTab1.
Budi, Muchus. 2023. “Kilas Balik Status Keistimewaan DIY.” Detik. https://www.detik.com/jateng/jogja/d-5902149/kilas-balik-status-keistimewaan-diy?single=1.
DPR RI. 2017. “Profil UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.” J.D.I.H. – Dewan Perwakilan Rakyat. https://www.dpr.go.id/jdih/index/id/273.
Gramsci, Antonio, Quentin Hoare, and Geoffrey N. Smith. 1999. Selections from the Prison Notebooks. London: ElecBook.
Hasanudin, Ujang. 2023. “DIY Masuk Kategori Miskin, Bupati Halim: Tak Perlu Risau, Miskin tapi Bahagia.” Jogjapolitan. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/01/23/511/1123966/diy-masuk-kategori-miskin-bupati-halim-tak-perlu-risau-miskin-tapi-bahagia.
Hasim, Moh. 2012. “Falsafah Hidup Jawa dalam Naskah Sanguloro.” Jurnal Lektur Keagamaan 10, no. 2 (December): 301. https://doi.org/10.31291/jlk.v10i2.184.
Hudayana, Istato, and Nurhadi. 2020. “Memaknai Realitas Kemiskinan Kultural di Pedesaan: Sebuah Pendekatan Partisipatoris.” Journal of Social Development Studies 1, no. 1 (March): 13-24. https://doi.org/10.22146/jsds.205.
Humas Pemda DIY. 2023. “BI Nilai Upaya Pengentasan Kemiskinan DIY Membuahkan Hasil.” Portal Resmi – Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. https://jogjaprov.go.id/berita/bi-nilai-upaya-pengentasan-kemiskinan-diy-membuahkan-hasil.
Jono. 2022. “Paku Alam: Kearifan Lokal Warga DIY, Kemiskinan Jadi Anomali.” Krjogja. https://www.krjogja.com/diy/1242468543/paku-alam-kearifan-lokal-warga-diy-kemiskinan-jadi-anomali.
Krismawati, Yeni. 2013. “Falsafah ‘Nrimo’ dalam Budaya Jawa ditinjau dari Tugas Pendidikan Kristen Berdasarkan Perspektif Psikologis.” Kurios 1, no. 1 (October): 22-34. https://doi.org/10.30995/kur.v1i1.10.
Kusuma, Wijaya. 2015. “Raja Jogja Mendadak Keluarkan Sabdatama.” KOMPAS.com. https://regional.kompas.com/read/2015/03/06/12440311/Raja.Jogja.Mendadak.Keluarkan.Sabdatama.
Kuswaya, Adang, and Sukron Ma’mun. 2020. “Misinterpretation of Patience: An Analytical Study of Nerimo Concept within the Indonesian Muslim Society.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 10 (1): 153-176. https://doi.org/10.18326/ijims.v10i1.153-176.
Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Media Digital. 2023. “DIY Dianggap Miskin, tapi Bahagia dan Panjang Usia.” Jogjapolitan. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/01/21/510/1123875/diy-dianggap-miskin-tapi-bahagia-dan-panjang-usia.
Pertana, Pradito R. 2020. “Alun-alun Utara Yogya Bakal Dipasangi Pagar Besi.” detikNews. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5045776/alun-alun-utara-yogya-bakal-dipasangi-pagar-besi?single=1.
Ratnawati, Tri. 2011. “Antara “Otonomi” Sultan dan “Kepatuhan” pada Pusat di Era Reformasi: Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).” Governance: Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, no. 1 (November): 42-68.
Rinepta, Adji G. 2023. “Aksi di Jogja Dikawal Bergodo, Buruh Minta Upah Naik Jadi Rp 4 Juta.” Detik. https://www.detik.com/jateng/jogja/d-6698285/aksi-di-jogja-dikawal-bergodo-buruh-minta-upah-naik-jadi-rp-4-juta.
Rudiana, Pito A. 2015. “Sultan Keluarkan Lagi Sabda Raja, Ada Ancaman Pengusiran.” Tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/732177/sultan-keluarkan-lagi-sabda-raja-ada-ancaman-pengusiran.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023.
Yudianto, Prabu. 2021. “Meski Terancam Diusir dari Sultan Ground, Saya (Terpaksa) Tetap Narimo Ing Pandum.” Mojok.co. https://mojok.co/terminal/meski-terancam-diusir-dari-sultan-ground-saya-terpaksa-tetap-narimo-ing-pandum/.Â