Salah satu bentuk praktik institusional dan diskursif yang digunakan negara untuk memobilisasi warga negara mereka dalam strategi neoliberal adalah pengiriman pekerja migran. Mereka dikerahkan oleh negara untuk bekerja pada majikan di seluruh dunia untuk menghasilkan ‘keuntungan’ dari remitansi yang dilakukan para pekerja migran ke keluarga mereka (Rodriguez 2010).
“Taiwan itu tidak seindah foto profil di Facebook.” Kalimat tersebut dilontarkan oleh Tari Sasha, seorang perempuan yang telah menjejakkan kaki di Taiwan sejak tahun 2011 untuk mencari penghidupan. Sebelum bekerja di luar negeri, mulanya Tari bekerja sebagai sales asuransi dengan gaji Rp750.000. Namun, dia mulai menyadari bahwa gajinya tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Berbekal dengan kekecewaan sebab merasa gagal menjadi tulang punggung keluarga, Tari memutuskan untuk berangkat ke Taiwan. Dalam angan-angannya, Taiwan merupakan sebuah tempat yang memiliki banyak rupa tatkala derap kaki menderu sepanjang hari, mata kotanya tidak pernah terlelap terlena mimpi, serta rangka-rangka baja yang mencakar langit menembus mega. Kenyataannya, Taiwan tidak seindah itu.
Taiwan yang tampak apik hanyalah dongeng karangan pihak swasta dan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) sebagai bentuk rayuan semata. Janji-janji yang diberikan pun berbanding terbalik dengan realita. Dahulu, Tari berangkat ke Taiwan untuk bekerja di pabrik mainan. Sesampainya di Taiwan, dirinya justru ditempatkan di pabrik baja dengan pekerjaan yang tidak menentu, seperti mencuci mobil, mencuci truk, mencangkul, membersihkan apartemen, hingga mengasuh balita. Pekerjaan yang tidak karuan ini bukan semata-mata disebabkan oleh keluguan Tari, tetapi juga pihak PJTKI yang hanya menginginkan para pekerja supaya lekas terbang sehingga menjadi uang.
Pekerja Migran dalam Pembentukan
Keberadaan pekerja migran sudah ada sejak abad ke-16. Praktik ini dapat dilihat dari sejarah baboe atau orang-orang Indonesia yang meniti hidupnya sebagai budak orang Belanda. Mereka tidak hanya melakukan pekerjaan di dapur, tetapi juga berperan sebagai pengasuh anak yang turut melakukan perjalanan ketika orang-orang Belanda kembali ke negara asalnya (Soraya 2018).
Selain itu, kekerasan, ekonomi, dan migrasi secara paksa juga lekat dengan sejarah terciptanya sistem pekerja migran di Indonesia. Akar sejarahnya sendiri dapat ditilik ketika peraturan mengenai abolisi perbudakan pada 1 Juli 1863 menyeruak di Suriname. Peraturan ini menjadikan perkebunan di Suriname terjerahak lantaran para budak Afrika memutuskan untuk beralih profesi. Akibatnya, perekonomian Suriname pun turun drastis. Kala itu, Suriname merupakan wilayah koloni Belanda di Amerika Selatan sehingga pemerintah Belanda mengirimkan penduduk Jawa untuk menggantikan peran budak Afrika agar perekonomian kembali normal. Nahasnya, buruh-buruh tersebut dipekerjakan dengan upah yang tidak manusiawi (Kroef 1951). Ketiga aspek yang menjadi bibit lahirnya sistem tenaga kerja migran tampak masih bertaut hingga pecahnya Perang Dunia Pertama.
Ketika ketegangan politik meningkat di Eropa sekitar tahun 1900-an, pasar tenaga kerja internasional turut berkembang. Dampaknya, semakin banyak pekerja dari berbagai belahan benua mencari peluang di pusat kapitalisme agraria dan industri. Di beberapa negara, khususnya Uni Soviet, kaum kapitalis semakin gencar merekrut pekerja migran sebagai pekerja musiman. Pada masanya, Uni Soviet memboyong orang-orang Cina sebagai kompensasi atas kurangnya pekerja lokal yang disebabkan oleh wajib militer dalam skala masif. Selain itu, pekerja migran juga menjadi isu politik sebagai bagian dari negosiasi perdagangan antara Jerman dan Uni Soviet (Alexeeva 2018).
Berakhirnya Perang Dunia Pertama ditandai dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian perdamaian bernama Traktat Versailles pada tahun 1919. Di bawah perjanjian ini, Komisi Perburuhan berkeinginan untuk menciptakan perdamaian universal yang berlandaskan dengan keadilan sosial. Alhasil, Samuel Gompers yang kala itu menjabat sebagai Komisi Perburuhan pun mendirikan International Labour Organization (ILO) pada tahun yang sama. Dalam pendiriannya, ILO berkomitmen untuk memanusiakan para pekerja serta memerangi ketidakadilan, penderitaan, dan kemiskinan. Meskipun ILO telah dibentuk, rezim kerja paksa masih terus berlanjut.
Selama Perang Dunia Kedua, rezim kerja paksa kembali merajalela, misalnya rezim pemerintahan Jepang. Militer Jepang menginvasi sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Menurut retorika mereka, tujuannya untuk membebaskan masyarakat Asia dari kekuasaan kolonial Barat. Kenyataannya, Jepang mempekerjakan jutaan penduduk lokal sebagai buruh di bawah slogan ‘Pembangunan Kawasan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya’ yang terus digaungkan. Rezim kerja paksa mereka melibatkan perampasan kebebasan dan penderitaan bagi masyarakat lokal. Melalui sistem kerja paksa yang dijuluki Romusha, orang-orang Indonesia diangkut ke berbagai wilayah pendudukan Jepang, termasuk ke lokasi pembangunan kereta api Thailand–Burma. Para pekerja tersebut dimigrasikan secara paksa, kemudian ditempatkan di lingkungan kerja yang buruk dengan persediaan makanan, pakaian, perumahan, dan upah yang tidak memadai (Sato 2004).
Dengan sejumlah pergolakan yang terjadi setelah Perang Dunia Kedua serta harapan untuk menyejahterakan pekerja migran, maka sebuah pertemuan pun diselenggarakan di Jenewa pada 8 Juni 1949. Pertemuan yang digelar oleh Dewan Pembina ILO membuahkan instrumen mengenai pekerja migran serta pengertian tenaga kerja migran sebagai orang yang berpindah dari satu negara ke negara lain bukan untuk bekerja atas nama dirinya sendiri, melainkan untuk dipekerjakan oleh orang lain (Balun dan Sisman 2021).
Regulasi yang Setengah Hati
Bergulir menuju tahun 1960-an, pekerja migran dikonsep untuk pertama kali oleh rezim Soeharto. Pada rezim ini, elite politik memandang pekerja migran sebagai instrumen yang menjanjikan bagi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, serta sebagai sumber pendapatan devisa (Killias 2018). Masifnya migrasi pekerja kasar ke Malaysia dan Arab Saudi pada 1970-an, membuat rezim Soeharto memperlakukan pekerja kasar migran menjadi komoditas yang laku di pasar internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan masifnya migrasi pekerja ke Malaysia dan Arab (Tirtosudarmo 2014). Regulasi pun dibuat oleh rezim Soeharto dengan substansi yang serampangan. Sebagai contoh, segala permasalahan mengenai pekerja migran wajib diselesaikan oleh agensi perekrutan mereka. Selain itu, para pekerja migran ini wajib untuk menyimpan sekitar 50% penghasilan mereka ke bank di Indonesia guna menambah devisa negara (Tirtosudarmo 2014).
Rezim Soeharto pun mengadopsi pendekatan yang agresif dalam mengontrol pekerja migran. Saat kasus kekerasan pekerja migran perempuan di Timur Tengah menyeruak ke muka publik, bukannya berbenah, pemerintah justru menuduh pers memberitakan berita yang bias. Bahkan, pada tahun 1985, Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) saat itu, Laksamana Sudomo sampai mengeluarkan surat edaran yang melarang para pekerja migran untuk berbicara di pers (Tirtosudarmo 2014).
Ketika genderang reformasi mulai ditabuh, pada tahun 1997 terbentuk lembaga nonpemerintah bernama Konsorsium Pembela Buruh Migran (KOPBUMI) yang aktif menyuarakan hak pekerja migran serta mendorong terciptanya UU perlindungan pekerja migran (Tirtosudarmo 2014). Hasilnya, Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) menjadi peraturan nasional pertama dalam meregulasi pekerja migran Indonesia. Proses legislasi yang terjadi sangat sulit dan memakan waktu panjang, dengan empat rancangan UU yang diusulkan (Killias 2018). Rancangan tersebut diusulkan dari KOPBUMI, Kemenkumham, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dan dari DPR itu sendiri (Palmer 2016).
Banyak intrik politik mewarnai pembentukan UU PPTKILN. PJTKI melihat UU ini dapat mempermudah prosedur pengurusan surat-surat dan dokumen-dokumen. Pihak eksekutif sendiri menginginkan agar UU ini segera disahkan sebagai upaya untuk memenuhi janji Presiden Megawati, terutama selama masa Pemilihan Presiden (Probosiwi 2015). Perang kepentingan yang terjadi antara birokrasi dan pihak swasta dalam pembentukan UU pekerja migran telah mengesampingkan tuntutan serikat pekerja migran (Tirtosudarmo 2004; Killias 2018).
Amburadulnya pembentukan UU PPTKILN berusaha diperbaiki dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Namun sayang, reformasi yang diusahakan hanya angan belaka. Kepala BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Nusron Wahid menegaskan dari struktur dan konten, materi dalam revisi UU PPTKILN ini belum banyak perubahan dibanding UU yang sebelumnya.
UU PPMI pun mengatur sanksi administratif bagi PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta) yang menyalahi prosedur. Sebab, meskipun telah ada lembaga resmi yang mengontrol institusi swasta, nyatanya masih banyak agensi yang mengoperasikan bisnis secara ilegal atau agensi legal yang beroperasi dengan prosedur yang tidak sah (Tirtosudarmo 2014). Namun, pemberian sanksi administratif ini sering menempuh birokrasi yang rumit dari petugas Pengawas Ketenagakerjaan sehingga tidak memberikan efek jera bagi PPTKIS yang melanggar (Wiratma 2018).
Jaminan di UU PPMI pun belum mampu melindungi pekerja migran, setidaknya ada lima poin yang harus disorot. Pertama, pekerja migran tidak mendapatkan hak yang sama dengan pekerja dalam negeri. Kedua, premi BPJS pekerja migran ditanggung oleh individu tersendiri. Ketiga, pekerja migran mendapatkan jaminan kecelakaan pekerjaan apabila telah ada di Indonesia, bukan di luar negeri. Keempat, Jaminan kecelakaan kerja pekerja migran hanya didapatkan jika mengalami cacat anatomi saja. Kelima, Tidak ada tanggungan mengenai risiko gagal berangkat, penempatan, PHK sepihak, gaji tidak dibayarkan dan seabrek masalah lainnya yang membuat para pekerja migran tidak merasa dilindungi (Sulistyowati 2018).
Dengan dalih percepatan penciptaan kerja, UU PPMI kini dilebur bersama beberapa UU lainnya menjadi UU Cipta Kerja. Secara substansi regulasi pekerja migran dalam UU Cipta Kerja tetap amburadul seperti UU PPMI. Ada beberapa pasal yang perlu diperhatikan, terutama Pasal 51 dan Pasal 57. Penghilangan kewajiban izin dari menteri terkait untuk pendirian perusahaan (lihat tabel) berpotensi mengancam perlindungan pekerja migran. Penghilangan ini juga melemahkan kontrol pemerintah terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), dan meningkatkan risiko kurangnya evaluasi terhadap lembaga tersebut. Di samping itu, ketidakjelasan persyaratan perpanjangan izin P3MI dalam Pasal 57 UU Cipta Kerja menciptakan masalah serius dengan mengurangi persyaratan perpanjangan izin usaha. Pasal ini hanya mengharuskan pembaruan data tanpa mempertimbangkan sejumlah indikator yang sebelumnya diwajibkan oleh UU PPMI (Alysa 2021).
Tabel 1. Perbandingan Perubahan UU PPMI dan UU Cipta Kerja
Pasal | Perbandingan Peleburan Undang-Undang PPMI dan Ciptaker | |
UU PPMI (Lama) | UU Ciptaker (Baru) | |
51 | Perusahaan yang akan menjadi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIP3MI dari Menteri. | (1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib memiliki izin yang memenuhi Perizinan Berusaha dan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan dipindahtangankan kepada pihak lain. (3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
57 | (2) Selain harus memenuhi syarat sebagai mana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), perpanjangan SIP3MI sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat diberikan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dengan memenuhi persyaratan paling sedikit:
a) telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan laporan secara periodik kepada Menteri; |
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus menyerahkan pembaruan data paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Dalam hal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak menyerahkan pembaruan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia diizinkan untuk memperbarui izin paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja dengan membayar denda keterlambatan. (3) Ketentuan mengenai denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Menambang Untung dari Pekerja Migran
Banyaknya pekerja yang bermigrasi pada tahun 1970-an merupakan dampak dari resesi ketika sistem produksi massal di negara-negara industri lama berakhir. Arus migrasi yang terus mengalir pada akhirnya membeludak sehingga dikembangkanlah pasar tenaga kerja global baru yang berlandaskan pada ide-ide neoliberalisme (Castles 2015). Neoliberalisme sendiri merupakan proses liberalisasi ekonomi nasional terhadap pelaku-pelaku global seperti perusahaan multinasional serta lembaga-lembaga global semacam International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Larner 2003).
Maka dari itu, para pendukung neoliberal memandang migrasi internasional sebagai peluang. Pada hakikatnya, migrasi internasional adalah keputusan tiap individu untuk mengatasi keterbatasan modal dalam kegiatan produksi rumah tangga (Massey 1993). Namun, pendukung neoliberal melihat migrasi internasional sebagai sebuah pasar yang dapat dijadikan pilihan oleh pekerja sehingga mereka dengan bebas berpindah ke daerah lain guna menerima pendapatan tinggi (Castles 2015).
Eksistensi pekerja migran semakin kentara, terutama pekerja dengan keterampilan rendah. Dalam perekonomian jasa pasca-industri, pekerja berketerampilan rendah dibutuhkan untuk melayani kelompok elite sebab pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan oleh pekerja lokal. Alasan pertama karena demografis, yaitu menurunnya kesuburan dan jumlah generasi muda yang memasuki pasar tenaga kerja di negara-negara kaya. Kedua, karena alasan sosial, yaitu generasi muda lokal telah meningkatkan peluang pendidikan sehingga menolak pekerjaan dengan keterampilan rendah (Castles 2015).
Keberadaan pekerja migran menawarkan berbagai keuntungan bagi suatu negara. Sebab, pekerja asing cenderung jarang menuntut pelayanan kepada pemerintah. Rasio ketergantungan dan konsumsi pekerja asing pun relatif rendah sehingga menekan produksi barang dan jasa. Selain itu, pekerja migran dapat dipulangkan ketika tidak lagi dibutuhkan atau terdapat kendala kesehatan yang bisa mengganggu produktivitas mereka dalam bekerja (Sassen-Koob 1981).
Pekerja migran memang dibutuhkan untuk memperoleh devisa melalui pengiriman uang atau remitansi. Di Filipina, remitansi telah menjadi faktor penentu terpenting dalam memulihkan ekonomi setelah berakhirnya rezim pada tahun 1985. Penggunaan remitansi untuk konsumsi juga terlihat di Thailand. Sepertiga dari remitansi pekerja Thailand di negara-negara Teluk digunakan untuk membeli rumah, 21 persen untuk membayar hutang, 18 persen untuk barang-barang konsumsi, 6 persen untuk investasi pertanian, dan 5 persen untuk kendaraan (Sukamdi dkk. 2004).
Sebutan “pahlawan devisa” melekat pada pekerja migran bukanlah tanpa alasan, remitansi sungguh mampu meringankan kendala devisa suatu negara dan, pada saat yang bersamaan, memberikan kontribusi terhadap tabungan nasional (Tsai dan Tsay 2004). Indonesia sendiri menjadi negara terbesar dan heterogen dengan kebijakan yang mengutamakan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sebagai salah satu strategi pembangunan ekonominya (Sukamdi dkk. 2004). Meski demikian, jika pemenuhan atas hak-hak pekerja migran saja masih jauh dari harapan, apakah mereka akan terus dijadikan alat untuk mendulang cuan?
Penulis: Aditya Rizky Nugroho dan Naura Nadhifah (Magang)
Penyunting: Ahmad Arinal Haq
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi
Daftar Pustaka
Alexeeva, Olga V. 2018. “Experiencing War: Chinese Workers in Russia during the First World War.” The Chinese Historical Review 25, no. 1: 46–66. https://doi.org/10.1080/1547402x.2018.1437512.
Alysa. Polemik UU Cipta Kerja terhadap Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. 2021. Human Rights Working Group https://www.hrwg.or.id/wp-content/uploads/2021/12/Polemik-UU-Cipta-Kerja-dan-Perlindunga-PMI-final.pdf
Andrevski, Hannah, dan Samantha Lyneham. 2014. “Experiences of exploitation and human trafficking among a sample of Indonesian migrant domestic workers.” Trend & Issues, no. 471.
Bora, Balun, dan Yaner Sisman. 2021. “International Labour Organization (ILO) and Migrant Workers.”.
Castles, Stephen. 2015. Migration, Precarity, and Global Governance: Challenges and Opportunities for Labour. Diedit oleh Carl-Ulrik Schierup, Munck Ronaldo, Likic-Brboric Branka, dan Neergaard Anders. Oxford: OUP Oxford.
DPR RI. 2015. “Revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 Untuk Lindungi TKI.” – Dewan Perwakilan Rakyat. Diakses pada (15 November 2023) https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/11201
Kemnaker RI. n. d. “Informasi Mengenai Sejarah Kemnaker, Visi Dan Misi, Struktur Organisasi Dan Daftar Pejabat Kemnaker Dapat Ditemukan Pada Halaman Ini.” Diakses pada 10 November, 2023. https://kemnaker.go.id/information/about.
Killias, Olivia. 2018. Follow The Maid: Domestic Worker Migration in and from Indonesia. Nias Press: Copenhagen.
Kroef, Justus M. van der. 1951. “The Indonesian Minority in Surinam.” American Sociological Review 16, no. 5: 672. https://doi.org/10.2307/2087361.
Larner, Wendy. 2003. “Neoliberalism?” Environment and Planning D: Society and Space 2003 21, no. 5: 509–512. https://doi.org/10.1068/d2105.
Lubis, Ismail Fahmi. 2022. “Homebound.” Video. Two Islands Digital. Diakses pada 27 Desember, 2023. https://cinemata.org/view?m=9GShhTENz.
Massey, Douglas S., Joaquin Arango, Graeme Hugo, Ali Kouaouci, Adela Pellegrino, dan J. Edward Taylor. 1993. “Theories of International Migration: A Review and Appraisal.” Population and Development Review 19, no. 3: 431. https://doi.org/10.2307/2938462.
Probosiwi Ratih. Analisis Undang-Undang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 2015. Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora Vol 5, No 2. https://doi.org/10.22146/kawistara.7597.
Palmer, Wayne. 2016. Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969–2010. Koninklijke Brill nv: Leiden.
Rodriguez, Robyn Magalit. 2010. Migrants for Export: How the Philippine State Brokers Labor to the World. University of Minnesota Press: Minneapolis.
Sassen-Koob, Saskia. 1981. “Towards a Conceptualization of Immigrant Labor.” Social Problems 29, no. 1: 65–85. https://doi.org/10.2307/800079.
Sato, Shigeru. 2004. “Forced Labour Mobilization in Java during the Second World War.” Dalam buku The structure of slavery in Indian Ocean Africa and Asia. Diedit oleh Gwyn Campbell, 96–109. Portland, Oregon: Frank Cass.
Soraya, Yasmine. 2018. “Illegal Indonesian Migrant Workers in the Netherlands: A Reflection on Illegal Chinese Migrant Workers in Indonesia (a Comparative Study).” Indonesian Journal of International Law 15, no. 3. https://doi.org/10.17304/ijil.vol15.3.731.
Sulistyowati, Yatini. 2018. Kelemahan dan Kelebihan Sistem Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia Dalam Buku Saku Memahami Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia: Kelebihan dan Kelemahan UU PPMI. Jaringan Buruh Migran: Jakarta.
.
Sukamdi, Elan Satriawan, dan Abdul Haris. 2004. International Migration in Southeast Asia. Diedit oleh Aris Ananta and Evi Nurvidya Arifin, 137–165. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Sundholm, Mattias. 2013. “ILO: International Labour Organization.” Office of the Secretary-General’s Envoy on Youth, 27 Agustus, 2013. https://www.un.org/youthenvoy/2013/08/ilo-international-labour-organization/.
Tsai, Pan-Long dan Ching-Lung Tsay. 2004. International Migration in Southeast Asia. Diedit oleh Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, 94–136. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2014. The Politics of Migration in Indonesia and Beyond. Research Center for Society and Culture Indonesian Institute of Sciences: Jakarta.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2004. “11. Cross-Border Migration in Indonesia and The Nunukan Tragedy” Dalam International Migration in Southeast Asia. Diedit oleh Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, 310-330. Singapore: ISEAS Publishing. https://doi.org/10.1355/9789812306234-016
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 242.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara RI Tahun 2023 Nomor 41.
Wirastyani, Ratna, Sanggar Kanto, dan Hotman M. Siahaan. 2016. “Migrasi Internasional dan Pemanfaatan Remitansi Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan (Kasus di Desa Clumprit Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang).” Wacana vol. 19, no. 3.
Wiratama, Oky. 2018. Satu Atap Untuk Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam Buku Saku Memahami Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia: Kelebihan dan Kelemahan UU PPMI. Jaringan Buruh Migran: Jakarta.
.
Wisnu, Wardhani. 2018. Kelemahan dan Kelebihan UU PPMI: Tata Kelola Migrasi Pelayanan Publik kepada Pekerja Migran Indonesia. Dalam Buku Saku Memahami Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia: Kelebihan dan Kelemahan UU PPMI. Jaringan Buruh Migran: Jakarta.