“…
apakah nasib kita akan terus seperti
sepeda rongsokan karatan itu?
o… tidak, dik!
kita harus membaca lagi
agar bisa menuliskan isi kepala
dan memahami dunia
solo, 25 mei 87”
(“puisi untuk adik” oleh Wiji Thukul)
Dengan tidak menihilkan permasalahan struktural, Wiji Thukul sadar betapa baca-tulis penting dilakukan untuk merubah nasib. Baca saja puisinya yang lain: “di bawah selimut kedamaian palsu” dan “penyair”. Kesadaran seperti ini bukan hanya diimani oleh Wiji Thukul saja, melainkan juga aktivis-aktivis sezamannya, bahkan “aktivis” di dunia bagian lainnya. Seperti apa yang dicatat oleh Taufik Abdullah, berbagai pergerakan modern tak akan bisa dipahami tanpa menyadari peranan “revolusi baca” (Widjanarko, 2001). Jika boleh disebut, kesadaran atas pentingnya membaca dan menulis adalah kesadaran kolektif orang-orang yang berjuang. Namun, sejak kapankah kesadaran atas pentingnya baca-tulis hadir dalam peradaban manusia?
Kembali ke Mesopotamia dan Mesir
Sebelum melihat lebih jauh hubungan buku dan perjuangan, mari merunut kembali dari penemuan “buku” paling tua di dunia: Mesopotamia dan Mesir. Secara umum, telah disepakati bahwa, tulisan Mesopotamia dan Mesir adalah sistem aksara yang pertama. Pada 1924, di antara aliran Sungai Efrat dan Tigris di Sumeria (dahulu Mesopotamia dan kini Irak bagian selatan) ditemukan “buku”. Usianya diperkirakan sekitar 5300 tahun. “Buku” yang ditemukan berupa tablet-tablet yang dibuat dari lempengan tanah liat yang dibakar. Di permukaannya, tulisan diukir. Sekitar 2800 SM, pihak kerajaan yang menguasai Sumeria pada saat itu mendelegasikan kewenangan mutlak untuk merawat buku-buku kepada para penyalin kitab. Dengan mendelegasikannya pada penyalin kitab, pelestarian budaya terlindung dari dinamika politik. Kemudian, arsip menjadi tempat perlindungan sekaligus jaminan kelangsungan ontologis bangsa (Baez, 2017).
Masih di wilayah Timur Tengah, buku serupa ditemukan di sebuah bukit buatan di Tell Mardik, 55 km di selatan Aleppo, Suriah. Temuan ini ditemukan dari penggalian yang dilakukan oleh Sabatino Moskati, arkeolog dari Universitas Roma, pada 1964. Dalam penggaliannya, ditemukan juga patung yang terukir tulisan “Penguasa Ebla”. Ukiran itu menunjukkan situs tersebut sebagai kota kuno Ebla, yang pada 3000 tahun SM memiliki 250 ribu penduduk dan lebih dari 1.200 petugas administrasi. Buku-buku ditemukan dalam satu wilayah yang sama. Hal ini menandakan, tempat tersebut adalah perpustakaan. Penataannya menunjukkan sudah adanya pengklasifikasian dokumen yang canggih. Buku-buku leksikografis berada di dinding utara, sedangkan buku perniagaan berada di dinding timur. Dalam satu ruangan ini, ditemukan 15.000 buku, baik yang masih utuh maupun yang berupa kepingan. Selain buku leksikografis dan perniagaan, terdapat juga teks administrasi, teks bersejarah dengan risalah, daftar kota-kota taklukan, surat-surat resmi kerajaan, maklumat, dan berbagai keputusan hukum (Baez, 2017).
Penemuan buku-buku terus berlanjut di Timur Tengah. Di Bagdad, perpustakaan Babilonia yang berasal antara 1792 dan 1750 SM ditemukan. Isinya adalah kitab hukum Hammurabi beserta ribuan naskah sastra, matematika, astronomi, dan sejarah. Di sini ditemukan satu rujukan mengenai pentingnya buku. Tertulis bahwa ketika seseorang membeli sebidang tanah, kebun, atau rumah kemudian tabletnya (buku) dibanting, ia akan kehilangan apa yang dibelinya. Beberapa buku di zaman ini semacam sertifikat hak milik (Baez, 2017).
Beralih dari Timur Tengah, buku juga ditemukan di Mesir. Papirus sebagai media pertama yang digunakan bangsa Mesir untuk menulis dokumen dan buku telah digunakan sejak 3000 SM. Berbeda dengan tablet, papirus dibuat dari alang-alang (Cyperus papyrus) yang tulang-tulang daunnya dibuang dan dikeringkan dalam waktu yang lama. Papirus yang sudah kering kemudian dijadikan lembaran-lembaran yang bisa ditulis. Dalam masa-masa ini terdapat Rumah Kehidupan, yaitu perpustakaan kuil yang digunakan untuk melindungi, menyalin, dan menafsirkan naskah-naskah suci (Baez, 2017).
Dalam masa-masa awal munculnya buku di peradaban manusia, dapat dilihat bahwa kesadaran atas pentingnya buku sudah ada. Buku tersimpan rapi dalam perpustakaan-perpustakaan. Bahkan, di Sumeria dan Babilonia, buku dilindungi dengan perintah dan hukum raja. Namun, pada masa-masa awal ini, jelas bahwa buku merupakan barang yang susah didapat. Buku beserta kebermanfaatannya jelas jauh dari masyarakat di luar lingkungan kerajaan. Ia adalah barang mewah. Perpustakaan-perpustakaan yang disebutkan di atas adalah perpustakaan yang dimiliki dan/atau dikuasai raja. Lalu, sejak kapan buku dan kesadaran atas pentingnya baca-tulis menyebar tidak hanya di lingkungan kerajaan?
Demokratisasi Bacaan
Dalam masa Yunani Kuno, terdapat sebuah kegiatan bernama anagnosis ‘baca bersama’. Seperti artinya, kegiatan ini adalah sebuah kegiatan membaca bersama yang dilakukan di tempat umum. Buku, yang pada masa ini berupa papirus, dibuka dengan tangan kiri sementara tangan kanan memegang gulungannya. Kemudian, isinya dibacakan keras-keras oleh seorang pelayan, yang disebut pembaca. Atau terkadang, dibaca oleh penulis sendiri. Setelah pembacaan, para pendengar dipersilakan untuk mengajukan pertanyan. Buku baru dianggap sudah terbit saat sudah melalui proses ini. Hingga abad ke-5 SM, kegiatan membaca keras-keras dan menulis menjadi hal yang biasa dilakukan di berbagai kota (Baez, 2017). Kegiatan seperti ini, seperti yang ditulis oleh Taufik Abdullah, adalah budaya “membaca yang dibacakan”. Pembaca, dalam konteks ini, adalah pendengar yang masih bergantung pada orang lain (Widjanarko, 2001).
Memasuki abad ke-5 SM, keadaan berubah. Di Yunani Kuno, budaya tulisan mulai mendominasi budaya lisan. Dominasi budaya tulisan inilah yang memunculkan perdagangan buku untuk pertama kalinya. Budak dipekerjakan menjadi penyalin kitab. Upah mereka tergantung pada buku yang mereka salin. Naskah yang luar biasa dapat mengangkat mereka dari kemiskinan. Kemudian, jelas, kemampuan penyalin ini menghasilkan salinan yang masih terbatas, pun dengan harga yang mahal. Meski dominasi tulisan memunculkan kegiatan membaca dalam hati, orang-orang masih terbiasa membaca keras-keras. Kebiasaan ini masih sulit untuk ditinggalkan (Baez 2017).
Alberto Manguel (1996 dalam Widjanarko, 2001) menuliskan kisah Socrates yang sedang bercerita dengan Phaedrus. Socrates menceritakan kunjungan Dewa Thoth, dewa penulisan Mesir, ke Raja Mesir. Dewa Thoth menawarkan lima temuan untuk diberikan pada rakyat mesir: angka, dadu, geometri, astronomi, dan tulisan. Kemudian, Raja Mesir dan Dewa Thoth menimbang-nimbang manfaat dan mudharat dari lima temuan itu. Saat sampai pada tulisan, Dewa Thoth berkata bahwa temuan ini akan meningkatkan daya ingat rakyatmu juga memberi kebijakan. Namun, Raja Mesir berkata bahwa justru bila rakyat mempelajari tulisan, mereka akan berhenti belajar mengingat-ingat. Mereka akan bergantung pada tulisan. Tulisan hanya akan memberikan kebijaksanaan semu: mereka seakan tahu banyak hal, padahal tak tahu sama sekali. Keyakinan Socrates soal tulisan sama seperti Raja Mesir. Lebih jauh, Socrates berkata bahwa kata-kata dalam tulisan seolah-olah cerdas, tetapi saat ditanya, mereka hanya mengulang kata-kata yang sama. Namun, benarkah yang dikatakan oleh Socrates? Benarkah tulisan hanya menghadirkan kebijaksanaan semu?
Pada akhir abad ke-15, Johannes Gutenberg menciptakan teknologi yang paling berpengaruh dalam masa modern: mesin cetak. Penemuan ini menjadi fondasi yang cukup mapan untuk perkembangan ilmu pengetahuan (Darmanto, 2001). Mesin cetak jelas mampu mencetak jumlah yang tidak mungkin dilakukan para penyalin kitab. Sebelum abad ke-16, sedikitnya 20.000.000 buku dicetak. Sementara, sebelum abad ke-17, sekitar 200.000.000 buku telah dicetak. Dengan kemudahan ini, buku merebak ke mana-mana. Ia tak lagi mahal. Lengkaplah sudah, buku mampu menjangkau banyak orang. Pengetahuan dapat dinikmati oleh lebih banyak orang (Anderson, 2002). Akumulasi pengetahuan pun mungkin terjadi. Dengan ini, mesin cetak mengakselerasi ilmu pengetahuan. Selain itu, kini, pembaca tidak lagi bergantung pada orang lain. Hubungan penulis dan pembaca menjadi privat. Penulis menyusun kalimat, merangkai wacana, dan memetakan jalan pikiran. Pembaca, yang tidak lagi bergantung pada orang lain, akan secara aktif menuntun jalan pikiran dalam ruang privatnya. Ia dapat menentukan kecepatan: jika tak paham, tinggal balikkan saja ke halaman sebelumnya. Pembaca sekarang “membaca yang membaca” (Widjanarko, 2001).
Memang benar kata Socrates, kata-kata dalam tulisan hanya mengulang-ulang kata yang sama. Saat ditanya, ia tetap mengulang-ulang kata yang sama. Namun, justru di sinilah kelebihan kata-kata dalam tulisan. Bahasa tulis memiliki umur yang awet. Mengulang-ulang berarti tidak berubah dan konsisten. Oleh sebab itu, orang-orang dari zaman berbeda tetap bisa terhubung. Orang-orang dari titik geografis yang berbeda tetap bisa terkoneksi. Diskursus tetap dapat dilakukan, antarpembaca atau antara pembaca dengan penulis (Teeuw, 1984).
Coba lihat lebih jauh apa yang dihasilkan dari penemuan mesin cetak ini. Pada akhir abad ke-17, Respublica Literaria ‘Republik Surat’ muncul. Komunitas intelektual di sekitaran Eropa membuat suatu jaringan jarak jauh dari surat-menyurat. Kemunculannya dapat dilihat sebagai akibat dari kombinasi penemuan mesin cetak dan jaringan surat-menyurat. Apa yang mereka tulis dalam surat mereka adalah sebuah diskursus ilmu pengetahuan. Lihat cara jaringan ini bekerja. Buku, yang sudah dapat dicetak secara masif, menyebar. Orang-orang dengan mudah mendapatkannya. Setelah buku dibaca, para intelektual ini berkirim surat untuk membahas buku atau pengetahuan baru (Daston, 1991). Inilah pengakselerasian ilmu pengetahuan. Jelas, teknologi pada zaman modern tidak lepas dari penemuan mesin cetak. Namun, hal yang lebih mendasar adalah bahwa ide menyebar ruak. Apa pun ide itu.
Menantang Universalisme; Membongkar Suverenitas
Pengaruh paling awal dari penyebaran ide ini adalah Reformasi Gereja. Menurut Ben Anderson, keberhasilan Reformasi Gereja berutang banyak pada penemuan mesin cetak. Sebelum buku cetak merebak, Gereja Katolik Roma dengan mudah memenangkan “pertempuran” melawan kelompok-kelompok yang dianggapnya bidah (Anderson, 2002). Kemudian, muncullah Martin Luther sebagai penantangnya. Pada 31 Oktober 1517, Luther mengumumkan “95 tesis Wittenberg”. Luther menyerang perdagangan indulgensia oleh Roma yang disebut sebagai “holy trade” (Dhakidae, 2002). Tesis-tesisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman sehari-hari. Dalam waktu lima belas hari, tulisan itu sudah menyebar di seluruh negeri seturut dengan gerakan protestanisme. Penerjemahan dalam bahasa Jerman ini signifikan, mengingat teks-teks Gereja Katolik Roma menggunakan bahasa Latin yang tidak banyak dikuasai orang-orang Jerman pada saat itu (Anderson, 2002).
Luther menjadi buronan Gereja Katolik Roma. Dalam pelariannya, ia melakukan kerja-kerja penerjemahan lagi. Kali ini, ia menerjemahkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Jerman berdasarkan naskah Yunani. Terjemahannya terlampau indah, bagi orang-orang pada masa itu, sehingga menjadi sebuah titik awal dari perkembangan bahasa Jerman standar yang kelak memantik rasa kebangsaan orang-orang Jerman. Tafsiran tadinya dimonopoli oleh orang-orang berbahasa Latin, seperti para pastor, uskup, kardinal, dan Paus. Terjemahan Luther, termasuk Injil, datang dan membuka luas tafsiran pribadi (Dhakidae, 2002). Kemudian, percetakan juga ikut mendorong ini. Buku-buku menjadi murah dan, dengan cepat, memunculkan kelompok pembaca yang baru. Kelompok pembaca baru ini termasuk kalangan pedagang dan kaum perempuan yang umumnya tidak terlalu bisa bahasa Latin atau malah tidak menguasainya sama sekali (Anderson, 2002).
Barang tentu, gerakan ini tak hanya mengguncang Gereja Katolik Roma. Kebebasan menafsir memantik kebebasan dan kemerdekaan lain. Di seluruh Jerman, semangat kebebasan dan kemerdekaan dicetak dan disebarkan dalam pamflet, yang pada gilirannya membakar semangat revolusi petani. Seperti yang dicatat oleh Daniel Dhakidae:
Pemahaman terhadap Luther, reformasi yang dipimpinnya, kebebasan yang dinikmati kalangan bawah, plebeyan, terutama kaum petani, yang dipimpin oleh Thomas Muenzer, sesama pejuang dan sekaligus nemesis Luther, dan kemerdekaan yang dinikmati kalangan atas, para pangeran yang merdeka dari kalangan rohaniawan menjadi titik awal ketika kebangsaan dan rasa kebangsaan itu bersemi. Reformasi menjadi titik penting karena di sana universalisme ditantang, suverenitas Paus dan Kaisar dibongkar, kemerdekaan bersemi. Semuanya tidak mungkin terjadi tanpa dukungan oleh penemuan mesin cetak puluhan tahun sebelumnya, tahun 1455 (Dhakidae, 2002).
Lebih lanjut, menurut Ben Anderson (2002), “Gegar keterbacaan yang sama melahirkan negara-negara penting pertama di Eropa yang nondinastik (tidak diperintah turun-menurun oleh wangsa-wangsa ningrat tertentu), nirkota (tidak berbentuk kota-benteng) dalam wilayah Republik Belanda serta Persemakmuran Kaum Puritan Inggris.”
Penutup
Sejak awal kemunculannya, buku sudah disadari sebagai bagian yang penting. Raja-raja ulet mencatat. Mereka tak ingin namanya hilang begitu saja. Diukir pada tanah liat. Digores pada papirus. Kemudian, tak butuh waktu lama, masyarakat nonwangsa pun sadar akan hal ini. Buku-buku dibacakan bak radio: keras-keras dan di depan orang banyak. Kemudian, buku-buku disalin guna memperluas jangkuannya. Namun, itu saja tak cukup. Ia masih belum mencapai guna maksimalnya. Akhirnya, mesin cetak hadir. Dan dengan ini, zaman baru telah dimulai. Zaman yang benar-benar keranjingan baca-tulis di Eropa. Ide-ide dipertandingkan. Kebebasan digalakkan. Perjuangan menemukan jalannya. Perjuangan memang seharusnya tak hanya bersandar pada hal praktis. Ia tak seharusnya melupakan pertarungan wacana.
Penulis: Ryzal Catur Ananda Sandhy Surya
Penyunting: M. Ihsan Nurhidayah
Ilustrator: Venessa Theonia
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. Imagined Communities. Terjemahan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002.
Báez, Fernando. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Terjemahan Lita Soerjadinata. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017.
Darmanto. “Scripta Manent!” Scripta Manent! edisi 34 (2001): 4–7.
Daston, Lorraine. “The Ideal and Reality of the Republic of Letters in the Enlightenment.” Science in context 4, no. 2 (1991): 367–386.
Dhakidae, Daniel. “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa Sebagai Komunitas-komunitas Terbayang.” Dalam Imagined Communities, viii–liii. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002.
Teeuw, A. Sastra dan ilmu sastra: Pengantar teori sastra. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Thukul, Wiji. Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019.
Widjanarko, Putut. “Senjakalanya Budaya Baca?” Kompas, 4 Mei 2001.