Tanah sudah tak tampak di Dukuh Timbulsloko. Sementara warga berjuang untuk bertahan hidup setiap harinya, pembangunan Tol Tanggul Laut yang digadang-gadang sebagai penyelamat malah semakin memperparah. Minimnya kebijakan dan atensi pemerintah membuat masalah tak kunjung selesai.
Ibu-ibu dukuh setempat berada di geladak menunggu perahu motor untuk datang. Beberapa di antaranya membawa jeriken untuk membeli air di seberang. Hari-hari itu, sumur yang mereka bangun secara swadaya tak lagi mengeluarkan air. Memang semenjak tenggelam, warga Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak kesulitan untuk mendapat air.
Gemah Ripah Loh Jinawi
Dahulu, kehidupan di dukuh jauh lebih makmur. Sunhaji, ketua RT 05 RW 07 Dukuh Timbulsloko, masih ingat betul betapa suburnya tanah dukuh kala itu. Cabai, padi, dan kelapa tumbuh menjanjikan bagi yang menanamnya. “Mriki mau ne penak, Mas. Segala bidang penak, akeh. Koyok padi, kulo panenan itu 3–4 ton (Di sini tadinya enak, Mas. Segala hal enak, banyak. Seperti padi, saya bisa panen 3–4 ton),” ucap Sunhaji.
Ingatan Rusika, salah satu warga Timbulsloko, serupa; Timbulsloko pernah menjadi tanah subur yang membawa banyak manfaat bagi masyarakatnya. Segala yang ditanam akan tumbuh. Satu kalimat yang sama terucap oleh mereka berdua kala mengingat masa lalu: gemah ripah loh jinawi (tentram, makmur, serta subur tanahnya). “Ya ada kelapa, ada buah-buahan, pepohonan. Apa saja kan ada, Mas, sebelum terkena rob,” kenangnya.
Banjir rob mengubah semua hal. Menurut Rusika, banjir rob mulai masuk berkala ke Timbulsloko sekitar tahun 2008. Tanah perlahan kehilangan kesuburannya. Tanaman-tanaman perlahan mulai mati. “Kan keno rob to, Mas. Tanaman-tanaman layu dan mati. Setahun lagi terkena rob, tanamannya mati lagi,” ujar Rusika.
Kondisi tanah yang hancur akibat banjir membuat warga tak lagi bertani. Tanah yang kerap dikunjungi air laut dirasa lebih cocok untuk bertambak. Akhirnya, kehidupan bertambak pun dijalani warga Timbulsloko sebagai siasat perlawanan atas rob. “Bisa untuk panen bandeng. Tiga bulan sekali bisa dipanen,” cerita Rusika.
Sekitar tahun 2019, Rusika melanjutkan cerita perihal banjir rob yang semakin mengganas. Air mulai enggan kembali ke laut. Pematang tambak pun makin tergerus hingga ikan-ikan di tambak keluar. Setelah bertani tak bisa, bertambak pun kian sulit. Tak tanggung-tanggung, Rusika dan keluarganya juga harus meninggikan rumah. Hal itu pun tak dilakukannya hanya sekali.
Penuturan Sunhaji pun tak jauh berbeda. Mulai sekitar tahun 2012, tanaman sudah tak lagi ditanami di tanah Timbulsloko akibat air asin yang masuk. Kemudian tahun 2013 warga sudah mulai mempersiapkan diri dengan banjir rob. “2014 dibuat jalan darurat geladak untuk anak sekolah. Kalau tidak begitu, kasian anak sekolah,” ucap Sunhaji.
“Ya Allah Gusti, kelep kabeh,” ingatan Sunhaji terlempar ke sekitar tahun 2018 lalu. Mata Sunhaji memandang nanar ketika ingatan itu datang. Pada saat itu, menurutnya, banjir rob paling parah terjadi. Jalanan dan rumah tenggelam. Bahkan menurut penuturan Sunhaji, beberapa rumah mulai ambruk akibat ombak dan angin kencang.
Pembangunan yang Menenggelamkan
Banjir rob bukan barang baru di pesisir utara Jawa. Jejaknya dapat dilacak sejak Rezim Soeharto. Dukuh Tambaksari, Desa Bedono merupakan korban pertama dari banjir rob di Kecamatan Sayung. Sekitar tahun 1996–1997, Dukuh Tambaksari sudah merasakan banjir rob. “Warga di Tambaksari ini, ‘99 mereka sudah mulai angkat-angkat, sudah mulai bedol desa,” ucap Eka Handriana, salah satu penulis buku Urip Dioyak-oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung.
Dalam buku yang ditulis Eka, 65 dari 71 kartu keluarga Dukuh Tambaksari terpaksa pindah ke Dukuh Tambaksari Baru, Desa Purwosari, akibat banjir pada 1999. Ketika itu, setidaknya 110 hektare Desa Bedono terendam air asin. Sementara itu, di sekitar tahun yang sama, total 1.200 rumah sudah terendam di Kecamatan Sayung.
Buku itu pun merekam kesaksian warga Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung. Menurut para warga Sriwulan, banjir rob datang semenjak adanya reklamasi di Tanah Mas, Pantai Marina, Pelabuhan Tanjung Emas, dan Terboyo. Semua pembangunan ini terletak di Kabupaten Semarang.
Dalam wawancara bersama Eka, ia menyebutkan hal yang sama datang dari penuturan warga Tambaksari. Mereka mengetahui terdapat pembangunan tanggul di Pelabuhan Tanjung Emas bersamaan dengan masuknya banjir rob ke rumah mereka. “Nah, terus kok sejak pembangunan tanggul itu, jadi ke sini airnya,” ucap Eka mengulang cerita warga Tambaksari.
Cerita warga Tambaksari bukan tanpa dasar. Mereka menandai adanya perubahan angin dan arus laut semenjak pembangunan tanggul di Pelabuhan Tanjung Emas. Angin dari utara yang menggerakkan arus laut menghantam tanggul dan berbelok ke arah timur, yakni Kecamatan Sayung. “Wah, kayaknya gara-gara Semarang ditanggul itu. Jadi, tempat saya kena, ketabrak air terus sampai hilang,” lagi-lagi Eka mengulang cerita warga Tambaksari.
Kepekaan warga Sayung terhadap perubahan lingkungan membuat mereka dapat menunjuk pembangunan sebagai penyebab banjir rob, selain pemanasan global. Di samping pembangunan pada masa Orde Baru itu, warga Timbulsloko kini mendapati ancaman lain yang memperparah banjir rob saat ini; Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Rusika dan keluarganya menyadari bahwa air makin besar dan kencang menghantam rumahnya ketika pembangunan tol tanggul berjalan. “Masalah e, tol itu kan tidak menanggulangi air pasang sini,” protes Rusika.
Tol Tanggul Laut Tak Menanggulangi
Dalam daftar major project yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, TTLSD dimaksudkan sebagai Pengamanan Pesisir 5 Perkotaan Pantura Jawa. Dalam perealisasiannya, RPJMN berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Inisiasi tembok laut terintegrasi dengan jalan tol yang akan menghubungkan Kota Semarang dan Demak ini dianggap dapat mengurangi intrusi air masuk ke pemukiman warga.
Pembangunan jalan TTLSD terbagi menjadi dua seksi. Seksi 1, ruas Semarang/Kaligawe-Sayung berjarak sepanjang 10,64 km. Seksi 2, ruas Sayung-Demak dengan jarak sepanjang 16,31 km. Dengan adanya Seksi 1 ruas Semarang/Kaligawe Sayung, Abram Elsajaya Barus selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Marga berpendapat bahwa masalah rob akan selesai dengan pembangunan tanggul laut yang membendung air melalui sistem kolam polder.
Namun, Cornel Gea dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) menyebutkan bahwa proses pembangunan dan operasional TTLSD justru akan mengubah arus laut ke arah timur Bedono dan Timbulsloko. Ia percaya perubahan arus laut akan menenggelamkan daerah-daerah di luar kurva tanggul. “Sudah hal yang sangat pasti bahwa tanggul akan membuat kawasan Demak, Timbulsloko, dan lainnya semakin tenggelam,” ujar Cornel.
Selain pembangunan tanggul laut yang dinilai berpotensi menenggelamkan warga lebih cepat, masalah lain juga turut hadir terkait kompensasi dari pembangunan TTLSD. Cahya Gemilang, peneliti di kantor hukum Anggraini & Partners dengan fokus pengelolaan kelautan dan wilayah pesisir, menambahkan bahwa warga tidak sepenuhnya mendapatkan kompensasi atas tanah pembangunan TTLSD. Sebagian warga pemilik tanah yang dilewati oleh TTLSD hanya diberi kompensasi uang sebesar 25% dari harga tanah. “Kalau yang tanahnya enggak terambil TTLSD, tapi tenggelam, ya mereka tidak bisa jual,” ujar Gemilang
Menanggapi hal tersebut, Fuad Kurniawan dari Balai Besar Wilayah Sungai Pemali-Juana (BBWS Pena) berdalih bahwa kenaikan permukaan air hanyalah dampak dari konstruksi jalan tol yang belum selesai. “Kegiatan ini kan juga ada monitoring nanti untuk dampak lingkungannya,” kukuh Fuad. Menurutnya, risiko pembangunan TTLSD tak jauh beda dengan jalan tol biasa.
Di lain sisi, letak pembangunan tol tanggul laut yang berada di dekat Jalan Raya Pantura menurut Fuad berkaitan dengan masalah pembiayaan proyek. Ia menjelaskan bahwa pembangunan tol tanggul laut menggunakan APBN sehingga tidak memungkinkan untuk proyek diselesaikan dalam waktu yang singkat. Akibatnya, biaya pembangunan harus memakai pinjaman dari luar negeri. “Kalau tidak dibangun secara berbarengan dengan infrastruktur yang lain, tidak mungkin investor itu melirik,” jelas Fuad.
Fuad menambahkan bahwa TTLSD bukanlah solusi jangka panjang untuk menanggulangi banjir rob. Menurutnya, jalan tol tanggul laut hanya dapat menahan penurunan tanah selama kurang lebih 30 tahun. Selain itu, Fuad juga mengakui bahwa penanganan rob melalui TTLSD tidak melingkupi seluruh wilayah Sayung. “Memang untuk saat ini penanganan rob masih sampai di wilayah Sayung, walaupun Timbulsloko masih di luar area penanganan yang kita lakukan,” imbuhnya. Namun, ia menyatakan bahwa pihaknya sedang dalam proses menyusun sebuah masterplan sebagai bentuk penanganan alternatif.
Kebijakan Tak Mumpuni
Pemerintah daerah mengklaim telah memberi bantuan atas banjir rob yang melanda Timbulsloko. Mulai dari perahu untuk menunjang kegiatan sehari-hari warga di luar Timbulsloko sampai bantuan untuk berpindah tempat tinggal. Namun, fakta lapangan berkata sebaliknya. Bantuan-bantuan tersebut tak selalu menunjang kehidupan warga.
Dalam pelaksanaannya, bantuan untuk relokasi hanya diberikan pada warga yang memiliki tanah di luar Timbulsloko. Akibatnya, warga yang belum memiliki tanah harus membeli tanah lewat sistem angsuran. “Ya ada bantuan, tapi kok masih disuruh mengangsur, apa enggak rekoso (kesusahan)? Misalnya, mengangsur sebulan 500 atau 300 ribu. Itu kalau mampu, kalau tidak mampu, ya kesusahan,” keluh Sunhaji.
Ketika mempertanyakan perihal relokasi kepada BBWS Pena, Fuad menyatakan bahwa hal tersebut berada di luar wewenang BBWS Pena. Fuad mengungkapkan pihaknya hanya bisa menangani dari sisi infrastruktur. “Warga itu kan punya kabupaten, yang tahu persis Pemerintah Kabupaten Demak,” ujarnya.
Fuad juga menambahkan bahwa rencana relokasi masih membutuhkan pengkajian ulang. Ia dan timnya masih memerlukan langkah-langkah preventif untuk menanggulangi hal-hal di kemudian hari. “Kalau dulu di sini ada Banjir Kanal Timur, itu masyarakatnya pindah dibikinkan rusun. Itu bisa menjadi salah satu solusi,” ucap Fuad.
Mengenai rencana relokasi, Gemilang mengungkapkan bahwa ketersedian lahan menjadi salah satu hambatan dalam perealisasiannya. Ia juga menjelaskan bahwa memindahkan banyak warga ke suatu tempat sekaligus juga dapat memunculkan konflik dengan warga sekitar. “Itu kasus yang terjadi di Demak, sempat ada recok soal itu,” sebut Gemilang.
Selain itu, Gemilang juga menganggap bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah yang dilaksanakan masih bersifat reaksioner. Ia menyebutkan bahwa dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) milik Kementerian PUPR pun belum ada aturan yang jelas untuk pengelolaan wilayah abrasi. Gemilang melihat pemerintah masih hanya mencanangkan penanaman mangrove sebagai solusi. Padahal, solusi tersebut efektif jika restorasi ekosistem mangrove dilakukan secara ekosistemik. “Jadi, kita enggak menanam mangrove, tapi ekosistem yang ada di sekitarnya itu juga kita bangun untuk mendorong pertumbuhan mangrove secara alami, ” ujarnya.
Menurut Gemilang, permasalahan utama dari kebijakan-kebijakan pemerintah ini diakibatkan oleh absennya regulasi yang melindungi para warga. Dalam hal ini, warga Timbulsloko tergolong sebagai migran iklim, yakni penduduk yang alasan pindahnya didasari oleh bencana iklim yang bersifat lambat. Sementara itu, regulasi yang ada di Indonesia sekarang hanya berkaitan dengan pengungsi bencana yang memakan korban jiwa.
Terdapat perbedaan perlakuan terhadap orang-orang yang kehilangan rumahnya akibat bencana-bencana yang bersifat lambat. Gemilang menyebutkan bahwa warga tidak bisa sepenuhnya mendapat jaminan. Bahkan, asuransi juga tidak semata-mata dapat langsung diterima. “Mereka bukan pergi karena tiba-tiba ada bencana banjir, tetapi karena sudah tidak bisa bertahan lagi,” ujar Gemilang.
Dalam upaya mencari jawaban, BALAIRUNG mempertanyakan kondisi banjir di Timbulsloko pada Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah tahun 2013-2023 saat menyambangi UGM pada September lalu (19-09-2023). Pasalnya, Ganjar tak pernah datang berkunjung ke Timbulsloko semasa rentang 10 tahun jabatannya. “Mereka tidak pernah menghubungi saya,” dalih Ganjar ketika ditanya mengenai keabsenannya.
Reporter: Ananda Ridho, Bayu Tirta Hanggara, Cahya Saputra, Catharina Maida, Muhammad Fariz Ardan, M. Ihsan Nurhidayah, Ryzal Catur, dan Surya Intan Safitri
Penulis: Catharina Maida dan Ryzal Catur
Penyunting: Ananda Ridho Sulistya
Fotografer: Surya Intan
Ilustrator: Farrel Baswara