
©Riendy/Bal
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menggelar sebuah diskusi dengan tema “Penambangan Panas Bumi; Petaka berkedok Potensi” pada Rabu (02-10). Diskusi yang bertempat di kedai kopi Bento, Klebengan itu diawali dengan sesi pemutaran film dokumenter yang berjudul “Geothermal Sacrifice”. Dokumenter tersebut merekam perlawanan masyarakat adat Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur atas proyek ekspansi area Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang dapat merenggut ruang hidup mereka. Forum diskusi dibuka setelah sesi pemutaran film dengan narasumber yang terdiri dari empat warga asli di area terdampak PLTP geothermal di Pulau Flores dan Atinna Rizqiana, seorang peneliti dari CELIOS.
Salah seorang warga Poco Leok bernama Yudi mulai menceritakan perjuangan dan perlawanan rekan sejawatnya demi melindungi tanah kelahirannya. Ia menyebutkan bahwa terhitung sudah 27 kali upaya penolakan dilakukan sejak tahun 2022. Baginya, pihak pengembang dan pemerintah tidak menghormati adat istiadat Poco Leok sehingga menyebabkan perlawanan masyarakat. “Pelecehan terhadap adat dan budaya itu sudah dilakukan dari awal kedatangan mereka,” ujar Yudi.
Lebih lanjut, Yudi menyampaikan bahwa terdapat lima unsur falsafah hidup masyarakat Poco Leok yang terancam rusak dengan datangnya PLTP Ulumbu. Lima unsur itu disebut lampek lima yang terdiri dari Gendang (rumah adat), Lingko (lahan perkebunan), Natas (halaman atau ruang publik), Wae (mata air), dan Compang (altar sesaji kepada leluhur). Yudi menjelaskan bahwa satu unsur dengan unsur lainnya memiliki kaitan yang erat sehingga jika terdapat unsur yang rusak, maka yang lain juga akan rusak. “Kelima unsur tersebut merupakan refleksi pemenuhan hidup masyarakat sehingga apabila satu rusak, yang lain rusak,” tegas Yudi.
Yosef Erwin warga asal Wae Sano, Manggarai Barat mendukung pernyataan dari Yudi perihal lampek lima. Ia mengungkap alasan warga Wae Sano juga turut andil dalam menolak proyek PLTP karena melanggar falsafah hidup orang manggarai yang sangat sakral. “Kalau negara ini memiliki pancasila, kami memiliki lampek lima sebagai falsafah hidup,” tegasnya.
Kembali dengan masalah yang dihadapi di Poco Leok, Yudi mengutarakan terdapat mata air di setiap empat belas kampung adat yang saling terhubung melalui sungai besar Wae Wara. Terdapat satu mata air yang disakralkan dan berpotensi hilang apabila PLTP masuk. “Ada ketakutan mata air hilang,” serunya.
Melihat potensi kerusakan alam yang ditimbulkan PLTP, Atinna Rizqiana menjelaskan terdapat potensi kerugian lain yang berdampak pada masyarakat di NTT. Di dalam terbitan mandiri yang dikeluarkan CELIOS, ia menjelaskan bahwa potensi kerugian berdampak pada ekonomi, serapan tenaga kerja, dan menurunnya produktivitas pertanian. “Merugikan ekonomi daerah sebesar 1 triliun, serapan tenaga kerja menurun hingga 50.608 orang di tahun kedua beroperasinya pembangkit [PLTP-red], dan kerugian di sektor pertanian sebesar 958 miliar,” paparnya.
Penulis: Dhony Alfian dan Riendy Tri Putra
Penyunting: Gayuh Hana Waskito
Fotografer: Riendy Tri Putra