Dalam diskursus, terutama pra-pemilu, penggunaan terminologi “pribumi” dan “nonpribumi” sering dilayangkan. Lantas, mengapa ada dikotomisasi antara identitas “Tionghoa” dan “Indonesia”, sesuatu yang absen dari identitas etnis lainnya?
Reformasi seringkali dipandang sebagai tonggak selebrasi atas multikulturalisme Indonesia. Namun, nyatanya klaim multikulturalisme tersebut terus menerus tereduksi oleh pandangan yang reduksionis–cenderung ekstremis. Gus Dur yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme berhasil menghapuskan kebijakan diskriminatif yang berdiri tegak kala Orde Baru, seperti pelarangan pembelajaran Bahasa Mandarin di sekolah dan perayaan berbau Tionghoa. Rasisme–seharusnya–sudah mati. Kesetaraan dan inklusivisme–seharusnya–berjaya.
Namun, imaji ini mulai terlihat celahnya menjelang pemilihan-pemilihan umum. Salah satu wacana yang seringkali muncul adalah kontestasi “pribumi” dan “nonpribumi”. Dua kata itu digaungkan ketika seorang calon berkulit lebih terang atau bermata lebih sipit. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Rudianto Tjen, anggota F-PDIP DPR (2009-2014) daerah pemilihan Bangka Belitung yang menyatakan bahwa masih terjadi praktik diskriminasi dalam pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh elite politik. Begitu pula dengan kontroversi yang muncul menjelang majunya Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta, semua menunjukkan realitas pra-pemilu tersebut.
Wacana ini tidak hanya bisa ditemukan dalam lapisan sosio-kultural, melainkan juga dalam hukum. Muncul penggunaan terminologi “orang-orang bangsa Indonesia asli” dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945. Hal ini menunjukkan adanya realitas mental masyarakat mengenai siapa yang dianggap “penduduk asli” dan “orang-orang bangsa lain”.
Lantas, siapa yang muncul dalam pikiran ketika kata “penduduk asli” diucapkan? Siapa yang tereksklusikan dalam gambaran tersebut? Menghubungkan persoalan ini dengan terminologi “pribumi” dan “nonpribumi”, kepada siapa kedua kata itu mengacu? Mengapa “nonpribumi” seringkali diidentikkan dengan mereka yang Tionghoa, sedangkan “pribumi” diidentikkan dengan semua entitas berbeda di Indonesia–keturunan Jawa, Melayu, bahkan Arab sekalipun?
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dipahami dengan mengingat kembali berbagai lontaran menjelang majunya Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Presensinya dalam politik yang disadari secara nasional memunculkan kontroversi besar-besaran. Dua isu yang seringkali dipermasalahkan adalah ras dan agama. Hal ini bisa dilihat dari survei “Tren Persepsi Pubik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi” dari LSI yang menemukan bahwa responden muslim tak ingin kursi presiden, wakil presiden, gubernur, atau bupati/wali kota dikuasai nonmuslim. Bahkan, ketika ia ingin maju menjadi pendamping Joko Widodo sebagai wakil gubernur, banyak pihak yang memintanya untuk mundur “karena saya akan turunkan nilai dari seorang Pak Jokowi, karena saya Tionghoa, agama saya bukan mayoritas,” cerita Ahok. Ini terjadi sebab menurut Bambang Purwanto dalam bukunya Praktik Kewarganegaraan di Indonesia, konsepsi “orang bangsa Indonesia asli” seringkali diidentikkan dengan “bumiputra” yang muslim (Purwanto, 2019).
Menyelisik Pembentukan Identitas Orang Indonesia Asli Secara Historis
Problem konsepsi “orang Indonesia asli” bisa dikaji secara historis, dari teori migrasi sampai ke sejarah masa kontemporer. Teori Nusantara dari Mohammad Hatta yang menyatakan bahwa orang Indonesia berasal dari cakupan spasial Nusantara ini sendiri sudah ditentang oleh riset-riset terbaru. Berbagai penelitian menunjukkan adanya gelombang migrasi dari tempat dan waktu yang berbeda, beberapa di antaranya Fujian dan Taiwan (Simanjuntak, 2017). Hal ini menghasilkan percampuran genetik, budaya, dan asal-usul yang begitu kompleks.
Penelitian genetika dari HistoriaID yang mencoba menanggapi persoalan konsepsi “orang bangsa Indonesia asli” memberikan dukungan yang kuat. Studi terhadap 70 populasi etnik dari 12 pulau melalui penanda DNA berkesimpulan bahwa tidak ada pemilik gen murni di Nusantara. Orang Indonesia memiliki berbagai campuran gen yang ketika ditarik sejauh mungkin, berasal dari Afrika. Ini membuktikan bahwa konsep tersebut merupakan sebuah wacana yang politis semata. Kemunculan wacana ini terlihat sangat jelas sejak masa penjajahan Belanda. Sistem stratifikasi sosialnya menempatkan 1) orang Eropa pada kelas teratas, 2) orang Indo-Eropa atau Asia Timur seperti Cina dan Arab pada kelas menengah, 3) orang Bumiputra pada kelas bawah. Pengelompokan berbagai etnis di Nusantara yang berbeda sebagai suatu kelompok bernama Bumiputra merupakan respons terhadap kolonialisme.
Dengan adanya beragam kelompok di Nusantara, keinginan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air tidak hanya dimiliki oleh kelompok yang dikategorikan sebagai Bumiputra (Purwanto, 2019). Douwes Dekker dari Indo-Eropa menulis kepada Ratu Belanda pada 1913, “bukan yang Mulia … Ini bukan negerimu. Ini adalah negeri kami, tanah air kami. Suatu hari ia akan merdeka, selamanya” (Elson, 2008). Orang Tionghoa yang dipimpin Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada 1932, dan sebagian dari komunitas Arab Hadrami mengucapkan sumpah “Indonesia tanah airku, Hadramaut tanah para leluhurku” pada 1934 (Baswedan, 1974; de Jonge, 2004; Mobini-Kesheh, 1997; Suryadinata, 1997). Walau begitu, dalam proses perubahan sebuah koloni menjadi Indonesia, eksklusivisme membayang. Politik yang segregatif tersebut membentuk pemisahan antara Bumiputra yang tertindas dengan kelompok lain yang dianggap menikmati kejayaan kolonialisme (Purwanto, 2019).
Dari segi agama, pada masa perjuangan nasionalis, agama nasrani dipandang sebagai identitas kolonial. Hal ini bisa terlihat dalam fiksi sejarah Bumi Manusia, ketika ibu dari Minke berkomentar, “kau memang sudah bukan Jawa lagi. Dididik Belanda jadi Belanda, Belanda coklat semacam ini. Barangkali kau pun sudah masuk Kristen” (Toer, 1980).
Islam sebaliknya, mengutip misionaris Nicolaus Adriani, dianggap sebagai “kebangsaan orang Jawa” untuk merujuk kepada identitas utama penduduk Bumiputra. Bahkan, ia juga dianggap “pembawa kesadaran nasional orang kulit berwarna melawan orang putih” sehingga “Islam memperkuat nasionalisme” yang penuh keyakinan atas kemampuan dan superioritasnya melawan dominasi asing (Vandenbosch, 1952; Noer, 1973).
Pemikiran ini memengaruhi pembelahan kelompok Bumiputra itu sendiri. Muncul kelompok tempatan bernama “Bumiputra Kolonial”, disandingkan dengan kelompok tempatan sebelumnya yang dianggap “Bumiputra Asli”. “Diskursus kolonial telah menggiring Bumiputra sebagai sesuatu yang hanya direpresentasi oleh golongan Islam, agama samawi yang diklaim dianut oleh 90% penduduk koloni pada awal abad ke-20.” Konsep Bangsa Indonesia akhirnya diidentikkan dengan Bumiputra yang muslim (Purwanto, 2019; Soekarno, 1947).
Eksklusivisme ras dan agama dalam perjuangan nasionalisme memengaruhi proses transisi dari hamba jajahan menuju warga negara pada kemerdekaan Indonesia. Purwanto (2019) menulis:
Berbagai istilah yang digunakan dalam dokumen-dokumen di atas secara tegas membedakan antara “bangsa Indonesia asli” dengan “orang-orang bangsa asing” yang kedua-duanya merupakan unsur dari warga negara. Bagi kelompok pertama, mereka menjadi warga negara Indonesia secara otomatis ketika Indonesia merdeka, sedangkan kelompok kedua baru bisa menjadi warga negara jika sudah memenuhi semua persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang kewarganegaraan.
Walaupun sebagian kelompok Arab mengalami kesulitan dalam transisi ini, banyak yang mengalami “naturalisasi otomatis”. Mereka memiliki hubungan yang kompleks dengan penguasa kolonial dan komunitas lain secara sosiologis. Moderasi dalam keberpihakan politiknya–bahkan bisa dicap konservatif–menciptakan kesan mereka yang mendukung status-quo kolonial (Van Der Kroef, 1955). Walau begitu, mereka berhasil menyatukan diri dengan narasi Bumiputra. Ini diakibatkan oleh proyeksi mereka sebagai representasi dari keislaman (Mobini-Kesheh, 1997). Ditambah lagi, penguasa militer Jepang pernah menggolongkan orang Arab sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang pada masa penjajahan Belanda disebut Bumiputra (Kusuma, 2004).
Namun, Orang Tionghoa mengalami proses yang berbeda. Mereka sulit diakui sebagai Bumiputra–kelompok yang dianggap berdasarkan kesatuan genealogis yang sama–bahkan “Bumiputra Naturalisasi” sekalipun. Padahal, secara turun temurun mereka berada dalam kesatuan teritorial yang sama. Banyak dari mereka juga memiliki nenek atau ibu Bumiputra (Purwanto, 2019).
Secara agama, walaupun Cina pernah berperan dalam proses Islamisasi Indonesia (Buseri, 2015) dan sebagian Tionghoa peranakan beragama Islam, mereka tereksklusikan dalam konsep tersebut. Belum lagi pandangan yang belum lepas dari perspektif kolonial, berdasarkan pengalaman perkotaan, dan bersifat Jawasentris, memengaruhi narasi besar sejarah bangsa Indonesia.
Orang Tionghoa dikonstruksi secara kokoh sebagai hewan ekonomi yang mendominasi perekonomian negara dan menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi. Bersamaan dengan sifat-sifat stereotip yang dibangun lainnya, seperti kelompok sosial yang eksklusif dan tidak setia, visibilitas orang Tionghoa semata-mata diekspos dengan menonjolkan fitur etnis mereka saat membahas masalah sosial apa pun. Cara agar ciri etnis Tionghoa tetap terlihat menciptakan “bentuk representasi biner” yang membedakan mereka dari mayoritas. (Thaniago, 2017; Hall, 1997)
Representasi ini merupakan representasi yang timpang. Seperti yang dielaborasi oleh Bambang Purwanto (2019):
… kenyataan lain dari sejarah komunitas buruh dan petani miskin Tionghoa yang ada di pusat-pusat industri pertambangan dan perkebunan seperti di Kalimantan, Sumatera Timur, Bangka, dan Belitung, serta adanya keberagaman di dalam golongan Tionghoa itu, tidak pernah mendapat tempat dalam historiografi untuk membentuk narasi besar bangsa Indonesia.
Narasi ini mengeksklusikan Tionghoa karena dianggap sebagai kelompok yang menikmati kejayaan kolonialisme. Pandangan ini juga didukung oleh penyalahan Eropa atas Tionghoa dikarenakan kebutuhan mereka atas kambing hitam (Purwanto, 2022). Pandangan yang mendikotomisasi “Tionghoa” dan “Islam” serta penggambaran perbedaan status membuat Tionghoa kelompok yang mengalami kesulitan dalam peleburan dirinya ke dalam konsep “orang bangsa Indonesia”.
Permasalahan ini berlanjut sampai dengan proses perumusan dasar negara. Ia melahirkan perdebatan golongan kebangsaan dan golongan keagamaan terutama terkait sila pertama (Purwanto, 2019). Usulan sila pertama menyatakan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Wacana berlanjut hingga penentuan dalam undang-undang dasar yang menyatakan “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.
Ketika ketentuan mengenai “orang Indonesia asli” dalam Pasal 16 ayat (1) rancangan UUD diterima oleh rapat BPUPKI, Liem Koen Hian–wakil golongan Tionghoa yang memperjuangkan agar “semua orang Tionghoa di tanah Jawa menjadi rakyat Indonesia”–mengundurkan diri. Ia merasa “status dari saya dan segala orang yang bukan bangsa Indonesia aseli, adalah status dari orang asing atawa rakyat Indonesia” (RM. A.B. Kusuma, 2004).
Perdebatan mencapai sebuah kemajuan ketika adanya beberapa perubahan. Perubahan-perubahan ini terdiri dari sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya, perubahan pasal 28 UUD 1945, “negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi pasal 29 UUD 1945, “negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian, perubahan pasal 6 UUD, “presiden ialah orang asli Indonesia dengan beragama Islam” berubah menjadi “presiden ialah orang Indonesia asli”.
Perubahan ini dapat dianggap sebagai akhir dari perdebatan yang ada. Konflik dan perbedaan pandangan seakan sudah tuntas. Namun, penting untuk diingat bahwa alasan di balik kesepakatan tersebut adalah UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sementara pada masa itu (RM.A.B. Kusuma, 2004).
Meskipun sila pertama telah diubah, Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 Amandemen setelah Reformasi tetap berbunyi “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Nantinya, Liem Koen Hian mendapatkan warga negara Indonesia melalui proses naturalisasi. Namun, tidak begitu lama, status kewarganegaraannya dicabut. Pada akhirnya, “Liem Koen Hian meninggal sebagai “orang-orang bangsa lain” di tanah air tempat ia dilahirkan dan ia perjuangkan kemerdekaannya” (Purwanto, 2019).
Dikotomi atas identitas ini semakin jelas pada masa Orde Baru. Dalam mengisi status kewarganegaraan, pilihan yang disertakan adalah “Warga Negara Asing”, “Orang Bangsa Indonesia Asli”, dan “WNI Keturunan (Asing)”. Pengklasifikasian orang Tionghoa dalam kategori sosial yang berbeda dari “Orang Bangsa Indonesia Asli” merupakan perlakuan khusus untuk menonjolkan kehadiran mereka dan perbedaan mereka (Thaniago, 2017).
Bukan hanya itu, kebijakan asimilasi memaksa masyarakat Indonesia Tionghoa untuk melepas kebudayaan, Bahasa Mandarin, serta atribut-atribut Tionghoa lainnya (Dawis, 2010). Nama-nama berbau Tionghoa diganti. Kepercayaan Animisme dan Dinamisme lebih baik ditinggalkan. Penggunaan dialek Tionghoa seperti Teo Chew dan Khek yang sudah bertransformasi dari bentuk awalnya dari Cina dianggap bukan bagian Indonesia. Dapat dilihat bahwa untuk menjadi “lebih Indonesia”, masyarakat Tionghoa dituntut untuk menjadi “kurang Tionghoa”.
Hal serupa tidak ditemukan dalam etnis-etnis lain. Orang-orang keturunan Jawa tidak dianggap “kurang Indonesia” jika menggunakan Bahasa Jawa. Orang-orang keturunan Arab juga demikian jika mempertahankan namanya. Dikotomisasi identitas “Tionghoa” dan “Indonesia” merupakan sesuatu yang eksklusif dalam kasus Tionghoa sendiri.
Titik Refleksi dan Langkah ke Depannya
Pengeksklusian Tionghoa dalam konsep “orang bangsa Indonesia asli” tidak memiliki dasar yang kuat dan hanyalah wacana yang politis. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa pandangan tersebut sudah mengakar dalam kehidupan sosio-kultural Indonesia. Diskriminasi ini terus berlangsung hingga saat ini, terlepas dicabutnya kebijakan diskriminatif pra-Reformasi.
Sangat mudah untuk mengangkat telunjuk dan menyalahkan orang yang berpikiran demikian. Namun, resolusi tidak muncul dari penyalahan semata. Pesan moral dari analisis praktik pengeksklusian secara historis ini begitu jelas: bahwa pandangan diskriminatif ini bukanlah perihal yang selayaknya diindividualisasi, melainkan disadari sebagai bagian dari diskriminasi yang sistemik. Pandangan ini, dalam perspektif teori hegemoni Gramsci, ditanamkan sebagai bagian dari common sense oleh hegemoni yang pernah ada. Realisasi tersebut seharusnya membuahkan simpati bahwa kita semua merupakan korban perjalanan sejarah.
Realisasi tersebut juga merupakan sebuah undangan bagi setiap orang untuk mempertanyakan konsep “orang bangsa Indonesia asli” yang diyakini. Ada realitas mental yang memecah belah persatuan bangsa, mencoreng kesakralan multikulturalisme dan nilai kesetaraan. Bersamaan dengan itu, ada undangan untuk menjadi bagian dari kontrahegemoni, obat penawar untuk menegakkan Bhineka Tunggal Ika sekali lagi.
Penulis: Damar Adjie Saputra, Venessa Theonia, dan Nanang Maulana F
Penyunting: Diana Mayasari
Ilustrator: Embun Dinihari
Referensi
Buseri, F. B. (2015). The Role of Ethnic Chinese in Spread of Islam in Indonesia. Interrelations in Religion, Science, Culture, and Economic.
Dawis, A. (2010). Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: PT Gramedia.
Elson, R. (2009). The Idea of Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Hall, Stuart (ed). (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices (Vol. 2). London / California / New Delhi: Sage.
Kusuma, A. (2010). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Mobini-Kesheh, N. (2019). The Hadrami Awakening. Baltimore, Maryland: Project Muse.
Noer, D. (1978). The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Purwanto, B. (2019). Praktik kewarganegaraan di Indonesia dalam perspektif historiografis. Ombak.
Purwanto, B. (2022). Munculnya Masyarakat Baru, Kesadaran Kebangsaan Indonesia, dan Transisi Menuju Kemerdekaan [Lecture]. Universitas Gadjah Mada: https://www.ugm.ac.id/
Pusat Data dan Analisa Tempo. (2019). Tionghoa dan Politik Indonesia. TEMPO Publishing.
Putri, R. (2017). Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika. Retrieved 28 March 2022, from https://historia.id/kuno/articles/manusia-indonesia-adalah-campuran-beragam-genetika-6mmWr/page/1
Simanjuntak, T. (2017). The Western Route Migration: A Second Probable Neolithic Diffusion to Indonesia. In P. J. Piper, H. Matsumura, & D. Bulbeck (Eds.), New Perspectives in Southeast Asian and Pacific Prehistory (Vol. 45, pp. 201–212). ANU Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt1pwtd26.18
Soekarno. (1947). Lahirnya Pantja Sila. Jogjakarta: Goentoer.
Suryadinata, L. (1997). Political thinking of the Indonesian Chinese, 1900-1977. Singapore: Singapore University Press.
Suryadinata, L. (2014). Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme. Antropologi Indonesia 71.
Thaniago, R. (2017). Disciplining Tionghoa. Lund: Lund University.
Toer, P. (2011). Bumi manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Vanderbosch, A., & Hogan, W. (1952). The United Nations-Background, Organization, Functions, Activities. Virginia Law Review, 38(7), 980. doi: 10.2307/1070138
Van Der Kroef, J. M. (1955). The Indonesian Arabs / LES ARABES INDONESIENS. Civilisations, 5(1), 15–24. http://www.jstor.org/stable/41230002