Sejak awal kemunculan virus COVID-19 di Wuhan pada penghujung tahun 2019, pemerintah Indonesia masih belum memprioritaskan penanggulangan maupun pencegahan terhadap penularan virus tersebut. Aktivitas sehari-hari, kegiatan ekonomi, dan mobilitas ke berbagai daerah masih berjalan dengan normal. Aktivitas sehari-hari seperti kegiatan ekonomi, pendidikan, serta mobilitas di berbagai daerah masih berjalan dengan normal. Ketika pemerintah dari negara-negara lain tengah mencari solusi dalam mencegah penyebaran pandemik ini, negara kita justru fokus meningkatkan ekonomi parawisata. Bahkan, pemerintah mengeluarkan insentif bernilai miliaran rupiah kepada orang-orang yang dianggap “berpengaruh”. Wajar saja saat munculnya kasus positif 1 di Indonesia, pandemik ini menjadi momok bagi pemerintah dan masyarakat.Â
Menurut saya, ketidaksiapan pemerintah dalam penanganan COVID-19 menyebabkan masyarakat menjadi panik dalam menyikapi berbagai informasi yang mendadak diberitakan secara terus-menerus di media. Kepanikan tersebut diperparah dengan banyaknya masyarakat yang kurang peduli dan individualistik. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya orang yang mementingkan kebutuhan sendiri dengan membeli secara tamak segala kebutuhan makanan pokok dan alat pelindung diri sehingga harga barang semakin meningkat. Ditambah bermunculannya pihak ketiga dengan memanfaatkan situasi seperti ini dengan cara menjual barang-barang proteksi seperti masker, handsanitizer, dan sarung tangan karet medis dengan harga mahal. Kalau saya ibaratkan situasi terkini mirip dengan suasana kita ingin berperang namun mempersiapkan di hari H, baik senjata, makanan pokok sehingga berhamburan, saling berebut dan tidak terarah. Hal ini berdampak terhadap tenaga medis yang menjadi garda terdepan melawan virus ini. Banyak Alat Pelindung Diri (APD) yang diperjualbelikan di kalangan masyarakat awam, padahal APD bagi mereka adalah seperti perisai di medan perang untuk berlindung.Â
Ketidaksiapan pemerintah dalam menanggulangi dampak dari COVID-19 berdampak pula pada aspek keuangan atau ekonomi negara. Tentu saja bagi negara yang dari awal tidak bersiap, keuangan negara akan terjadi krisis ditengah pandemik. Wacana lockdown yang sejak awal dianggap efektif menekan peningkatan pasien postifi COVID-19 pun tidak langsung diberlakukan oleh pemerintah dengan alasan memikirkan beberapa masyarakat yang memiliki penghasilan harian. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi suatu andalan dalam memerangi virus pun baru terealisasi kurang lebih 1 bulan, kemudian muncul isu untuk diadakan pelonggaran dari penerapan PSBB. Masyarakat yang berusia dibawah 45 tahun sudah diperbolehkan kembali bekerja karena potensi penularan COVID-19 dianggap lebih rendah.Â
Saya meragukan keputusan pemerintah terkait pelonggaran PSBB karena yang saya yang menempuh ilmu penyakit dalam di Fakultas Kedokteran memahami bahwa potensi seseorang yang terjangkit virus bukan hanya ditinjau dari usianya saja. Penyakit sistemik seperti penyakit gula, jantung, dan penggunan obat-obatan jangka panjang juga turut melemahkan sistem imun, sehingga seseorang dapat lebih rentan terhadap virus COVID-19. Bahkan, kekebalan tubuh yang penting untuk “menghalau” COVID-19 juga dipengaruhi oleh pola hidup dan genetik. Oleh karena itu, saya berharap pemerintah bisa bijak dan penuh pertimbangan ketika membuat keputusan.
COVID-19 berdampak besar pada kehidupan masyarakat secara luas, virus ini pun memiliki pengaruh cukup besar pada kesehatan mental. Masyarakat yang apatis, individualistik, mementingkan kebutuhan sendiri, menurunkan empati mampu merusak kesehatan mental. Bukan jarang, kita melihat akun-akun di media sosial dengan sengaja di-report massa, komentar penuh hujatan mulai dari yang sopan hingga unmoral, ribuan likes. Terjadi saling tuduh menuduh, salah menyalahkan atas apa yang terjadi. Kritik demi kritik seolah semua adalah yang paling benar. Menurut saya, itu semua bukan sebuah solusi tetapi sebuah masalah baru. Virus ini bukan sekedar merusak kesehatan kita secara fisiologis tetapi juga secara mental. Kesehatan mental yang buruk dapat berdampak pula terhadap kesehatan fisik kita.Â
Perlu kita ketahui bahwa tidak hanya virus yang sedang kita perangi, tetapi juga kebodohan. Saya rasa, orang-orang Indonesia cukup cerdas dalam mengutarakan setiap pendapatnya, namun semoga saja tidak nihil dalam menyadari dan menerima kritikan. Virus ini merupakan suatu “ujian” terhadap sistem imun, menerapkan pola hidup bersih sehat, serta menciptakan manusia yang sehat baik fisik dan mental. Saya kira, bisa “gagal ujian” ketika kita tidak cerdas dalam melewatinya.
Saran saya sebagai penulis opini adalah yang paling pertama sadari bahwa virus ini adalah “ujian” kita bersama. Kita harus saling menerima, membantu, menguatkan, bergandeng tangan atas apa yang terjadi. Kedua, jangan lupa jaga kesehatan, tingkat sistem imun dengan makan makanan bergizi serta vitamin, karena dengan begitulah diri kita mampu melawan virus tersebut ketika masuk ke dalam tubuh, serta meningkatkan kualitas hidup bersih dan sehat. Yang ketiga adalah saya menyarankan untuk pemerintah agar bijak, penuh pertimbangan dalam menentukan kebijakan. Menurut saya, kesehatan yang optimal akan diikuti dengan ekonomi yang optimal pula.
Saya tidak pernah membaca di media bahwa negara ini dalam kondisi krisis, namun pembukaan akses atau pelonggaran selalu dialasankan dengan memenuhi kebutuhan masyarakat penghasilan kebawah. Saya rasa, kejujuran juga merupakan suatu adalah tindak cerdas untuk tidak membuat masyarakatnya tersalahkan dan semakin mengkritisi. Jika benar terjadi krisis, mungkin sebaiknya bisa dibuka ruang diskusi publik. Saya percaya dengan bersama kita mampu melawan COVID-19. Terakhir untuk semua orang yang membaca ini, jaga kesehatan mental selama di rumah, jangan sampai jempol kita menjadi kunci untuk masuk ke hal-hal negatif. Ketahuilah bahwa, semua orang diciptakan tidak atas dasar yang kamu mau. Ketika orang lain tersebut tidak mampu mencapai standar yang kita mau, cukup lepaskan atau abaikan, selagi mereka tidak menyerang kita. Marilah, tagar #dirumahaja sebaiknya bukan sekedar ajakan untuk dirumah saja tapi juga menjadi ajakan melakukan hal positif dan kebaikan. Dan saya percaya Indonesia bisa lawan Covid19. Demikian, kurang lebih saya mohon maaf.Â
Kontributor: Ranty Dwi
Tulisan ini merupakan kontribusi dalam “Berbagi dalam Pandemi”, sebuah proyek penggalangan dana untuk pihak terdampak COVID-19. Proyek ini merupakan kerja sama dengan Clapeyron dan BPPM Equilibrium dan tulisan-tulisan kontribusi lainnya dapat dibaca dengan mengunjungi situs tersebut.