Masih adanya pembatasan terhadap pers mahasiswa oleh birokrasi kampus menunjukkan bahwa selama ini kampus belum menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Kampus mesti diingatkan bahwa pendidikan tinggi semestinya menjadi tempat ideal bagi kebebasan akademik, menyatakan pendapat, dan menyampaikan kritik. Kasus pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon setelah mereka menurunkan laporan kekerasan seksual di lingkungan kampusnya, juga LPM Acta Surya yang sempat dibekukan oleh Ketua Stikosa AWS, menjadi bukti mutakhir birokrat kampus tak punya perhatian terhadap demokrasi. Kebebasan pers mahasiswa tak bisa dimungkiri merupakan salah satu sarana dan tolok ukur nilai demokrasi tersebut.
Pers mahasiswa merupakan saluran untuk menyampaikan kritik terhadap birokrat kampus. Dengan ruang lingkup yang terbatas, justru pers mahasiswa memiliki kekhasan karena mampu menuliskan isu yang tidak terjangkau oleh pers umum di wilayah internal kampus yang tidak banyak diketahui publik. Hal itu penting karena, dalam kerangka demokrasi dan keterbukaan informasi, kampus dibiayai oleh masyarakat dan kinerjanya mesti terus mendapat pengawasan. Terlebih lagi, menyampaikan kritik terhadap institusi sendiri merupakan bagian dari kebebasan akademik. Dalam konteks ini, pers mahasiswa bukanlah lembaga humas atau kepanjangan tangan dari birokrat kampus. Pers mahasiswa dijalankan dengan prinsip pers ideal yang berpijak pada elemen dan kode etik jurnalistik.
Paternalistik, Feodalisme, dan Kemunduran Demokrasi
Meski demikian, budaya paternalistik dalam sistem pendidikan Indonesia yang begitu kuat membuat relasi antara dosen dan mahasiswa menjadi timpang. Dosen menganggap pers mahasiswa sekadar sekumpulan mahasiswa yang belum cakap dan baru belajar menuliskan liputan. Terlebih lagi, pers mahasiswa mendapatkan sarana dan pembiayaan dari kampus. Cara pandang ini membuat kampus kerap melakukan represi kepada pers mahasiswa jika hasil liputan yang diangkat tak sesuai dengan misi birokrat, dianggap membahayakan, atau dinilai keliru. Mengutip data yang dihimpun Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), dalam rentang 2020—2021, ada 185 represi dengan pelaku terbanyak (48) adalah birokrat kampus. Bentuk represi yang sering dialami adalah teguran dengan 81 kasus, pencabutan berita (takedown) dengan 24 kasus, makian dengan 23 kasus, dan ancaman dengan 20 kasus.
Budaya paternalistik pula yang mengakibatkan tersumbatnya sikap kritis terhadap struktur dan kuasa yang lebih tinggi, seperti mahasiswa kepada dosen atau dosen kepada pejabat di kampusnya. Sistem pendidikan perguruan tinggi, alih-alih membebaskan dan memberikan instrumen agar para sivitas akademikanya mampu berpikir kritis, justru melanggengkan praktik tersebut. Realitasnya, hal itu bisa dengan mudah kita jumpai dalam pelbagai aksi demokrasi yang melibatkan mahasiswa.
Pada rezim pemerintahan Joko Widodo sejak 2014, kemunduran demokrasi telah nyata dipraktikkan di perguruan tinggi melalui surat edaran tentang pembatasan kebebasan akademik oleh kementerian dan kampus. Misalnya pada 2017, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir melarang mahasiswa mengikuti aksi demonstrasi jelang pilkada DKI Jakarta dan mengimbau agar “mahasiswa sebaiknya belajar di kampus masing-masing sesuai dengan ilmunya”. Pada 2019, dalam aksi massa #ReformasiDikorupsi, sedikitnya 37 kampus mengancam mahasiswanya yang mengikuti demonstrasi menuntut pembatalan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan menolak pengesahan sejumlah rancangan UU yang bermasalah.
Ancaman yang disampaikan pun beragam; mulai dari mendapat peringatan, dikembalikan kepada orang tua, skors, hingga drop out. Ada pula kampus yang berkilah dan tidak ingin terekam dalam aksi mahasiswa dengan tidak memperbolehkan mahasiswa mengenakan almamater. Cara lainnya adalah dengan menyelenggarakan kegiatan yang wajib diikuti mahasiswa, bertepatan dengan waktu pelaksanaan aksi-aksi massa tersebut.
Birokrat kampus membungkus pelbagai larangan aksi demokrasi dengan bahasa-bahasa santun dan normatif. Misalnya, ajakan untuk fokus belajar di ruang kelas, mengikuti seminar atau acara keagamaan, atau meningkatkan prestasi akademik dan non-akademik mahasiswa. Acap pula didengar bahwa mahasiswa “tak usah ikut-ikutan aksi karena uang masih minta orang tua” atau “pamit kuliah untuk belajar, bukan untuk demo”. Narasi tersebut membuktikan bahwa struktur kelas sosial khas kolonialisme yang menindas dan tak sejalan dengan prinsip pendidikan progresif masih mengakar. Pengekangan juga menunjukkan betapa relasi feodal yang usang itu dengan mudah tergambarkan dalam pembelajaran di kelas, relasi antara dosen dan mahasiswa, juga birokrasi.
Atas Nama “Kondusivitas” dan “Nama Baik” Kampus
Watak khas feodalisme dengan dalih menjaga “kondusivitas internal lembaga” juga bisa berwujud tindakan pembabatan atas mereka yang berbeda pendapat dan bersuara kritis. Pimpinan IAIN Ambon juga melaporkan sejumlah mahasiswanya sendiri yang tergabung dalam LPM Lintas ke polisi sebagai upaya “memulihkan nama baik kampus.” Majalah itu sebelumnya menurunkan laporan terkait kasus kekerasan seksual di kampus yang sama dalam terbitan Januari 2022. Alih-alih membentuk tim independen untuk menyelesaikan kasus dan memperkuat pencegahan kekerasan seksual, birokrat kampus melaporkan ke polisi setelah memberedel lembaga pers itu. Mereka menutup mata bahwa aktivitas lembaga pers mahasiswa merupakan bagian dari hak kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi. Kemunduran demokrasi sejatinya bisa bermula dari birokrat kampus yang tak menginginkan otoritas dan kekuasaannya terganggu. Hal itu sejalan dengan argumen Nugroho (2005) bahwa aneka universitas di Indonesia menjadi arena perebutan kekuasaan dan ekonomi-politik. Motif utamanya adalah motif ekonomi.
Fenomena menurunnya kebebasan akademik sejalan dengan temuan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Amnesty International Indonesia. Sejak Januari 2019 hingga Mei 2022, terdapat 64 korban serangan terhadap kebebasan akademik. Dari 64 orang yang tercatat, kelompok yang paling sering menjadi korban adalah mahasiswa (52 orang), dosen (9 orang), dan jurnalis/aktivis (3 orang).
Kebebasan akademik merupakan salah satu bagian dari HAM, yaitu kebebasan berpendapat dan berpikir. Di Indonesia, aturan yang mengatur mengenai kebebasan akademik terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Kebebasan pers di kampus paralel dengan kebebasan akademik. Namun demikian, meski sejumlah UU telah mengatur kebebasan akademik, implementasi di lapangan menunjukkan realitas yang berkebalikan. Pelbagai data dan fakta di atas adalah bukti nyata bahwa kampus tak beranjak dari budaya paternalistik dan feodalisme yang menjerumuskan institusi ke jurang yang lebih dalam.
Pers mahasiswa memang terbilang lemah secara perlindungan hukum. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak menyebut bahwa pers mahasiswa merupakan pers profesional. Karena relasi yang timpang, ada pula kalangan mahasiswa yang setelah mengalami represi dan pengekangan memilih untuk tidak melanjutkan sikap kritis atau menerima pencabutan produk jurnalistik yang dihasilkan. Ada pula penggunaan bahasa yang diperhalus, seperti “dilakukan pembinaan”; yang sekali lagi menunjukkan relasi yang tidak setara dan penundukan terhadap sikap kritis.
Untuk itu, secara mendasar, pers mahasiswa perlu melakukan penguatan terhadap kualitas liputan. Sebab, jika muncul konflik dan advokasi, hanya objek material liputan tersebut yang bakal diperdebatkan apakah merupakan produk jurnalistik atau tidak. Penguatan semakin diperlukan agar mutu produk pers mahasiswa dapat disandingkan dengan kualitas pers pada umumnya. Di samping itu bagi kampus, sudah menjadi tugas bagi birokrat untuk membiakkan nilai-nilai demokrasi, salah satunya menjunjung kebebasan pers mahasiswa. Sebab, jika ingin menengok sejauh mana kebebasan akademik di sebuah kampus, kebebasan pers yang berkembang di situ bisa menjadi salah satu tolok ukurnya.
Dhoni Zustiyantoro
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), pendamping Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Unnes, e-mail: petanikata@mail.unnes.ac.id.