Bukan undang-undang. Bukan pula titah mahabijak sang pemangku kuasa yang mengatur dunia ini, melainkan simbol. Kehidupan sosial adalah gudang simbol-simbol yang pada intinya memiliki bermacam-macam bentuk. Baik ragam simbol dari era Megalitikum serupa punden berundak dan menhir, dari masa Abad Tengah seperti variasi patung malaikat dan santo-santa, ataupun sesederhana gapura di pintu masuk desa yang kadang kita dirikan dengan bersusah payah sewaktu menjalankan agenda kuliah kerja nyata.Â
Di luar figur arsitektur sebagaimana sudah dijelaskan di atas, hal-hal yang bercorak konseptual dapat pula terklasifikasikan sebagai simbol. Mereka dapat ditemukan dalam bentuk aturan pengorganisasian para karyawan di perusahaan-perusahan multinasional, starting line-up tim sepak bola yang kerap jadi bahan perbincangan di warung-warung kopi, seremoni besar-besaran manakala ospek di kampus-kampus dimulai, hingga berbagai rambu lalu lintas yang bisa kita temukan di setiap sudut persimpangan jalan raya.Â
Politisasi Simbol
Upaya penyimbolan yang dilakukan manusia adalah suatu keniscayaan. Dan dalam dimensi politik, hal tersebut telah digunakan dalam rangka menyukseskan usainya pertarungan kepentingan. Dari rahim simbol, sesuatu yang kita sebut sebagai negara, atau belakangan disebut negara-bangsa (nation-state), dapat lahir. Pasalnya, negara sejatinya memang memiliki tubuh tak terlihat. “Ia harus dipersonifikasikan sebelum dapat dilihat, disimbolkan sebelum dapat dicintai, dan dibayangkan sebelum dapat direalisasikan”, jika ilmuwan politik beken asal Amerika Serikat Michael Walzer (dalam Mayo-Harp, 1994, 5) mengistilahkan.Â
Gamblang saja. Agar dapat diakui di hadapan publik internasional, negara mesti memiliki bendera atau lagu kenegaraan di samping variabel geografis sejenis ibukota dan batas kewilayahan (Elgenius, 2011). Oleh sebab itu, bendera merah putih, misalnya, tak hanya dilihat sebagai selembar kain yang berkibar-kibar di udara; atau lebih-lebih seonggok barang dagangan yang baru laris manis menjelang Agustusan. Ia tak bisa dimungkiri mampu membuat klaim atas status kemerdekaan sebuah bangsa dan cerita panjang yang menaungi proses pembentukan negara. Pertanyaannya sekarang, dari mana kesadaran akan hal itu sebetulnya bermula?
Secara umum, pembentukan negara memang tak dapat dipisahkan dengan proses pembangunan jati diri bangsa. Dalam posisi ini, peran masyarakat sipil memainkan andil krusial. Hal ini selaras dengan pendapat Srirupa Roy (2007, 14), profesor asal University of Göttingen, yang telah mewanti-wanti bahwa kekuatan proses reproduksi negara tidak terletak pada keberadaan individu-individu yang mengidentifikasikan diri dengan bangsa, melainkan dalam kemampuan mereka untuk mengidentifikasi negara sebagai wakil otoritatif bangsa.Â
Proses ganda pembentukan negara dan pembangunan bangsa di muka mencakup, antara lain, pembentukan korps birokrat dan institusi nasional serta pembangunan infrastruktur material yang mendukung komunikasi nasional seperti institusi pendidikan penyebar materi kenasionalan. Di samping itu, ia juga mengeksplisitkan upaya penyimbolan dengan output simbol-simbol kenegaraan (contohnya: bendera, lagu, dan lambang kenegaraan atau nama negara) yang biasanya dikoordinasi oleh pemimpin negara via penulisan ulang sejarah nasional (Anderson, 1983). Konstruksi budaya tersebut memekikkan tiga tujuan lantang, “Ayo para individu yang heterogen, bersatulah! Kalian memiliki kesamaan asal-usul tradisi, keselarasan sejarah perjuangan/penderitaan, dan kesatuan kepentingan dalam hidup bermasyarakat!”
Pekik orasi itu tentu butuh medium efektif supaya reproduksi negara dapat tertancap dalam-dalam di tiap-tiap benak insan masyarakat sipil. Dalam praktiknya di lapangan, laku penciptaan imajinasi kenasionalan biasanya memanfaatkan peran sentral, yang lagi-lagi, berupa simbol semacam peringatan berulang setiap tahun. Keberadaan hari besar nasional adalah salah satu bukti yang tak dapat diganggu gugat.
Sejarah, ke Mana Engkau Pergi?
Hari besar nasional adalah seumpama konsep ragasukma di alam pikiran Jawa. Ajaib betul memang. Ia memungkinkan setiap sosok dalam masyarakat sipil keluar dari batas ragawinya, lantas diikuti rohnya yang siap bergentayangan jauh ke masa lalu untuk menyambangi aneka momen bercucur peluh dan bersimbah darah kala situasi heroik negara datang. Jika bahasa ilmiah yang berbicara, hari besar nasional sudah dengan sengaja memanfaatkan waktu libur masyarakat sipil dan keantusiasan media-media dalam negeri untuk mengondisikan kesinkronan ingatan publik dengan ingatan akan riwayat ihwal kenasionalan (Zerubavel, 2003).Â
Rangkaian perayaan yang cenderung kompleks dan rumit pun turut jadi pelumas. Tank-tank dengan pelontar peluru teracung berbaris rapi. Formasi pesawat jet melesat di angkasa raya. Mereka bisa dijumpai dalam peringatan hari besar nasional di Rusia dan Tiongkok. Indonesia pun familier dengan kebiasaan semacam ini. Misalnya saja, Paskibraka upacara HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) kemarin bahkan diketahui telah menjalankan latihan selama 40 hari penuh sejak pukul 04.00 pagi sampai 21.00 petang untuk mempersiapkan keberlangsungan selebrasi masif di Istana Negara.
Siapa yang diuntungkan dari gegap gempita acara-acara ini? Dari term waktu libur yang saya singgung sebelum ini harusnya sudah menerakan jawaban jelas. David McCrone dan Gayle McPherson (2009) lantang menyuarakan bahwa sektor ekonomi pariwisata negara adalah penerima asupan finansial utama.
Sampingkan sejenak ketakziman atas gelaran momen megah tersebut. Berbeda dengan simbol-simbol kenegaraan lainnya, hari besar nasional yang diperingati umumnya setahun sekali menjadi topografi strategis bagi terjadinya peminggiran narasi sejarah.Â
Ambil sampel Mesir. Terhitung sedari beralih rupa menjadi negara berbentuk republik (1952–saat ini), Mesir telah menambah sekitar 12 hari besar nasional baru dalam rangka menyukseskan legitimasi setiap dinasti pemerintahannya. Perayaan hari-hari besar nasional dari kurun waktu periode monarki (1922–1952) tentu tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya (Podeh, 2011).
Tabel 1. Lampiran perbandingan hari besar nasional Mesir dari periode monarki dan republik (Podeh, 2011, 107).
Kasus yang lebih radikal datang dari negeri Paman Sam. Sebut saja Independence Day milik Amerika Serikat. Orang Amerika merayakan 4 Juli sebagai tanggal ketika deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat ditandatangani pada tahun 1776. Namun, saat ini, terang kiranya bahwa deklarasi tersebut ternyata mulai ditandatangani pada tanggal 2 Juli dengan seluruh prosesnya yang memakan waktu sekitar enam bulan (McCrone dan McPherson, 2009). Soal genosida kalangan Indian bagaimana? Jangan harap hal tersebut dipersoalkan pada hari sakral yang diriuhkan dengan gelegar kembang api itu.
Sekali lagi, Indonesia sungguh tak asing dengan latah ini. Sudah jadi rahasia umum jika Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati tiap 1 Oktober menyimpan seabrek memori gelap. Semenjak Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 153 Tahun 1967 terbit, Hari Kesaktian Pancasila dielu-elukan sebagai tanda kesahihan negara pada saat insiden G-30-S menghadang. Celakanya, monumen peringatan itu berdiri di bawah ingatan berbagai pembantaian ratusan ribu nyawa masyarakat Indonesia yang dikoordinasi Soeharto dan kroni-kroninya pada rentang waktu dua tahun sebelumnya (Robinson, 2018).
Pidato di Dalam, Kritik di Pintu Depan
Beda tempo dulu, beda masa sekarang; tapi soal tujuan, tentu sama persis. Seremoni Hari Kemerdekaan Indonesia, yang contohnya diperagakan baru-baru ini, adalah tambang melimpah untuk mendulang perhatian masyarakat sipil yang berkaitan dengan pemupukan kecintaan terhadap negara. Template-nya selalu senada seiring silih bergantinya kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari waktu ke waktu. Sidang Tahunan MPR RI, upacara peringatan detik-detik proklamasi, lanjut pawai sana-sini, repeat!Â
Boleh saja kalau negara mau menggelontorkan dana besar guna mengadakan selebrasi semarak. Akan tetapi, rapor merah selama langkah kaki rezim berjalan juga seharusnya diutarakan. Sayangnya, pidato kenegaraan yang dituturkan Jokowi ketika Sidang Tahunan MPR RI yang dihelat pada 16 Agustus lalu tampaknya melupakan hal itu.Â
Isu-isu darurat begitu kentara disisihkan Jokowi dalam uraian panjang pidatonya, dan justru omongan-omongan manis seperti “bapak-ibu yang saya muliakan”, “yang saya hormati para ketua ketua, wakil ketua (…)”, atau “yang saya hormati Ibu Prof.Dr.Hj. (…)” malah sering mewarnai menit-menit saat ia berdiri di atas podium. Lalu, alih-alih membicarakan UU Cipta Kerja yang tak memenuhi standar kegentingan memaksa, ia justru mengglorifikasi slogan-slogan pembangunanisme untuk persiapan menuju Indonesia Emas 2045. Ia juga dinilai berani menaikkan wacana krisis ekologis dengan pelbagai solusi-solusi palsu yang mengatasnamakan industri ekstraktif, infrastruktur, dan proyek ekonomi hijau; kendati laporan Walhi yang dipublikasikan pada 12 Juni 2023 lalu tegas menyatakan bahwa dalam lima tahun belakangan negara telah mendalilkan akselerasi perampasan ruang hidup dan wilayah kelola rakyat.Â
Bagian penyampaian urusan HAM kian aneh lagi. Jokowi terang-terangan mendeklarasikan konsistensi Indonesia dalam menjunjung HAM, kemanusiaan, dan kesetaraan. Sekelibat, penalaran logis di kepala saya langsung memutuskan konklusi invalid! Lantas, jika begini ceritanya, pemukulan dari pihak kepolisian kepada Koordinator Jala PRT Lita Anggraini ketika aksi mogok makan pekerja rumah tangga yang juga terselenggarakan pada 16 Agustus 2023 harus dikemanakan? Barang kali, hanya kurang kedengaran. Tindak kekerasan yang terjadi tepat di depan Kompleks Parlemen Republik Indonesia itu mungkin terlalu jauh dari ruang sidang.
Itu belum mencakup tragedi aksi massa atas sengketa tanah di Dago Elos, Bandung dua hari sebelum Jokowi mengkhotbahkan pidato kenegaraannya. Selayang pandang, aksi massa hari itu dipicu oleh klaim keluarga Muller atas tanah yang sudah lama didiami warga Dago Elos melalui dasar hukum dari masa kolonial Belanda. Aparat kepolisian tertangkap basah melakukan tindak pemukulan, penjambakan, penembakan gas air mata, hingga merangsek masuk ke rumah warga pada saat warga setempat memprotes hasil keputusan Mahkamah Agung yang disahkan pada 2022 silam.
Bagi saya, evaluasi ini sejujurnya hanya menunjukkan angka sekian persen dari bertumpuk-tumpuk catatan buruk lainnya. Simbol hari besar nasional seperti halnya peringatan Kemerdekaan RI pada akhirnya hanya diisi oleh narasi abal-abal. Yang penting: aparatur negara mendapat citra, media massa mengemasnya, dan rakyat percaya. Namun, jika kita menengok ke arah timur laut sana, kenyataannya agak berbeda.
Dalam survei informal yang dilakukan Stephen M. Ryan (dalam McCrone dan McPherson, 2009, 14) di kalangan mahasiswa Jepang, lebih dari 50 persennya tidak mengetahui nama hari libur dengan hanya 23 persen di antaranya yang mampu mengidentifikasi rujukannya sebagai narasi kenasionalan dari negara. Mengapa? Jelas, para mahasiswa itu simpelnya menghindari silang sengkarut kontroversi yang membayangi hari besar nasional mereka walaupun pemerintah Jepang sudah berusaha mati-matian (McCrone dan McPherson, 2009). Mereka jauh lebih suka meluangkan waktu untuk hari raya tradisional layaknya Setsubun (upacara melempar kacang setiap 3 Februari) atau Hinamatsuri (festival boneka setiap 3 Maret).Â
Apakah Indonesia kelak akan seperti itu? Kalau saya adalah mahasiswa Jepang, mungkin saya akan mengambil jalan yang sama seperti halnya sebagian besar dari mereka. Kebetulan, saya suka menonton perayaan Setsubun di Youtube sebagai obat pengantar tidur. Sayang seribu sayang, dunia malah menempatkan saya sebagai bagian dari mahasiswa Indonesia kebanyakan.
Penulis : Albertus Arioseto
Penyunting : M. Ihsan Nurhidayah
Ilustrator : Parama Bisatya
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nations. London: Verso, 1983.
Antara. “Bertugas Besok, Paskibraka Berlatih Selama 40 Hari Sebelum Tugas di Upacara HUT RI.” Tempo, 16 Agustus, 2023. https://nasional.tempo.co/read/1760319/bertugas-besok-paskibraka-berlatih-selama-40-hari-sebelum-tugas-di-upacara-hut-riÂ
Azra, Azyumardi. “Memulihkan Kesaktian Pancasila.” Kompas.id, 18 September, 2022. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/18/memulihkan-kesaktian-pancasila-1Â
Elgenius, Gabriella. Symbols of Nations and Nationalism. London: Palgrave Macmillan, 2011.
Ghofar, Abdul, Kurniawan, Adam, Hastutik, Agus Dwi, Kusuma, Ayu, Dwinanto, Jambore, Fanny Tri, Roziqin, Fathur,Widodo, Ferry, Jatmiko, Hadi, Harahap, Melva, Ridwanuddin, Parid, Ndamung, Petrus, Manggala, Satrio, Ahmadi, Tubagus Sholeh, dan Uli Artha. Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2023: Terdepan di Luar Lintasan. Jakarta Selatan: Eksekutif Nasional Walhi, 2023.
Herdiana, Iman. “Mengapa Hukum Kolonial Belanda masih Punya Kuasa di Dago Elos?” BandungBergerak.id, 17 Agustus, 2023. https://bandungbergerak.id/article/detail/158652/mengapa-hukum-kolonial-belanda-masih-punya-kuasa-di-dago-elosÂ
Humas MKRI. “UU Cipta Kerja Tidak Penuhi Unsur Mendesak dan Darurat.” Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 26 Juli, 2023. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19374&menu=2Â
Kompas.com. “Naskah Lengkap Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo Tahun 2023.” Diakses pada 18 Agustus, 2023. https://jeo.kompas.com/naskah-lengkap-pidato-kenegaraan-presiden-joko-widodo-tahun-2023Â
Luviana. “Aksi Mogok Makan PRT, Polisi Lakukan Kekerasan dan Rampas Properti Aksi.” Konde.co, 18 Agustus, 2023. https://www.konde.co/2023/08/aksi-mogok-makan-prt-polisi-lakukan-kekerasan-dan-rampas-properti-aksi.html/Â
Mayo-Harp, Maria Isabel. “National Anthem and National Identities: The Role of National Anthems in the Formation Process of National Identity.” B.A. thesis, Instituto Tecnologico Authorno de México, 1994.
McCrone, David, dan Gayle McPherson. National Days: Constructing and Mobilising National Identity. London: Palgrave Macmillan, 2009.
Pedjabat Presiden Republik Indonesia. “Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 153 Tahun 1967 Tentang Hari Kesaktian Pantjasila.” Presiden Republik Indonesia, September 1967. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/151386/keppres-no-153-tahun-1967Â
Podeh, Elie. The Politics of National Celebrations in the Arab Middle East. New York: Cambridge University Press, 2011.
Rajul, Awla. “Malam Mencekam di Dago Elos.” BandungBergerak.id, 15 Agustus, 2023. https://bandungbergerak.id/article/detail/158644/malam-mencekam-di-dago-elosÂ
Robinson, Geoffrey B. The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66. New Jersey: Princeton University Press, 2018.
Roy, Srirupa. Beyond Belief: India and the Politics of Postcolonial Nationalism. Durham: Duke University Press, 2007.
Zerubavel, Eviatar. “Calendars and history: a comparative study of the social organization of national memory.” Dalam States of Memory: Continuities, Conflicts and Transformations in National Retrospection, disunting oleh Jeffrey K. Olick, 315-37. Durham: Duke University Press, 2003.