Waria merupakan kelompok kelas subaltern dalam struktur sosial masyarakat Yogyakarta. Istilah subaltern digunakan untuk menggambarkan posisi kelas subordinat atau tertindas akibat hegemoni kelas yang berkuasa. Hal ini terjadi lantaran kelompok waria adalah kelompok rentan yang kehadirannya kerap kali dipandang sebelah mata baik oleh masyarakat maupun negara.  Dalam artikel ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana penindasan terhadap kelompok waria sebagai kelompok subaltern terjadi melalui metode wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap dua santri Mbak Nur dan Mbak YS untuk mengetahui perlakuan diskriminatif yang kerap mereka dapatkan. Di akhir penulisan artikel ini penulis memberikan rekomendasi terkait langkah apa saja yang dapat pemerintah lakukan untuk memberikan perlindungan terhadap keberagaman identitas khususnya pada kelompok waria
Pendahuluan
Dalam bukunya yang berjudul The Politics of Recognition, Charles Taylor, menegaskan penahanan pada suatu identitas berarti juga penindasan terhadap identitas tersebut. Lebih lanjut Taylor menjelaskan pentingnya bagi negara untuk merekognisi seluruh identitas. Dengan demikian negara turut memberikan penghargaan terhadap individu atau kelompok. Penghargaan ini berarti juga pengakuan akan kesetaraan nilai-nilai kultur yang berbeda-beda dan ekspresi atas kompleksitas kebutuhan manusia (Taylor, 1994).
Sebagaimana kita ketahui manusia adalah makhluk yang begitu kompleks lagi unik. Setiap diri memiliki perbedaannya masing-masing. Herbet Mead dalam teorinya, The Self, Me and I, berusaha menjelaskan bagaimana perbedaan tersebut dapat terbentuk. Menurut Mead terdapat dua ruang dalam diri manusia yang membentuk keragaman keunikan itu. Pertama adalah diri pribadi (I) yang pasif dan merupakan pribadi murni dari seorang individu. Sedangkan ruang kedua adalah diri sosial (me) yang merupakan hasil sosialisasi dari lingkungan dimana manusia berada (Melissa, 2017).
Dari kedua diri itulah terbentuk suatu  identitas yang unik. Persoalan pelik yang muncul  kemudian adalah tidak semua identitas tersebut dapat diterima. Sebab Identitas tersebut bergumul dalam dua kelompok, mayoritas dan minoritas. Kelompok identitas minoritas didefinisikan sebagai kelompok  yang jumlah warganya jauh lebih sedikit dari golongan mayoritas. Secara sosiologis, mereka yang disebut minoritas setidaknya memenuhi tiga persyaratan. Pertama, anggotanya tidak diuntungkan sebagai akibat tindakan diskriminasi. Kedua, anggotanya dibangun atas rasa solidaritas “kepemilikan bersama”. Ketiga, biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar (Suaedy, 2012)
Kelompok minoritas memang kerap kali tereksklusif dari masyarakat dimana mereka tinggal. Posisi mereka dalam masyarakat sering kali tidak diuntungkan. Kondisi ini erat hubungannya dengan kelompok subaltern. Istilah ini mencatut  pemikiran Antonio Gramsci, yakni kelompok subordinat dalam masyarakat yang menjadi subyek hagemoni kelas yang berkuasa. (Morris, 2010)
Dalam artikel ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana penindasan terhadap kelompok waria sebagai kelompok subaltern terjadi. Waria termasuk dalam kelas subaltern karena kelompok ini adalah subordinat dari kelompok yang berkuasa. Siapakah kelas yang berkuasa itu? Dalam hal ini adalah konstruksi sosial budaya dominan yang hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan sebagai identitas “normal.”.
Mengenal Pesantren Waria Alfatah
“Ini kan sebenarnya diawali 2006 pasca gempa, terus teman -teman kan berinisiatif bikin doa bersama buat korban gempa. Waktu itu difasilitasi oleh Kiayi Haji Amroli. Dia menginisiasi begini, kenapa kok kegiatan ini tidak dilanjutkan rutin, tidak sekedar doa bersama? Jadi ya teman -teman bisa belajar bareng, biar belajar continue. Nah, akhirnya berdirilah pondok pesantren waria di 2008 di Notoyudan. Awalnya gak di sini (Kota Gede). Dipindah di sini (Kota Gede) itu April 2014.” (Mbak Nur)
Keberadaan Pondok Pesantren Waria Alfatah masih memiliki kaitan erat dengan peristiwa gempa Yogyakarta 2006 lalu. Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter detik ini berhasil memorak-porandakan Yogyakarta dalam waktu 57 detik. Peristiwa kemanusiaan itu turut menyentuh nurani waria Yogyakarta untuk mengadakan kegiatan doa bersama. Selepas kegiatan doa bersama Kyai Amroli menyarankan agar diadakan kegiatan keagamaan bagi waria. Inisiatif Kyai Romli muncul lantaran minimnya tempat pembelajaran agama bagi waria.
Pada tahun 2008 barulah saran dari Kyai Amroli ini dapat terwujud. Pada awalnya kegiatan pondok pesantren menempati rumah kontrakan Bu Maryani yang terletak di bilangan Notoyudan. Bu Maryani juga yang menjadi ketua pertama pondok ini. Baru sekitar tahun 2014, selepas Bu Maryani wafat, pesantren pindah ke kawasan Kota Gede.
Di kawasan Kota Gede mereka tinggal di rumah Shinta Ratri. Rumah kuno turun temurun dari keluarga Shinta ini dianggap representatif untuk kegiatan pondok. Perpindahan ini sekaligus mengukuhkan Shinta—sapaan Shinta Ratri, sebagai ketua pondok selanjutnya menggantikan posisi Almarhumah Bu Maryani.
“Nah uniknya disini tuh kita malah enggak pernah mencari pak ustadz, ya jadi kayak melamar gitu datang kesini punya tujuan untuk mengajar disini. Karena pertama kalau kita mencari ustadz kan kita enggak mampu buat membayarnya. Jadi dari pertama berdiri santrinya enggak bayar ke pondok kayak dipondok-pondok pesantren lainnya yang ada biaya-biayanya. Kalau disini dilakukan dengan suka rela saja, ini malah kita dapet ustadzah baru, lagi satu minggu ini dari uin juga, dosen S2 di UIN.”
(Mbak YS)
Kegiatan Pondok Pesantren Alfatah tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren pada umumnya. Di sini, waria belajar mengaji Al-Quran, beribadah bersama, dan menimba ilmu agama. Mereka belajar bersama para ustadz dan ustadzah, yang notabene berasal dari UIN Sunan Kalijaga. Namun, tidak seperti pesantren pada umumnya yang mewajibkan santri untuk menetap di podok, disini santri dapat tinggal dalam pondok atau memilih untuk datang pada saat kegiatan saja.
Pondok pesantren ini dapat diibaratkan sebagai rumah bersama untuk mempererat tali persaudaraan antar waria. Sebagai rumah bersama kehadiran Pondok Pesantren Waria Alfatah sangatlah penting bagi para santrinya. Salah satu alasan mengapa perlu didirikannya pondok ini adalah tidak banyak masjid atau pondok yang mengerti akan kebutuhan waria dalam beribadah (Maharani, 2017).
Waria dalam sudut pandang subaltern
Istilah subaltern berasal dari pemikir Italia, Antonio Gramsci. Menurutnya, istilah ini merujuk pada kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan hegemonik bisa disebut sebagai kelas subaltern. Dengan kata lain hubungan subaltern adalah hubungan menindas dan ditindas. (Reed, 2012).
Gayatri Spivak dalam esainya, Can Subaltern Speak, menjelaskan bahwa sub memiliki tiga karakteristik: Pertama adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Kedua, ketidakmampuan untuk menyuarakan aspirasi atas ketertindasannya. Ketiga, kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga diperlukan kaum intelektual yang sering dianggap sebagai “wakil” kelompok subaltern (Morris, 2010).
“Kalau di waria pasti ya sering mengalami diskriminasi, soalnya itu kan menyangkut masalah identitas. Skalanya lebih kecil dan juga nyelekit sih. Tapi artinya tidak berkelompok seperti sekarang yang sudah berkembang besar. Palingan dulu cuma personal ketika mendapat pelecehan.” – Mbak YS (Waria penghuni Pesantren Alfatah)
 Waria merupakan sub altern dalam struktur sosial Yogyakarta. Mereka sering kali mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat atau bahkan dari keluarga. Salah satu yang diutarakan oleh Mbak YS perihal bullying yang kerap kali dilontarkan terhadap mereka. Tentunya hal ini berdampak terhadap kondisi psikologis waria.
Waria juga kerap kali mendapatkan tindakan diskriminatif dari ormas-ormas intoleran. Yogyakarta sempat dibuat heboh oleh teror pesan berantai yang berbunyi solidaritas aksi penutupan Pondok Pesantren Waria Alfatah di tahun 2016 lalu. Teror ini dilakukan oleh ormas yang mengatasnamakan kelompok Islam. Alasan penutupan ini adalah pondok pesantren waria tidak sesuai dengan syariat Islam.
Ormas tersebut datang memenuhi daerah sekitar pondok sembari meneriakkan “Allahuakbar.” Lantas kelompok ormas ini melanjutkan perkara penutupan ini ke pengadilan. Dalam pengadilan tersebut ormas menginginkan agar pihak pondok pesantren tidak membawa pengacara atau bantuan hukum dari lembaga mana pun. Mereka ingin agar pesantren segera ditutup karena dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam.
Berbagai peristiwa tersebut semakin menegaskan posisi waria sebagai subaltern. Penindasan ini sebagai akibat dari dominasi sistem patriarki yang menganggap seksualitas dalam posisi biner hanya antara pria dan wanita. Sehingga diluar posisi tersebut dianggap “tidak normal” alias menjadi liyan.
Dalam kajiannya tentang teori queer, Michel Foucault, mengungkapkan bahwa seksualitas sebagai bentuk konstruksi sosial budaya masyarakat. Suatu struktur sosial budaya yang menganut sistem patriarki kental terhadap hegemoni maskulitas. Lebih lanjut, RW Cornell berpendapat bahwa hagemonik maskulitas menempatkan sifat kejantanan di atas sifat keperempuanan. Hal ini tentu menimbulkan sebuah bentuk marginalisasi terhadap laki-laki yang bersifat keperempuanan dalam hal ini adalah kelompok waria (Atkinson, 2015).
Waria Setara Warga
Dari penulisan artikel ini penulis dapat menyimpulkan bahwa penindasan terhadap waria sebagai subaltern tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi juga disuburkan oleh negara. Waria terkungkung dalam dominasi sistem patriarki, yang memandang hanya terdapat dua gender “normal” yakni pria dan wanita. Negara seolah melakukan pembiaran perlakuan intoleransi dan diskriminatif ini.
Seharusnya negara mampu mengakomodasi perbedaan identitas yang ada. Sebagaimana apa yang ditegaskan Charles Taylor dalam bukunya The Politics of Recognition, penahanan pada suatu identitas berarti juga penindasan terhadap identitas tersebut Dengan merekognisi identitas maka negara turut memberikan ruang ekspresi bagi individu yang unik.
Dalam konteks waria, Negara harus memandang waria dalam sudut pandang kewargaan. Gagasan kewargaan memusatkan perhatian pada bagaimana masyarakat, yang terdiri atas beragam kelompok identitas dapat hidup bersama dana ikatan negara bangsa. Dengan hadirnya sistem demokrasi semestinya keragaman dapat ditampung dalam masyarakat  dalam ruang publik masyarakat pluralis (Dwipayana, 2016).
Robert Hefner berpendapat bahwa negara disebut menerapkan kewargaan dalam sosial masyarakatnya yaitu ketika membuang niatan untuk menekan atau mengurangi keragaman. Sebaliknya, negara menjawab tantangan dengan cara damai dan partisipatoris. Perspektif kewargaan perlu diupayakan bagi terwujudnya kualitas ruang publik yang lebih baik. Ada dua hal yang dapat menjadi indikator dari baiknya kualitas itu. Pertama, tingkat inklusivitas ruang publik dalam menampung dan mengelola keberagaman yang ada. Kedua terkait deliberasi yang dilakukan di ruang publik. (Dwipayana, 2016)
Dalam hal ini negara bertanggung jawab dalam menjaga ruang publik sebagai media partisipasi masyarakat yang terdiri atas berbagai macam identitas. Penjagaan ini berati juga dalam menjaga ruang agar terbebas dari dominasi kelompok tertentu dan memfasilitasi semua akses masyarakat. Termasuk dalam kasus ini adalah membuka dialog antara kelompok pesantren waria dan beberapa pihak yang menentang. Pemerintah harus hadir dalam upaya meminimalisir terjadinya kekerasan, sebab kekerasan merupakan salah satu hal yang tidak dapat ditoleransi.
Penulis: Arif Budi Darmawan
Editor: Kenny Setya Abdiel
Foto via visualhunt.com
Daftar Pustaka
Atkinson, S., 2015. The Sociology Book: Big Ideas Simply Explained. s.l.:DK Publisher.
BBC, 2017. BBC Indonesia. [Online] Available at:Â http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160225_indonesia_ponpes_waria_ditutup
Dwipayana, A. G., 2016. Agama di Balik Suara: Representasi Agama dalam Demokrasi di Ranah Lokal. In: Pluralisme Kewargaaan. Yogyakarta: CRCS, p. 154.
Kusumadewi, A., 2017. CNN Indonesia. [Online] Available at: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808211440-20-150068/yogyakarta-kota-yang-makin-tak-toleran/
Maharani, S., 2017. Tempo.co. [Online] Available at: https://m.tempo.co/read/news/2016/03/09/078752072/sujud-perih-terakhir-di-pondok-pesantren-waria-al-fattah
Melissa, H., 2017. [Online] Available at: http://study.com/academy/lesson/george-herbert-mead-the-self-me-i.html
Morris, R., 2010. Can the Subalterns Speak?: Relfection on the History of an Idea. In: Columbia: Columbia University Press.
Reed, J. P., 2012. Theorist of subaltern Subjectivity: Antnio Gramsch, Popular Beliefs, Political Passion, and Reciprocal Learning. Sage.
Suaedy, A. D. M. A. M. S. A. R., 2012. Islam dan Kaum Minoritas : Tantangan Kontemporer. Jakarta: The Wachid Institute.
Taylor, C., 1994. Multiculturalism : Examinining The Politics of Regognition. Princeton: Princeton University Press.
Widayanti, T., 2009. Politik Subaltern Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: PolGov.