Bandungan, destinasi wisata Kabupaten Semarang tak hanya menawarkan pesona alam dan hiburan malam. Di balik tawaran hiburan tersebut, kisah getir para pekerja seks menghadapi diskriminasi selalu mengikuti. Tumpang tindih kebijakan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang dalam kurun waktu yang berdekatan semakin memposisikan mereka ke dalam kondisi rentan.
Di tengah ketidakpastian tersebut, para pekerja seks mulai bergerak melindungi diri mereka dari berbagai ancaman: masalah hukum, kesehatan, sampai kekerasan yang selalu dikesampingkan. Pada Sabtu (10-06-2023), BALAIRUNG berkesempatan berbincang dengan Firhandika Ade Santury, peneliti pekerja seks yang turut dalam pengawalan serikat pekerja seks di Bandungan. Firman menyebutkan bahwa advokasi terhadap pekerja seks bukan hanya penghapusan stigma semata, tetapi mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja dan warga negara. Berikut wawancara lengkapnya.
Apa yang melatarbelakangi penelitian Anda terkait pekerja seks di Bandungan?
Pada dasarnya, aku ngerasa bahwa orang-orang melihat pekerja seks sebagai kelompok paria. Kasta bawah gitu. Jadi stigma ne luar biasa buruk ke mereka. Padahal, dalam proses kerja, mereka sangat rentan, rawan sekali. Nah, dari situ harus dikaji lebih jauh deh. Akhirnya, waktu kuliah menemukan kerangka untuk menganalisis lebih jauh mengenai kondisi pekerja seks.
Kalau secara personal, [alasannya-red] keresahan pribadi. Regulasi terkait pekerja seks itu kan di-deliver ke pemerintah daerah sejak Era Belanda. Hari ini pun sama, tiap pemerintah daerah pasti memiliki kebijakan terkait prostitusi.
Di Kabupaten Semarang terdapat dua kebijakan.* Pertama, pada tahun 2014 terdapat peraturan daerah (perda) terkait pelarangan prostitusi yang berhubungan dengan ketertiban masyarakat. Di situ jelas bahwa semua aktivitas prostitusi dilarang. Perda itu bilang bahwa pekerja seks bukan pekerja, melainkan wabin [wanita binaan-red]. Kedua, pada tahun 2015, dikeluarkan perda terkait pemberdayaan perempuan. Pemerintah sudah pakai terminologi pekerja seks, hak pekerja seks dilindungi, dijamin kesehatan, hak hukum, dan hak ekonominya. Jadi, posisinya itu terdapat dua kebijakan yang kontradiktif.
Alasan lain itu secara kalkulasi. Jumlah pekerja seks di Bandungan itu lebih dari seribu pekerja. Pada tahun 2014, Kompas dengan Komisi Perlindungan AIDS menaksir sekitar 700-800 pekerja. Nah, di 2014 Dolly ditutup sehingga kemungkinan eksodus dari Dolly ke Bandungan itu tinggi. Tapi, pemerintah itu aneh, yang dihitung pekerja [haknya dilindungi-red] hanya yang ada di lokalisasi. Padahal, Bandungan itu nggak punya lokalisasi karena pekerja seks hidup di tengah masyarakat dan aktivitas di tengah-tengah masyarakat.
Atas dasar itu, pemerintah kemudian menganggap di Bandungan nggak ada prostitusi sehingga semua hak para pekerja seks diabaikan. Di lain sisi, pemerintah masih menjalankan pelarangan [Perda 2014-red], tetapi tidak menjalankan pemenuhan hak para pekerja seks. Loh iki piye? Kan aneh sekali. Kebijakan pelarangan terus ditegakkan. Akibatnya, sering kali oknum polisi, Satpol PP datang dengan dasar kebijakan itu untuk memeras para pekerja seks.
Jadi, memang situasinya sangat kompleks. Penelitianku mulai berangkat dari analisis self-governing community karena aku jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan kan. Aku ingin tahu bagaimana pekerja seks sebagai komunitas berserikat. Lalu, bagaimana mereka mengurus diri tanpa adanya bantuan dari pemerintah.
Apakah para pekerja seks di Bandungan terafiliasi dengan Mucikari atau self-employed?
Di Bandungan itu unik sekali. Posisi mucikari itu statusnya sebagai tukang ojek di pangkalan, tapi nawarin kayak “gitu”. Namun, secara garis besar otoritas pekerjaan ini ada di pekerja seksnya. Kalau tukang ojek nawarin kerjaan dan mereka nggak mau, nggak apa-apa. Kalau mau, ya, nanti dibantu nyari pelanggan. Terus ada semacam list yang diberikan kepada anjelo-nya. Isinya daftar pekerja seks yang siap kerja untuk hari ini atau besok. Itu disortir berdasarkan kondisi kesehatan para pekerjanya.
Mucikari ini juga sifatnya nggak individual, ada paguyubannya. Paguyuban itu dipegang serikat untuk memastikan kondisi pekerja. Serikatnya masih muda, tahun 2014-2015, nggak ada bantuan dari luar sama sekali. Jadi, seadanya saja, mereka hanya bisa melindungi pekerja seks, secara administratif, dan kesehatan; belum bisa secara ekonomi, hukum.
Berarti relasi kerjanya nggak subordinatif?
Mereka lebih cenderung ke mitra.
Apa Cerita di Balik Pendirian Serikat Pekerja Seks Itu?
Tahun 2014-2015 itu ada dua tragedi cukup besar. Ada pekerja seks yang meninggal, di kamarnya karena overdosis. Dan ketika dicek identitasnya, ternyata tuh identitasnya palsu. Semuanya palsu, nggak tau jasadnya harus diberi ke mana. Nah, warga di situ yang punya pengalaman di dunia prostitusi menginisiasi mendirikan paguyuban untuk memperketat administrasi supaya tidak terjadi kembali.
Kalau inisiator yang punya sentral itu warga sekitar. Jadi ada satu warga dan suaminya, mereka asli Bandungan dan merasa khawatir; pun dia juga punya semacam kos-kosan, kontrakan tepatnya. Makanya dia menghimpun orang-orang, termasuk meminta atau melobi persetujuan dari RT dan kecamatan, tapi catatannya tidak secara eksplisit mencerminkan perkumpulan pekerja seks. Akhirnya disebut Perkawis, Perempuan Pekerja Wisata.
Sampai di situ, Perkawis membangun sistem keamanan secara administratif dan kesehatan. Secara kesehatan, dia bekerja sama dengan dinas kesehatan, melakukan tes kesehatan dua bulan sekali. Memastikan yang sehat boleh bekerja, yang sakit nggak boleh bekerja. Dulu baru ada beberapa orang, dan hari ini ada 70-100.
Perkawis ini juga punya ikatan cukup kuat dengan beberapa aktor prostitusi. Pertama, menggandeng Paguyuban Pemilik Kos. Ibu-ibu pemilik kos itu digandeng, diajari, “Peraturannya begini, ya, Bu.” Kedua, para paguyuban ojek atau mucikari juga dikasih tahu, “Kalau ada pekerja seks di luar data yang minta dibantu mencari pelanggan, jangan mau, tidak boleh.” Ketiga, Asosiasi Pengusaha Karaoke. Diajak berkolaborasi, bekerja sama secara administratif agar nggak ada pekerja seks di bawah 18 tahun. Kan paguyuban karaoke itu punya kepentingan besar juga karena banyak sekali aktor-aktor pemerintah masuk di sana. Jadi ya, terbatas ke situ aja.
Tadi disebutkan, yang tergabung Perkawis itu baru 70-100, apa kesulitan untuk merangkul pekerja lain?
Pertama, itu karena banyak pekerja seks datang cuma di hari-hari tertentu, utamanya weekend. Buat mendata itu sulit sekali. Kedua, kesadaran dari diri sendiri. Kebanyakan mereka sangat tertutup kehidupannya, jarang bercengkrama dengan warga. Mereka siang hari wis tidur tok ning kamar, kerja baru malam. Nggak ada waktu.
Aku bisa katakan hampir 90% pekerja itu pendatang karena sangat tidak mungkin orang asli Bandungan jadi pekerja seks. Mereka mempertaruhkan nama, nama keluarga juga. Banyak yang dari Jepara, Bandung, Lembang, Temanggung, bahkan luar pulau Jawa.
Selain inisiator, apakah para pekerja seks turut andil secara aktif di Perkawis?
Sejauh ini, beberapa dari mantan pekerja seks punya kontribusi. Kayak sharing cara-cara untuk menyiapkan diri setelah menjadi pekerja seks. Namun, untuk programnya memang di bawah inisiator. Para pekerja seks tuh cuma diorganisir aja, mereka hanya mengikuti alurnya saja.
Apakah ada pengaturan alat kontrasepsi dalam serikat yang ada?
Secara administrasi, pekerja seks di bawah 18 tahun tidak diperbolehkan bekerja. Meskipun pada prakteknya banyak sekali yang usia 16-17 tahun, tapi mereka datang cuma setiap weekend. Jadi, serikat kesulitan mengontrol pekerja yang tidak menetap di Bandungan, akhirnya kebijakan penggunaan alat kontrasepsi beberapa kali kebobolan. Yang paling banyak itu dengan para tukiman (turu, laki, mangan)** tadi, kalau sama pelanggan hanya dihitung jari.
Apakah ada keberadaan aktor lain dalam sistem kerja para pekerja seks?
Oh, iya, iya. Kalau pemilik kos itu relasinya dengan pekerja seks hanya sebatas relasi penyewa kos sama pekerja seks. Nggak peduli nanti pekerja seks itu bawa laki-laki yang bukan suaminya untuk nginep. Relasinya betul-betul relasi ekonomi aja.
Nah, yang lain itu Tukiman. Dia itu lebih masuk ke arah hubungan privat pekerja seks. Begini, pekerja seks punya pacar, terus pacarnya itu dia biayai. Kadang ini luput, tukiman ini yang justru menjadi salah satu orang yang sangat berpotensi melakukan tindakan kekerasan terhadap pekerja seks. Kalau pekerja seks tidak mau menuruti kemauan tukiman, tindakan-tindakan kekerasan itu muncul, beberapa kali dipukul, dipiting, atau dijambak. Dan respons masyarakat juga tidak terlalu aware, makanya [kalau terjadi-red] biasa saja menanggapinya.
Lalu, selama ini masalah kehamilan para pekerja seks justru datang dari tukimannya. Di sini, penggunaan alat kontrasepsi sudah terjadi. Tapi, yang belum terjadi itu ketika tukimannya bisa ganti-ganti, jadi nggak cuman satu yang datang tidur. Tukiman itu bisa ganti-gantian seminggu. Inilah yang menjadi faktor yang berpotensi untuk melahirkan penyakit dan kehamilan di luar nikah. Jarang sekali ini dilihat dalam analisa kebijakan.
Apakah ada pengaruh tukiman terhadap masyarakat?
Sebetulnya, aturan administratif mengenai siapa pasangan kerja seks itu tidak ada. Dalam beberapa kasus, yang jadi tukiman itu bisa perampok, buronan yang lari. Itu karena tidak ada aturan yang jelas tentang siapa yang bisa datang ke Bandungan. Jadi selain berpotensi berbuat kekerasan ke pekerja seks, kerugian juga berdampak ke masyarakat. Makanya banyak kasus pencurian atau perampokan. Selain itu, segelintir tukiman juga datang dari mereka yang punya jabatan, ada PNS, orang-orang ormas, plat merah juga sering datang.
Tapi, identitas gampang ditebak. Jadi, memang lebih banyak yang tidak dikenali dan lebih berpotensi untuk tidak aman. Baik untuk pekerja seks, maupun masyarakat di sini. Sejauh ini, orang juga tidak berani ambil sikap.
Kalau Mas sendiri ada pandangan tidak atas pekerja seks? Ada yang mendukung penghapusan pekerja seks secara keseluruhan, ada yang ya lebih menyorot kesejahteraannya, misalnya sex work is work.
Banyak yang menulis tentang pekerja seks, tapi mereka tidak hidup dekat dengan mereka. Pandangan mereka hanya mewakili situasi yang ada. Kalau aku pribadi, cenderung melihat posisi mereka riskan. Misal, feminis liberal itu di masyarakat mereduksi keadilan sebatas Hak Asasi Manusia, akhirnya tidak melihat pekerja seks sebagai sebuah ketimpangan. Di sana karena memang pekerja seks adalah hak–prostitusi itu hak. Di sisi lain, ada pekerja yang tidak mau jadi pekerja seks, tapi tidak punya pilihan.
Di penelitianku juga menunjukkan ada 88% pekerja seks di Indonesia akibat ekonomi dan mereka tidak suka atau tidak menikmati kerjaannya. Jadi, aku sama sekali tidak sepakat dengan cara-cara kriminalisasi mengatasi pelacuran, cara-cara legalisasi ala feminis liberal, atau cara-cara penumpasan tanpa padang bulu oleh feminis abolis. Aku tidak sepakat dengan itu karena hal yang paling mungkin adalah kapitalisme menyebabkan pelacuran. Kalau mau menghapus pelacuran, ya harus menggulingkan kapitalisme.
Negara juga kayak nggak ada fungsinya. Aku mendatangi dinas pemberdayaan perempuan untuk membahas perda yang tadi, tapi mereka jawab, “Pekerja seks itu bukan bagian kita, bagian sosial.” Opo yo, tidak ada itikad yang serius untuk menyikapi isu ini. Kebijakan yang ada hanya mengakomodir lokalisasi. Di lokalisasi pun, ada aktivitas pemberdayaan. Para pekerja diberikan modal 500 ribu beberapa minggu dikasih waktu untuk latihan. Tapi, 500 ribu bisa untuk usaha apa? Tidak mungkin.
Reporter: M. Fahrul Muharman dan M. Ihsan Nurhidayah
Penulis: Ester Veny dan Siti Fatria Pelu
Penyunting: Edo Saut Hutapea
Ilustrator: Ester Veny
Catatan Akhir:
*Pada tahun 2014, Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang mengeluarkan kebijakan Perda Nomor 10 Tahun 2014 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat yang mengatur penertiban kepada tempat-tempat hiburan. Setahun kemudian, Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang kembali mengeluarkan kebijakan Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan yang mulai mengatur hak-hak pekerja dan pengakuan terhadap pekerja seks. Kebijakan inilah yang membuat tumpang tindih antara pemenuhan hak-hak pekerja seks.
**Tukiman merupakan akronim dari turu, laki, mangan. Penggunaan Tukiman sebagai penyebutan pasangan para pekerja seks dilatarbelakangi pekerjaan para pasangan pekerja seks hanya tidur (turu), berhubungan badan (laki), makan (mangan). Kedekatan pekerja seks dan Tukiman didasari adanya anggapan awal bahwa Tukiman akan memberikan keamanan pada para pekerja seks.