Tak kuasa melihat kondisi bangsanya dieksploitasi pabrik gula, Soerjopranoto memantik gerakan mogok yang membuat para pengusaha tak nyenyak tidur sejak 1915. Tak sampai lima tahun kemudian, gerakan lindap ditelan subsidi dan kenaikan gaji.
Pengantar
Kebijakan ekonomi liberal yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda pada 1870 tidak hanya menghasilkan keuntungan luar biasa (colonial super profit) bagi pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda dan negara-negara Eropa lainnya, tetapi juga kondisi pemiskinan bersama (shared poverty) bagi masyarakat bumiputra (Achdian, 2008: 18). Ketimpangan antara pihak kolonial dan masyarakat bumiputra muncul sebagai akibat dari proletarisasi terhadap para petani kecil tak bertanah dan para petani bertanah yang terpaksa menyewakan tanah mereka untuk kepentingan industri. Upaya proletarisasi ini dilakukan sedemikian rupa sehingga masyarakat bumiputra yang semula didominasi oleh petani dengan hak milik atas alat produksi berskala kecil kemudian beralih profesi menjadi buruh pada sektor publik dan swasta. Orientasi pada keuntungan ekonomi membuat sistem produksi ini diterapkan tanpa mempertimbangkan kultur masyarakat tempatan. Akibatnya, lambat-laun, masyarakat bumiputra yang mendiami sejumlah wilayah semi-perkotaan tercerabut dari akar kebudayaan mereka sebagai masyarakat agraris.[1]
Ironisnya, meluasnya partisipasi masyarakat bumiputra sebagai komponen terendah dalam industrialisasi rupa-rupanya tidak disertai dengan keadilan dalam kebijakan pemberian upah. Dalam pandangan pemerintah kolonial, masyarakat bumiputra adalah orang-orang pemalas yang nafkahnya cukup “sebenggol sehari”.[2] Keadaan ini berbeda dengan buruh dari bangsa Eropa dan Tiongkok, yang mendapatkan upah lebih tinggi daripada buruh dari kalangan bumiputra. Ketidakadilan dalam kebijakan pemberian upah telah memantik sejumlah gerakan protes berskala lokal sepanjang dekade 1880-an (Utomo, 1983: 68–78). Meski telah memperlihatkan kemajuan dalam bentuk metode pemogokan, gerakan protes pada masa ini pada dasarnya masih bersifat tradisional, sebab belum ada organisasi yang terstruktur dengan baik. Selain itu, gerakan-gerakan tersebut umumnya memiliki cakupan spasial yang amat terbatas.
“Zaman mogok” (an age of strikes) merupakan terminologi yang digunakan Takashi Shiraishi (1997: 47) untuk menamai sebuah periode ketika pemogokan buruh pabrik gula terjadi di seluruh Jawa, khususnya Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, pada penghujung 1910-an dan awal 1920-an. Pemogokan ini digerakkan oleh Personeel Fabrieks-Bond (PFB), 6 serikat buruh pabrik gula yang didirikan oleh Soerjopranoto pada tahun 1918 di Yogyakarta guna menuntut “perbaikan material dan spiritual” (De Locomotief, 4 Februari 1919). Pemogokan buruh pabrik gula yang tergabung dalam PFB merupakan perlawanan berskala besar pertama yang dilancarkan oleh kaum buruh bumiputra[3] sejak proletarisasi melanda masyarakat Jawa pasca-Periode Liberal. Dalam pemogokan ini, untuk pertama kalinya, Yogyakarta hadir sebagai pusat baru pergerakan. Sejak penghujung dekade kedua abad ke-20, orang-orang pergerakan tidak lagi sekadar hilir mudik di Semarang atau Surabaya, sebab markas berbagai organisasi nasional dan serikat buruh pada waktu itu terletak di Yogyakarta. Saat zaman mogok dimulai, kawasan kerajaan atau vorstenlanden yang semula lelap dengan alam feodalismenya itu mendadak gemuruh dengan serangkaian rapat, pemogokan, dan propaganda.
Yogyakarta pada permulaan abad ke-20 merupakan daerah yang sarat akan gejolak. Ia menempati posisi strategis dalam menentukan arah dan corak pergerakan buruh dan pergerakan nasional pada umumnya. Namun, peran Yogyakarta sebagai pusat pergerakan sejauh ini masih minim mendapatkan sorotan. Bias sejarah justru muncul dalam sejarah pergerakan buruh masa kolonial, yang sebagian besar masih melimpahkan perhatian pada gerakan buruh sayap kiri di Semarang. Akibatnya, gerakan buruh seringkali dikonotasikan dengan komunisme. Padahal, gerakan buruh di Yogyakarta dikendalikan oleh kelompok nasionalis di bawah Centraal Sarekat Islam (CSI) (Blumberger, 1932: 135).
Industri Gula di Yogyakarta
Kajian tentang perburuhan masa kolonial kerap diawali dengan menjamurnya perusahaan swasta sebagai akibat diterapkannya politik pintu terbuka pada 1870. Munculnya golongan liberal bersama penolakan mereka yang masif terhadap Sistem Tanam Paksa tidak dapat dimungkiri telah mendorong pemerintah lambat-laun meninggalkan sistem ini, yang secara simbolik ditandai dengan ditetapkannya Agrarische Wet 1870 (Sulistyo, 1995: 12). Sebagai gantinya, iklim ekonomi yang semakin ramah terhadap modal asing pada akhirnya mendorong para kapitalis gula memboyong modal mereka untuk ditanam di wilayah pedalaman Hindia Belanda. Namun, untuk kawasan vorstenlanden, situasinya agak lain. Sejumlah orang Tionghoa dan Eropa telah menyewa tanah dari penguasa dan pemegang lungguh[4] di wilayah ini, bahkan sebelum tahun 1830 (Siraishi, 1997: 12). Beberapa dekade sebelum kemunculan golongan liberal, sejumlah pengusaha Belanda telah mengusahakan perkebunan-perkebunan nila, tembakau, dan tebu[5] di Yogyakarta dan Surakarta melalui ketentuan sewa-menyewa tanah yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 116 tahun 1857 (Soemardjan, 1985: 214).
Meskipun penyewaan tanah untuk kepentingan industri telah terjadi jauh sebelum Periode Liberal, tanah yang disewakan di kawasan vorstenlanden pada masa itu luasnya amat terbatas. Selama kurun 1830 sampai 1850, Surakarta tidak pernah menyewakan tanah lebih dari 50.000 bau[6], sedangkan di Yogyakarta jumlah itu tidak pernah lebih dari 15.000 bau (Siraihi, 1997: 12). Angka ini secara pasti bergerak makin besar menjelang 1870, tetapi relatif masih terbatas. Pada 1864, tercatat terdapat 200.000 bau tanah disewakan di Surakarta, jauh lebih banyak dari Yogyakarta pada 1862 yang hanya 46.000 bau. Ketika pintu penanaman modal asing dibuka tahun 1870, praktis Yogyakarta sudah memiliki 58 perkebunan dengan 8 di antaranya perkebunan tebu. Biarpun tampak jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah perkebunan di Surakarta, yang pada saat bersamaan memiliki 137 perkebunan dengan 31 di antaranya tebu, akan segera tampak melalui sejumlah laporan pada awal abad ke-20 bahwa produksi gula di Yogyakarta, secara kuantitas, lebih unggul dari kawasan lain di sekitar Jawa Tengah, termasuk Surakarta.
Komersialisasi tanah semakin masif seiring dibukanya pintu penanaman modal asing pada 1870. Saat itu, sejumlah perusahaan besar berbondong-bondong mendirikan pabrik gula di wilayah yang kelak akan memperlihatkan ciri perkotaan. Tanah yang mereka gunakan untuk perkebunan tebu pada umumnya merupakan tanah milik pemegang lungguh, yang memiliki hak untuk menyewakan sebagian tanahnya dengan ketentuan tidak melebih hak mereka sendiri. Jangka waktu penyewaan tanah pada mulanya dibatasi selama dua puluh tahun, tetapi seiring berjalannya waktu, jangka waktu ini diperpanjang hingga tiga puluh tahun dengan opsi untuk diperbarui (Soemardjan, 1985: 214). Dengan demikian, para kapitalis gula itu, dalam batas tertentu, mampu menggantikan peranan para patuh, termasuk untuk memerintah bekel.
Sistem penyewaan tanah yang diterapkan saat itu mengharuskan rotasi pengelolaan tanah oleh pemilik dan penyewa. Sistem yang disebut dengan geblagan ini memberikan wewenang kepada masing-masing pihak untuk mengelola tanah selama 12 bulan (Soemardjan, 1985: 227). Namun, sejak semula, setiap orang yang terlibat dalam kontrak mengetahui bahwa penanaman tebu mustahil dilakukan hanya dalam waktu 12 bulan. Paling sedikit, tebu memerlukan waktu lebih dari 17 bulan agar siap panen dan diolah dalam penggilingan. Itu sebabnya, pengembalian hak pengelolaan tanah oleh penyewa sering kali melebih batas waktu. Pengembalian yang semula ditargetkan Mei, rupanya tidak bisa dilakukan sebelum September. Ironisnya, ganti rugi yang diberikan guna menutup kelebihan lima bulan ketika petani tidak memiliki penghasilan itu biasanya sangat kecil. Hal ini menimbulkan frustrasi di tengah kaum tani.
Perluasan lahan perkebunan seiring dengan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan gula mendorong meningkatnya kebutuhan tenaga kerja terampil dan tidak terampil, baik di sektor pabrik maupun perkebunan. Hal ini, pada gilirannya, menarik para petani tak bertanah untuk membentuk pemukiman di sekitar daerah industri. Dominasi kekuatan kapital pada satu pihak turut mengikis sejumlah aspek tradisional yang telah lama hidup di tengah masyarakat pada pihak lain, seperti hubungan patron-klien antara petani penggarap dan pemilik tanah, semakin tertutupnya sumber daya di lingkungan desa yang tersedia, dan menciutnya pendapatan tambahan dalam aktivitas ekonomi tradisional petani (Achdian, 2008: 20). Dengan demikian, meluasnya modal asing lambat-laun mendorong terjadinya proses urbanisasi di Yogyakarta.
Produksi gula di Yogyakarta pada 1913—1920 hanya kalah dari Surabaya, Pekalongan, dan Pasuruan. Seperti telah disinggung di awal pembahasan, luas tanah yang dialokasikan untuk industri di Yogyakarta tidak sebesar di Surakarta. Hal ini tidak serta-merta menjadikan Surakarta sebagai produsen gula terbesar di kawasan vorstenlanden. Dalam sebuah laporan pada awal tahun 1917, tampak meskipun luas tanah yang disewakan tidak sebesar di wilayah lain, produksi gula Yogyakarta masih unggul secara kuantitas dibandingkan Surakarta (De Locomotief, 18 Januari 1917). Hal ini mengindikasikan bahwa pengusaha swasta di tengah keterbatasan lahan perkebunan lebih menekankan intensifikasi daripada ekstensifikasi. Akibatnya, dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja dengan alokasi upah yang tidak terlalu memberatkan perusahaan (Breman, 1986: 49). Upaya proletarisasi ini menegaskan bahwa liberalisasi ekonomi yang dimaksud hanya memberikan keuntungan bagi para kapitalis gula, sementara masyarakat bumiputra tetap menjadi buruh dengan upah rendah.
Biaya produksi rendah merupakan kunci keuntungan luar biasa pihak kolonial. Sebuah surat kabar terbitan Australia menurunkan berita tentang keprihatinan akan rendahnya upah buruh pabrik gula di Jawa, yang berbanding terbalik dengan hasil produksinya yang melimpah (Queensland Times, 23 Maret 1917). Pada kesempatan lain, surat kabar yang sama memperlihatkan tabel produksi gula di Jawa selama rentang tahun 1896 sampai dengan 1906. Tabel tersebut menunjukkan peningkatan produksi hampir dua kali lipat dalam jangka waktu sepuluh tahun, yang semula 534.390 ton menjadi 1.048.275 ton (Queensland Times, 28 Desember 1907). Laporan tersebut ditutup dengan kalimat bernada miris, “Rahasia di balik kemajuan gula di Jawa dalam produksi gula. pada akhirnya, dapat dilacak pada keunggulan sumber daya alam dan kenyataan bahwa upah buruh di sana jauh lebih rendah dibandingkan tempat produksi gula mana pun di belahan dunia.”[7]
Politik Kelas Sosial Baru
Perkembangan di bidang industri, pada gilirannya, mendorong modernisasi pada beragam aspek kehidupan di Yogyakarta. Berdirinya pabrik-pabrik gula di hampir setiap wilayah kawedanan telah menandai karakteristik awal sebuah wilayah perkotaan. Memasuki dekade kedua abad ke-20, Yogyakarta telah memiliki 18 pabrik gula yang tersebar di Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo. Sebelumnya, pada paruh kedua abad ke-19, jalur-jalur kereta api sebagai sarana memasarkan hasil produksi mulai dibangun. Sarana dan prasarana transportasi lain seperti jalan raya mulai memasuki wilayah pedalaman. Patut diperhatikan bahwa jalan raya merupakan penanda penting keberadaan sebuah kota. Hal ini karena pertumbuhan kompleks pertokoan dan perumahan elite sejajar dengan pembangunan ruas-ruas jalan raya. Meski penggunaan listrik masih terbatas, masyarakat pedesaan telah memasuki transisi menuju masyarakat perkotaan dengan paradigma dan alam berpikir yang lain pula.
Namun, tidak satu pun dari sejumlah aspek di atas yang mampu memberikan pengaruh bagi kemajuan bumiputra lebih daripada pendidikan. Berkembangnya pendidikan sejak penghujung abad ke-19 tidak terlepas dari kebutuhan penguasa kolonial dan pengusaha Eropa akan tenaga kerja terampil dan terdidik. Sejak paruh kedua abad ke-19, meski cakupan muridnya masih sangat terbatas, sekolah-sekolah mulai didirikan di Yogyakarta. Usaha pengajaran mulai mendapat perhatian pemerintah ketika Mullemeister menjabat residen (1822—1891) (Surjomihardjo, 2008: 67). Perkembangan pendidikan tidak mengalami kemajuan berarti hingga didirikannya Eerste Klasse dan Tweede Klasse untuk mengakomodasi golongan bumiputra. Di samping itu, didirikan pula sejumlah perguruan tinggi di bidang kedokteran, keguruan, hukum, dan teknik.
Meski muncul sebagai sarana pihak kolonial mencari tenaga terdidik yang bersedia dibayar murah, perkembangan pendidikan telah melahirkan kelas sosial baru yang mulai memiliki kesadaran nasional serta kemampuan menerjemahkan kesadaran itu ke dalam beragam bentuk aksi dan retorika model Barat. Salah satu momentum bangkitnya kesadaran nasional pun dirintis oleh para siswa STOVIA dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. Sebelum para calon dokter Jawa itu mengambil inisiatif membentuk organisasi yang ternyata kemudian cenderung konservatif, sejumlah tokoh bumiputra lain telah memulai gerakannya dengan memanfaatkan media massa. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pers memegang peranan penting dalam membangun kesadaran nasional masyarakat bumiputra. Abdurrachman Surjomihardjo (2008: 206) merumuskan bahwa modernisasi merupakan perpaduan antara pers dan organisasi sosial-politik yang muncul sebagai akibat dari meluasnya akses pendidikan. Kelas sosial baru yang mampu memperoleh pendidikan dan mempergunakan pengetahuannya guna memupuk kesadaran nasional, baik melalui pers maupun organisasi sosial-politik, disebut sebagai komunikator profesional (Surjomihardjo, 2008: 203).
Salah satu komunikator profesional itu bernama Soerjopranoto. Lahir pada 11 Juni 1871, ia merupakan putra sulung KPA Soerjaningrat, seorang bangsawan Pakualaman. Latar belakang keluarga kraton tidak membuatnya hidup terpisah dengan hiruk-pikuk kawula biasa. Sebaliknya, usai menamatkan Klein Ambtenaaren Cursus, instruksi asisten residen untuk menempatkannya bekerja di Controleurs Kantoors membuatnya menjumpai berbagai diskriminasi yang dialami oleh pegawai kecil bumiputra (Budiawan, 2006: 48). Sempat melanjutkan pendidikan di MLS Bogor dan bekerja di Wonosobo, ia akhirnya memutuskan untuk meleburkan dirinya dalam pergerakan nasional dengan bergabung dalam Boedi Oetomo (Budiawan, 2006: 64–68). Seiring berjalannya waktu, perhatiannya yang besar terhadap nasib buruh mendorongnya menjadi salah satu pejuang utama hak-hak buruh masa kolonial.
Kiprahnya diawali dengan mendirikan Arbeids-leger (Tentara Buruh) Adhi Dharmo bersama Raden Djojodiwirjo, Raden Sastrowijono, dan Raden Muso pada 1915 (Sulistyo, 1995: 44). Kelompok ini semula bergerak untuk membela hak-hak buruh dengan agenda yang terbatas. Salah satu sarana penting yang dimiliki Adi Dharmo adalah media bernama Medan Boediman. Melalui corong ini, Soerjopranoto dan golongan bumiputra lain mampu mengartikulasikan gagasannya mengenai hak-hak buruh.
Pada beberapa kesempatan, Adi Dharmo berhasil menginisiasi sejumlah pemogokan buruh guna menuntut kenaikan upah, pemenuhan tunjangan, dan perbaikan kondisi kerja. Salah satu pemogokan yang berhasil terjadi di Pabrik Gula Tandjongtirto pada 1918 (Utama, 2017: 3). Mencuatnya pemogokan sebagai metode perjuangan dengan sendirinya telah mengarahkan pergerakan buruh ke arah modernitas model Barat. Hal ini tentu berbeda dengan bentuk perjuangan sebelumnya yang didominasi oleh gerakan pembakaran lahan perkebunan tebu (Suhartono, 1995).
Setelah berhasil dengan Adi Dharmo, Soerjopranoto kemudian mendirikan serikat buruh pabrik gula baru dengan cakupan yang lebih luas pada 1918 bernama Personeel Fabrieks Bond (PFB). Serikat ini mengawali perjuangannya dengan memperkuat jaringannya di daerah-daerah sejak permulaan tahun 1919. Pada pengujung tahun yang sama, Soerjopranoto mengonsolidasikan kekuatan buruh pabrik di seluruh Jawa untuk mengadakan pemogokan. Pada mulanya pemogokan berlangsung secara sporadis di masing-masing wilayah. Sikap netral pemerintah kolonial selama pemogokan tidak menjurus ke arah politik membuat sebagian besar aksi membuahkan hasil manis. Merujuk pada kepiawaiannya mengorganisir buruh untuk melakukan pemogokan, pers kolonial menjulukinya “Staking-koning” alias “Raja Mogok”.[8]
Kiblat Baru Gerakan Buruh
Gerakan buruh tidak sejak semula hadir di Yogyakarta. Pada awalnya, sejumlah buruh kereta api membentuk serikat yang dikenal dengan SS Bond pada 1905 di Semarang. Serikat ini tidak diniatkan sebagai suatu organisasi yang revolusioner. Nihilnya agenda membuatnya segera lindap ditelan zaman ketika serikat buruh kereta api lain yang dikenal dengan Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) didirikan pada 1908. Seiring berjalannya waktu, organisasi ini menjadi kian progresif sejajar dengan pengaruh komunis yang mulai meluas di kalangan buruh di Semarang. Kedatangan Henk Sneevliet, seorang komunis Belanda, di Hindia Belanda semakin mempertegas arah gerak dan basis ideologi VSTP. Salah seorang muridnya, Semaoen, pun kemudian diketahui menjadi salah satu propagandisnya yang paling berbakat. Jaringan buruh di Semarang telah memiliki basis massa yang kuat dengan VSTP sebagai serikat buruhnya yang terbesar ketika Jawa mulai memasuki zaman mogok pada pengujung dekade abad ke-20.
Yogyakarta hadir sebagai pusat baru pergerakan buruh ketika PFB mulai memperluas gerakannya pada 1919 (Siraishi, 1997: 148). Pada tahun itu, hoofdbestuur pertama secara resmi dibentuk, dengan Soerjopranoto sebagai ketua, Soemodihardjo sebagai sekretaris, dan Soemoharjono sebagai bendahara (Siraishi, 1997: 150). Segera afdeeling-afdeeling PFB dibentuk di daerah-daerah dengan masing-masing afdeeling memiliki konsul sebagai propagandisnya. Dalam waktu singkat, keanggotaan PFB melonjak secara signifikan. Jumlah anggota yang semula hanya 700 orang pada Desember 1918, pada tahun berikutnya bertambah menjadi 8.000 orang dengan 2.000 di antaranya masih terdaftar sebagai calon anggota (McVey, 2017: 58). Anggota ini tersebar hampir di seluruh Jawa, khususnya Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sehingga aksi-aksi pemogokan yang paling gencar antara tahun 1919 dan 1920 diketahui terjadi di wilayah ini.
Dalam perkembangannya, gerakan buruh di Jawa membentuk semacam dikotomi antara gerakan nasionalis di Yogyakarta dan komunis di Semarang.[9] Konflik internal Sarekat Islam berkembang menjadi persaingan antara Soerjopranoto dan Semaoen, yang mulai mengerucut semenjak ketegangan yang terjadi dalam kongres tahun 1919. Kongres tersebut memutuskan untuk membentuk perhimpunan dari serikat-serikat buruh yang tersebar di seluruh Jawa. Perhimpunan ini kemudian dikenal sebagai Vakcentrale atau Perserikatan Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) (McVey, 2017: 58). Semaoen yang gagal menjadikan PPKB berhaluan komunis terpilih sebagai ketua. Sementara itu, Soerjopranoto harus puas menjadi wakilnya. Dalam perkembangan berikutnya, terbukti Semaoen tidak kuasa mengendalikan seluruh kekuatan buruh dalam genggamannya. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Soerjopranoto dan Agoes Salim untuk memindahkan markas PPKB ke Yogyakarta.
Dominasi kelompok nasionalis CSI sebagai pimpinan pergerakan buruh membuat Yogyakarta melenggang sebagai pusat baru pergerakan. Wilayah ini sejak dulu merupakan tempat kongres-kongres penting diadakan, tetapi baru pada tahun 1919 mencuat sebagai mercusuar pergerakan. Setiap afdeeling PFB berinisiatif merencanakan pemogokan, mereka akan memerlukan diri menyambangi Yogyakarta guna meminta bantuan propagandis atau sekadar nasihat. Meskipun demikian, ketika aksi-aksi pemogokan kian meluas pada 1920, kelompok kiri di Semarang juga memperlihatkan dukungannya melalui surat kabar mereka, Soeara Ra’jat. Dalam berita yang diturunkan surat kabar tersebut, ternyata pemogokan tersebut tidak hanya dilakukan oleh buruh pabrik gula, tetapi juga buruh surat kabar De Locomotief. Laporan dari surat-surat kabar sezaman lain membuktikan bahwa sepertiga dari keseluruhan pabrik gula di Yogyakarta telah terjadi pemogokan.
Kesultanan di Bawah Raja Mogok
Zaman mogok berlangsung sejak PFB mulai melancarkan propagandanya pada tahun 1919. Sebelum itu, sejumlah pemogokan berskala kecil telah terjadi di beberapa tempat, seperti di Tandjoengtirto pada tahun 1918 di bawah inisiasi Adi Dharmo. Menjelang zaman mogok, Yogyakarta tercatat memiliki enam belas pabrik gula seperti terlihat dalam laporan hasil produksi di bawah ini (De Nieuwe Vorstenlanden, 29 Desember 1919).
Dari 16 pabrik tersebut, setidaknya enam di antaranya turut melancarkan pemogokan. Jumlah ini masih bisa bertambah mengingat tidak seluruh informasi pemogokan dapat ditemukan dan adanya beberapa pabrik yang sering kali disebut sebagai satu kesatuan lantaran berada di bawah kendali perusahaan yang sama. Sebagian besar aksi pemogokan itu berbuah manis dengan dikabulkannya sejumlah tuntutan para buruh, khususnya mengenai kenaikan upah.
Pemogokan di Pabrik Gula Gesiekan
Gesiekan merupakan salah satu pabrik pertama yang mendapati buruhnya melakukan aksi pemogokan. Pemogokan terjadi pada awal medio Februari hingga Maret tahun 1920. Para pemogok tersebut menginginkan kenaikan upah. Pada pekan kedua bulan Maret, diketahui bahwa manajer telah memenuhi tuntutan tersebut. Bahkan, Soerjopranoto memerlukan diri mengumumkan terima kasih melalui media massa (De Locomotief, 16 Maret 1920).
Seperti halnya aksi pemogokan lain pada masa kolonial, pemogokan di Gesiekan juga mendapati cap sebagai gerakan komunis. Pihak pengusaha yang khawatir akan potensi revolusioner buruh memilih untuk segera mengabulkan tuntutan mereka. Namun, pada saat bersamaan di Gesiekan dan Gondanglipoero, para borjuis itu membentuk “satoe pakoempoelan Boemipoetra, jang mana trang sekali ada aken melawan pada kaoem revolutionnaire” (De Locomotief, 19 Maret 1920).
Pemogokan di Pabrik Gula Gondanglipoero
Gondanglipoero, seperti halnya Gesiekan, memiliki potensi revolusioner yang sama menakutkannya di mata pengusaha. Namun, Soerjopranoto menilai “satu-satunya perusahaan yang membuat pengecualian menguntungkan adalah Gondanglipoero milik Smutzer, anggota Volksraad yang terkenal. Di sana, bagaimanapun, para pekerja menerima atau akan menerima bonus, pensiun hari tua, asuransi kesehatan, perumahan yang lebih baik. Singkatnya, segala sesuatu yang dibutuhkan di zaman modern” (De Locomotief, 17 April 1920). Biarpun begitu, pemogokan dan perundingan juga terjadi di wilayah ini, yang hasilnya langsung diterima oleh para buruh pada awal Maret 1920 (De Locomotief, 11 Maret 1920).
Pemogokan di Pabrik Gula Padokan
Padokan merupakan salah satu pabrik besar di Bantul yang masih berdiri hingga hari ini.[10] Pada masa pemogokan meluas dalam tahun 1920, pabrik ini termasuk salah satu yang alot dalam menanggapi tuntutan para buruhnya. Pada tanggal 12 April, masih terdapat sekitar 60 pekerja yang melakukan aksi mogok (De Preanger Bode, 14 April 1920). Pada 17 April, De Locomotief mengabarkan bahwa pemogokan di Padokan pecah karena manajemen menolak untuk menerima perwakilan konsul dari PFB untuk berunding. Pemogokan baru berakhir tanggal 22 April (De Preanger Bode, 13 April 1920).
Pemogokan di Pabrik Gula Demakidjoe dan Rewoeloe
Pemogokan di Demakidjo terjadi bersamaan dengan pemogokan di Rewoeloe. Kedua pemogokan ini terjadi persis setelah pemogokan Padokan berakhir (De Preanger Bode, 24 April 1920).
Pemogokan di Pabrik Gula Tandjongtirto
Pemogokan Tandjongtirto menjadi aksi pemogokan yang paling akhir terjadi di Yogyakarta. Pemogokan ini bahkan baru dilakukan satu bulan pasca-gagalnya pemogokan umum di seluruh Jawa. Biarpun begitu, pemogokan berjalan cukup panas. Setidaknya, separuh dari keseluruhan jumlah pekerja turut terlibat dalam pemogokan.[11] Pemogokan ini cukup berlarut-larut karena campur tangan asisten residen, yang justru memperkeruh suasana dengan ancamannya terhadap Soerjopranoto (Bataviaasch Nieuwsblaad, 27 September 1920). Aparat polisi ditempatkan di Wringin guna mengawal aksi pemogokan ini. Namun, pabrik tetap berjalan seperti biasa (Bataviaasch Nieuwsblaad, 23 September 1920).
Senjakala Gerakan Buruh Pabrik Gula
Pihak pemerintah kolonial umumnya bersikap netral terhadap pemogokan yang terjadi. Pemerintah selalu menekankan bahwa tuntutan buruh pabrik gula merupakan hal yang masuk akal dan sudah seyogianya dipenuhi. Hal ini menyebabkan pemogokan dapat menyebar secara sporadis hampir di seluruh Jawa. Dukungan pemerintah juga telah mendorong sebagian besar perusahaan untuk mengabulkan keinginan para pemogok. Pihak pengusaha, yang tergabung dalam Sindikat Gula, pun tampak tidak terlalu mempersoalkan pemogokan. Dalam arti, tidak muncul gugatan hingga ke ranah hukum.
Namun, di balik sikap lunak tersebut, sesungguhnya, para kapitalis gula ingin menggembosi pergerakan buruh. Hal ini dilakukan dengan mendirikan Politieke Economische Bond (PEB). Organisasi ini didirikan pada Januari 1919 oleh A.J.N. Engelenberg (Sobari, 2008: 33). Dalam praktiknya, PEB tampak didirikan sebagai reaksi atas gerakan PFB.[12] Sejumlah konflik pun mencuat sebagai akibat persaingan antara kedua organisasi ini. Apabila PFB selalu berupaya mengetengahkan tuntutan perbaikan upah serta perlawanan terhadap majikan, PEB justru menggandeng para buruh yang semula marah dengan sejumlah iming-iming seperti kenaikan upah dan akses pendidikan. Biarpun sekilas tujuan PEB tampak mulia, motif utamanya adalah tetap menggembosi pergerakan.
Narasi besar yang diusung oleh PEB dan kaum borjuis pada umumnya adalah asimilasi antara bumiputra dan banga Eropa. Politik asimilasi ini dilakukan dengan memberikan sejumlah kenikmatan yang biasa dirasakan bangsa Eropa kepada bumiputra. Orang-orang Indo-Eropa yang menganjurkan Politik Etis melalui pemberian akses pendidikan, irigasi, dan emigrasi menjadi salah satu pemrakarsa kebijakan ini. Hal ini dilakukan guna meredam pergerakan bumiputra agar tidak menjurus ke arah politik khususnya perjuangan kemerdekaan. Penguasa dan pengusaha kolonial masih menoleransi “perjuangan ekonomi” yang dilakukan murni untuk menuntut kenaikan gaji, tetapi tidak dengan “perjuangan politik” yang mengancam status quo. Padahal, sejak semula, pergerakan buruh tidak terlepas dari kecenderungan politik. Perdebatan mengenai boleh atau tidaknya buruh terjun dalam politik menjadi diskursus yang amat menarik pada tahun 1930-an. John Ingleson (2013) menyebut gaya hidup borjuis telah memengaruhi militansi buruh masa itu.
“Cakrawala kejiwaan buruh perkotaan juga berubah pada arah-arah lainnya. Dengan pertumbuhan jumlah lulusan sekolah-sekolah berbahasa Melayu-Belanda yang menjadi buruh, dan dengan para buruh tangan Indonesia yang mengambil pekerjaan yang pada awalnya disediakan bagi orang-orang Eropa, suatu sikap aristokrasi buruh terampil mulai timbul pada 1910-an. Kebanyakan dari buruh-buruh ini setidaknya tidak buta huruf. Mereka merupakan sasaran iklan yang mendorong mereka untuk membeli ini dan itu, pergi ke bioskop dimana persepsi mereka mengenai kehidupan dunia lebih luas, dan pada umumnya mereka mencari dan mengharapkan standar kehidupan yang lebih tinggi. Mereka merupakan kelompok buruh terampil, tulang punggung di sarekat-sarekat buruh di cabang-cabang pembantu, yang paling berjuang setelah 1918 untuk mempertahankan standar kehidupan ketika inflasi meningkat tajam.”
Para pemilik buruh dan pejabat pemerintah butuh waktu untuk menyadari hal ini. Namun, ketika sadar, mereka menyusun kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat untuk menyuap para buruh terampil dengan upah yang lebih tinggi dan tambahan lainnya. Cara ini kadang-kadang berhasil, dan sebagian besar bertanggung jawab terhadap kehancuran Sarekat Buruh Pabrik Gula setelah 1921 serta keretakan yang terjadi di antara guru-guru dan para pegawai pegadaian dalam hal pendapatan dan tingkat jabatan (Ingleson, 2013: 124–125).
Bambang Sulistyo (1995: 180) sepakat bahwa rasa puas akan pencapaian gerakan menjadi salah satu faktor penting surutnya gerakan PFB pasca-pemogokan 1920. Menurutnya, gerakan pemogokan di daerah industri gula berangsur-angsur menjadi surut sejajar dengan kondisi sosial dan ekonomi yang semakin sinkronis (Sulistyo, 1995: 180). Ketika buruh sudah mendapatkan apa yang mereka kehendaki, yaitu sekurang-kurangnya kenaikan upah, maka pergerakan bagi mereka tidak diperlukan lagi.
Raja Mogok Turun Takhta
Merosotnya atensi buruh pabrik gula terhadap propaganda yang dilancarkan Soerjopranoto dengan sendirinya diikuti dengan penurunan jumlah keanggotaan PFB. Situasi semakin sulit dengan sikap pemerintah kolonial yang mulai represif dengan serangkaian larangan pengadaan rapat-rapat umum. Soerjopranoto bukan tidak melihat lesunya gerakan buruh di bawah pimpinannya. Ia menilai diperlukan adanya pengakuan dari pihak pengusaha gula dan pemerintah kolonial atas keberadaan PFB sebagai perantara antara buruh dan manajer. Sampai berlarut-larut, impian Soerjopranoto ini tidak kunjung dapat diwujudkan.
Upaya terakhir yang ia lakukan adalah merencanakan pemogokan umum di seluruh Jawa. Sebuah ultimatum disampaikan kepada pengusaha gula untuk menaikkan upah buruh sebesar seratus persen. Sebab jika tidak, pemogokan umum akan dilancarkan di seluruh Jawa pada tanggal 17 Agustus 1920. Pihak pengusaha tidak menggubris ultimatum ini. Lesunya gerakan serta ketidaksiapan PFB membuat rencana ini segera dibatalkan ketika Soerjopranoto mendapat celah untuk membatalkannya. Alhasil, pers kolonial menamai ultimatum serta rencana pemogokan umum yang sudah telanjur tersebar ini sebagai candaan belaka.
Hanya persoalan waktu, gerakan PFB akan segera menemui ujungnya. Keanggotaan yang terus berkurang dan sikap represif pemerintah sangat menurunkan mental juang para buruh. Maka, tidak mengherankan jika setelah tahun 1921, gerakan PFB hampir-hampir tidak pernah terdengar lagi. Gerakan buruh selanjutnya diambil alih oleh kelompok sayap kiri di Semarang dengan pemogokannya yang juga besar pada tahun 1923. Gerakan sayap kiri ini pun harus berakhir akibat pemberangusan komunisme sebagai akibat dari pemberontakan mereka yang terburu-buru pada tahun 1926.
Penutup
Nasib buruh yang telah mencapai titik nadir akan terus mengalami stagnasi seandainya tidak muncul tokoh yang mampu membangun kesadaran kolektif untuk bergerak. Munculnya kesadaran bahwa sesuatu kelompok tengah ditindas oleh sebuah sistem memerlukan prasyarat tertentu untuk memanifestasikannya menjadi sebuah tindakan konkret yang mampu mengubah keadaan. Yogyakarta masa kolonial bukan saja hadir sebagai medan juang buruh untuk mendapatkan perbaikan upah dan kondisi kerja, tetapi juga mercusuar pergerakan yang mampu memantik buruh di daerah-daerah lain untuk turut bergerak bersama memperjuangkan keadilan di bidang ekonomi.
Sayangnya, gerakan ini tidak memiliki daya tahan untuk tetap mengusung tuntutannya di tengah segala perubahan sosial. Hierarki sosial tampak semakin pipih dengan sejumlah hak yang diterima oleh buruh. Hak ini, pada gilirannya, membentuk perilaku konsumsi buruh sebagai penanda akan kehadirannya di tengah sistem produksi yang baru. Apabila buruh sudah dijinakkan, maka kapitalis bebas melakukan apa saja yang disukainya. Hal ini pula yang terlihat dalam gerakan buruh pabrik gula yang pada akhirnya mencapai antiklimaks. Ketergantungan pada tokoh serta nihilnya militansi membuat gerakan buruh pabrik gula masa kolonial surut sebelum mampu berbuat banyak.
Penulis: Han Revanda Putra
Penyunting: M. Ihsan Nurhidayah
Catatan Akhir
[1] Hal ini berbeda dengan analisis Cliffort Geertz dan J.H. Boeke, yang cenderung menilai bahwa perkembangan ekonomi kapitalis di satu pihak tidak memberikan pengaruh berarti pada kegiatan ekonomi non-kapitalis di pihak lain. Beberapa studi mutakhir justru membuktikan bahwa perkembangan kapitalisme di Hindia Belanda memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan mayoritas kaum tani di wilayah pedesaan Jawa. Lih. Andi Achdian, op. cit., hlm. 19.
[2] Ungkapan ini pertama kali muncul dalam sidang Raad van Indie, 26 Oktober 1932. Kala itu direktur binnenlands bestuur berkata, “Gebleken is dat he thans voor volwassenen mogelijk is, zich voor 2 1/2 cent per dag te voden.” Kalimat ini kemudian menjadi amat populer di kalangan tokoh nasionalis. Lih. Sukarno, “Orang Indonesia Tjukup Nafkahnja Sebenggol Sehari?”, dalam Dibawah Bendera Revolusi I (Jakarta: Panitya Penerbit, 1964), hlm. 177.
[3] Konsolidasi kaum buruh telah lebih awal dirintis oleh bangsa Eropa dengan berdirinya Nederlandsch-Indisch Onderwijzers Genootschap (NIOG) pada 1894, Staatsspoorwegen Bond (SS Bond) pada 1905, dan Vereeniging Spoor- en Tram Personeel (VSTP) pada 1908. Lih. Iskandar Tedjakusuma, Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia, (Jakarta: TURC, 2007), hlm. 5—7.
[4] Tanah lungguh merupakan tanah milik kraton yang hak pengelolaannya diberikan kepada abdi dalem sebagai imbalan telah melayani sultan. Abdi dalem dengan hak istimewa ini, yang disebut patuh, tidak menggarapnya dengan tangan sendiri, melainkan melimpahkannya kepada bekel. Di bawah bekel, sejumlah besar petani tak bertanah, yang disebut kuli kenceng, membantu proses pengerjaan mulai dari penanaman hingga pemanenannya.
[5] Untuk wilayah Surakarta, jenis-jenis komoditas ini harus ditambah dengan kopi, yang saat itu tidak terdapat di Yogyakarta.
[6] 1 bau sama dengan 0,7 hektare.
[7] Diterjemahkan dari “But the secret of Java’s progress in sugar production is finally traceable to their great natural advantages together with the fact that the cost of labour is lower than any other part of the sugar producing world.”
[8] John Ingleson menilai julukan ini sesungguhnya ditulis dengan nada menghina dalam surat kabar berbahasa Belanda, tetapi penuh kekaguman oleh surat kabar nasionalis dan buruh. Lih. John Ingleson, Buruh, Serikat, Politik: Indonesia pada 1920an—1930an, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), hlm. 126.
[9] Petrus Blumberger membagi kubu yang bertikai dalam tubuh vakcentrale menjadi “het communistische Semarang of wel het nationalistische Jogja”. Lih. Blumberger, Petrus, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie, (Utrecht: Tjeenk Willink, 1931), hlm. 135.
[10] Pabrik tersebut sekarang dikenal sebagai Madukismo.
[11] Itu berarti 80 dari 160 orang. Lih. Bataviaasch Nieuwsblaad, 24 September 1920.
[12] Dalam hariannya, kelompok Semarangan mengejek PEB dengan ungkapan “Politik Ekor Babi”, dan mendukung gerakan pemogokan yang dilancarkan oleh PFB Soerjopranoto. Lih. Soeara Ra’jat, 16 Maret 1920.
Daftar Pustaka
Sumber arsip dan surat kabar
Bataviaasch Niewusblaad, 1920.
De Economische Ontwikkeling van Ned-Indië in Cijfers en Grafieken, 1938.
De Locomotief, 1920.
De Nieuwe Vorstenlanden, 1920.
De Preanger Bode, 1920.
Historische Prijzen in Nederlandsch-Indië Sedert 1825, 1939.
Haagsche Courant, 1920.
Jaarcijfers voor het Koninkrijk der Nederlanden 1920, 1922.
Kolonial Verslaag, 1920.
Soeara Ra’jat, 1920.
Sumber artikel, buku, dan skripsi
Blumberger, Petrus. De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie, (Utrecht: Tjeenk Willink, 1931)
Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986).
Budiawan. Anak Bangsawan Bertukar Jalan (Yogyakarta: LKiS, 2006).
Farid, Hilmar dan Ahmad Nashih Luthfi (ed.). Sejarah/Geografi Agraria Indonesia (Yogyakarta: STPN Press, 2017).
Ingleson, John. Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920an—1930an (Tangerang: Marjin Kiri, 2015).
Ingleson, John. Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial (Depok: Komunitas Bambu, 2013).
McVey, Ruth T., Kemunculan Komunisme Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2017).
Novita, Angghi. “Gerakan Sarekat Buruh Semarang Tahun 1913—1925,” (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2015).
Padmo, Soegijanto. “Ekonomi Perkebunan dan Keresahan di Pedesaan: Sebuah Survai Awal”, Humaniora, no. 2, 1995.
Semaoen, The Indonesian Movement in the Netherland Indie, tt.
Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912—1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
Suhartono, Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa Studi Historis 1850–1942 (Yogyakarta: Aditya Media, 1995).
Sukarno, “Orang Indonesia Tjukup Nafkahnja Sebenggol Sehari?”, dalam Dibawah Bendera Revolusi I (Jakarta: Panitya Penerbit, 1964)
Sulistyo, Bambang. Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995).
Sulistyo, Bambang. “Pasang Surut Gerakan Buruh Indonesia,” Lensa Budaya 13, no. 2 (2018).
Susanto, Harris. Matinya Sang Buruh (Depok: Penerbit Koekoesan, 2012).
Sobari, Bernas. Partai Politik Campuran di Hindia Belanda: Politieke Economishe Bond 1919—1929 (Jakarta: Universitas Indonesia, 2008).
Soegiri DS dan Edi Cahyono, Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru (Jakarta: Hasta Mitra, 2003).
Soemardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986).
Tedjasukmana, Iskandar. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia (Jakarta: TURC, 2008).
Utama, Danang Indra. “Pemogokan Buruh Pabrik Gula Tanjung Tirto Tahun 1918,” Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2017.