Langkah pemidanaan yang ditodongkan kepada Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, aktivis HAM Indonesia, menambah rentetan autocratic legalism yang terjadi dalam demokrasi Indonesia. Dua pejuang HAM tersebut, digugat oleh Luhut Binsar Pandjaitan atas sebuah video yang mendiskusikan suatu kajian tentang motif bisnis militer yang terjadi di Papua. Pelanggengan hasrat kekuasaan secara konstitusional oleh Luhut terlihat dalam langkah pemidanaan atas sentimen personalnya sampai gangguan terhadap independensi lembaga peradilan.
Arogansi kekuasaan yang dipertontonkan Luhut menyebabkan dunia aktivisme Indonesia bereaksi. Gaungan #StopKriminaliasasiFatiaHaris muncul dalam beberapa kanal pergerakan. Namun, salah satu hal yang sering luput adalah substansi dari kajian cepat yang coba didiskusikan oleh Fatia dan Haris dalam video tersebut. Kajian cepat tersebut dihimpun oleh 9 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi #BersihkanIndonesia dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua.”
Kajian cepat itu menguliti alasan dari penempatan militer di Papua yang kian masif dari tahun ke tahun. Hasilnya, ditemukan adanya motif kepentingan ekonomi oleh korporasi dan pihak militer yang terselip dari serangkaian kekerasan yang terjadi di Papua, terkhusus di Kabupaten Intan Jaya. Di sela-sela padatnya persidangan, BALAIRUNG mencoba mewawancarai Fatia pada Jumat (08-12) mengenai urgensi dari kajian tersebut, meski berimbas ancaman pidana kepada dirinya. Berikut hasil wawancara lengkapnya.
Apa isi dari kajian yang Anda diskusikan bersama Haris Azhar dengan imbas tuntutan kriminalisasi tersebut?
Nah, jadi waktu itu kita diskusi bareng, brainstorming. Terus, kita melihat situasinya waktu itu memang penempatan militer ke Papua itu lagi masif banget gitu. Karena ada Operasi Damai Cartens dan lain sebagainya. Terus, di situ, juga ada beberapa berbagai bentuk program gitu ya, yang itu pada akhirnya menambah, dan ada situasi yang katanya melegitimasi penambahan [jumlah-red] militer tersebut ke Papua.
Nah, tapi kan, kita dari sembilan organisasi ini semuanya bergerak di isu Papua. Dan kita melihat kayaknya ada concern yang cukup penting nih untuk kita mencoba membedah sebetulnya apa sih motif riil di balik penempatan militer tersebut. Nah, ini kan gabungan Koalisi Masyarakat Sipil; ada yang kerjanya buat isu security sector reform, ada yang kerjanya buat isu lingkungan, dan sebagainya, termasuk corporate accountability.
Berangkatnya dari riset pertamanya Greenpeace yang “Stok Baku Tipu”, dan itu akhirnya kita kembangkan di riset ini. Yang kajian cepat, ekonomi politik, penempatan militer di Papua, itu di kasusnya Intan Jaya. Karena Intan Jaya jadi kayak blind spot. Di mana sulit mendapatkan informasi terkait pelanggaran yang terjadi di sana, ditambah dengan waktu itu ada korban penembakan Pendeta Yeremia Zanambani. Nah, setelah itu kita mencoba untuk menyusun kerangkanya dengan metodologinya segala macam, dengan hipotesa awal: apa sebetulnya motif dari penempatan militer dan kaitannya dengan bisnis ekstraktif yang ada di Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya.
Setelah terbuka, kelihatanlah ada beberapa nama-nama purnawirawan sebagai “kaki kedua” yang menjadi komisaris ataupun pemegang saham, walaupun tidak sebagai direksi utama. Tapi, penempatan purnawirawan ini pada akhirnya berpengaruh. Bukan memberikan perintah, tapi berpengaruh terhadap penempatan militer tersebut. Yang ternyata kalau dilihat secara secara overlay petanya, itu kelihatan bahwa Kodam-Kodam (Komando Daerah Militer), Kodim (Komando Distrik Militer), dan lain sebagainya yang ada di Intan Jaya itu sangat dekat dengan lahan-lahan konsesi. Gitu, di Intan Jaya maupun di Blok Wabu.
Jadi, Derewo River Gold Project itu, itu adalah sungai Derewo yang melewati 4 kabupaten: Paniai, Nabire, Intan Jaya, sama satu lagi itu, saya lupa. Pokoknya ada empat. Jadi, dia ngitarin 4 kabupaten dan di sepanjang itu semua isinya adalah [lahan-red] konsesi.
Termasuk juga berhadapan dengan hutan lindung. Jadi, sebetulnya tidak hanya terkait soal dampak terhadap pelanggaran HAM-nya, tetapi juga berdampak pada pengrusakan lingkungannya dari bisnis ekstraktif. Itu yang ternyata, setelah dibuka, pemegang sahamnya ataupun komisarisnya, itu berasal dari purnawirawan TNI-Polri.
Nah, terus terbuka lagilah bahwa dari penempatan militer tersebut, kita melihat bahwa tidak pernah ada keputusan presiden (Keppres), ataupun peraturan presiden (Perpres). Dan kan kalau dari Undang-Undang TNI itu harus ada Keppresnya, Keppresnya juga harus disetujui oleh DPR. Dan ternyata itu semua enggak ada. Penempatan militer di Papua itu ilegal. Karena, tidak ada dasar hukum yang melandasi penempatan militer tersebut.
Ditambah, dengan status teroris terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang itu justru makin memperburuk dampak yang dialami oleh warga sipil di daerah konflik. Karena, mereka tidak bisa mengakses pendidikan, tidak bisa mengakses kesehatan; karena semuanya diokupasi sama militer. Terus, juga ada terjadi baku tembak setiap harinya dan lain-lain segala macam. Yang di mana itu yang dijadikan dasar bahwa karena ada aktivitas terorisme dari KKB itu yang melegitimasi si penempatan militer. Padahal, kalau misalkan memang itu adalah sebuah aktivitas terorisme, harusnya yang turun bukan TNI, tapi yang turun Densus 88.
Jadi, kejadian di Intan Jaya ini seperti mengulangi apa yang terjadi di Poso, yang terjadi di Aceh, dan lain sebagainya. Dari konflik-konflik besar yang terjadi di masa lalu, yang di mana di masa lalu juga Papua udah ada kayak gitu dan sampai sekarang enggak pernah selesai. Dan itu ilegal karena tidak ada dasar hukumnya. Nah, jadi kita mau memperlihatkan bahwa ternyata ada relasi kedekatan bisnis. Dan juga, conflict of interest (konflik kepentingan) dari purnawirawan ataupun yang masih menjadi pejabat publik dari operasi ataupun bisnis-bisnis ekstraktif yang ada di Papua gitu, khususnya di Intan Jaya.
Terlihatlah bahwa si bisnis ekstraktif ini juga pada akhirnya berdampak pada penggusuran yang menyebabkan pengungsi internal di beberapa kabupaten di Papua gitu. Jadi, enggak cuma di Intan Jaya doang sebenernya; tapi ada di Kiwirok, ada di Maibrat, ada di Nduga, dan lain-lain, yang di mana sampai 2023 itu jumlahnya sampai dengan 70 ribuan.
Dikarenakan ada okupasi militer tersebut, jadi mereka terpaksa mengungsi ke tempat lain karena tanahnya dipake lah buat penempatan-penempatan militer tersebut, gitu.
Dari penempatan militer yang berlebihan ini, siapa yang paling dirugikan?
Pengungsi internal serta pelanggaran HAM sudah pasti ya, karena pada akhirnya yang menjadi korban dari penempatan militer tersebut adalah warga sipil. Kalau katanya militer, itu ditempatkan di Papua untuk baku senjata dengan KKB. Ternyata, contohnya saja di Intan Jaya, disinyalir KKB-nya itu cuma ada 14 orang. Tapi, yang diturunkan ke Intan Jaya itu bisa 3 ribuan orang personel. Aneh kan?
Jadi, ternyata dari penempatan militer ini tidak ada efektivitas, tidak ada efisiensi, tidak ada titik terang bahwa penempatan militer ini menjadi efektif untuk membasmi atau memberantas orang-orang yang dianggap KKB. Padahal, dalam konteks standar hukum HAM internasional, ataupun hukum internasional, hukum humaniter; itu juga ada pernyataan. Ada aturan yang menyebutkan bahwa kalau misalkan disinyalir adanya kelompok separatis, itu mereka seharusnya dibawa ke pengadilan. Kalau enggak, jadinya apartheid gitu ya, kayak di Afrika Selatan, yang itu dapat menyebabkan dampak warga sipil menjadi korban dari perang tersebut. Apalagi perangnya ini kan antarwarga, maksudnya Indonesia gitu ya, kayak Timor-Timur lah. Yang di mana, itu justru akan lebih berbahaya. Karena bukan antarnegara, tapi ada di dalam satu negara.
Nah, sebetulnya secara hukum humaniter, checklist-nya tuh udah terpenuhi. Karena, akhirnya ada korban sipil yang berjatuhan terus-menerus, pengrusakan lingkungan, dan lain-lain yang itu merugikan. Dan kalau misalkan memang penempatan militer itu efektif, kenapa sampai sekarang warga Papua masih mengalami kemiskinan struktural? Papua kan tanahnya kaya ya. Maksudnya, penuh dengan sumber daya.
Tapi, justru di tanah yang penuh dengan sumber daya itulah yang pada akhirnya punya indikasi ataupun kerentanan terhadap terjadinya korupsi dan juga pelanggaran HAM. Karena, ada banyak kepentingan gitu, datang ke sana tapi bukan buat warga Papua. Karena, selama ini semua kebijakan yang ada di Papua itu berasalnya bukan dari Papua, tapi berasalnya dari kepentingan pusat dan asing.
Berarti dari semua permasalahan ini, yang paling dirugikan lagi-lagi warga sipilnya?
Ya, pasti. Udah pasti. Karena, mereka kan tidak bersenjata. Mereka tidak punya daya dan upaya. Jadi yang pada akhirnya, itu berdampak sama hak mereka.
Seberapa mendesaknya kajian ini, sehingga terbit dalam bentuk kajian cepat?
Itu tadi. Soal kegentingan operasi militer tersebut. Lalu, juga untuk membuka motif ekonomi-politik di balik “kaki kedua” purnawirawan yang ada di dalam bisnis-bisnis ekstraktif di Papua. Terus, juga memberikan edukasi terhadap publik terkait apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
Karena, selama ini apa yang terjadi di Papua itu kan tidak pernah terbuka secara terang ya. Semuanya “gelap” dan banyak banget terjadi disinformasi. Yang pada akhirnya efeknya itu, impact-nya adalah mereka mengalami rasisme dan kemiskinan. Penggelapan sejarah soal Papua itu sendiri gitu. Jadi, itu yang sebetulnya diharapkan dari isi riset ini juga untuk publik gitu. Untuk melihat dan juga harapannya tadinya dari riset ini ya udah dong, [seharusnya-red] ditindaklanjuti dong sama negara dari nama-nama yang ada di purnawirawan ini gitu. Untuk bisa diselidiki apakah mereka memang punya kepentingan di dalam bisnis ekstraktif ini yang ternyata berdampak pada pelanggaran HAM dan juga kerusakan hukuman di sana gitu.
Sebelum merilis kajian, apakah ada kalkulasi risiko yang dilakukan?
Ada, ada.
Seperti?
Ya udah itu. Siapin lawyer. Hahahaha.
Kalau di organisasi masyarakat sipil, biasanya dalam segala bentuk publikasi ataupun tindakan tertentu itu, pasti ada mitigasi resikonya. Jadi, kita memang sudah menebak walaupun sering kali tidak terjadi. Dan hari ini, terjadi.
Dalam persidangan, Anda sering bilang bahwa tidak ada maksud menyudutkan Luhut dan sebagainya, tetapi hanya mengkritik sistem. Sebetulnya, sistem seperti apa yang Anda ingin kritik, sehingga memunculkan kondisi seperti ini?
Ya karena sekarang antara penguasa dan pengusaha itu punya privilese yang sangat luas buat bisa menguasai sesuatu. Maksudnya, di Indonesia itu kita enggak punya aturan, misalkan soal pembatasan-pembatasan tertentu yang jadi tanggung jawabnya “aktor” non-negara kayak korporasi gitu ya. Di mana, kalau misalkan kalau di luar negeri itu, ada namanya due diligence on human rights buat korporat gitu ya. Supaya, mereka patuh terhadap nilai-nilai ataupun hukum HAM tertentu. Tapi kalau di sini, itu cuma sebatas CSR aja. Korporasi harus memberikan corporate social responsibility seberapa persen dari besarnya perusahaan dan profit yang mereka dapatkan. Jadi, harus dikembalikan ke masyarakat gitu kan.
Nah, di Indonesia itu enggak ada aturan soal due diligence on human rights itu tadi. Walaupun sebenarnya, itu sudah jadi norma yang berlaku secara internasional lewat UN Guiding Principles on Business and Human Rights (Asas-Asas Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia). Di mana, itu bisa jadi standar minimum yang seharusnya diterapkan. Tapi, yang dibentuk malahan Omnibus Law, UU Cipta Kerja, yang itu salah satunya berkaitan soal privilese-privilese yang malah makin melonggarkan si korporasi ini. Sehingga, mereka tidak punya tanggung jawab.
Padahal, di Indonesia ada tuh aturan soal politically exposed person (PEP) dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang menyatakan bahwa pejabat publik ataupun orang-orang terdekatnya, termasuk keluarga jauh aja gitu. Maksudnya, ya mau adik sepupu dari ibu ke berapa kayak itu enggak boleh berelasi dengan itu.
Apalagi, kalau di dalam kasus ini di PT Toba Sejahtera Group itu LBP [Luhut Binsar Panjaitan-red] memiliki 99,9 persen saham. Dimana, 0,1 persennya itu dimiliki oleh keponakannya atau anaknya, saya lupa. Pokoknya, relasi keluarganya.
Jadi, kalau udah 99,9 persen itu sudah masuk kepada kategori beneficial owner (BO). Yang di mana itu artinya, dia punya kekuasaan penuh terhadap perusahaan. Jadi, beneficial owner itu berarti dia sebagai pemegang manfaat. Bukan lagi penerima manfaat, tapi sebagai pemilik manfaat. Jadi, itu sebenarnya ada aturannya secara internasional maupun secara nasional.
Tapi kan, yang menjadi abu-abu adalah pengertian dari penegak hukum dan keberanian dari penegak hukum untuk bisa mengusut terkait itu. Karena lagi-lagi, ada kepentingan politik. Ada posisi politik yang cukup kuat. Terus juga, untuk membedah yang sekarang kita lakukan ini disidang itu kan sebenarnya membedah ini nih, dia beneficial owner nih, dia juga PEP nih, gitu. Tapi, tidak ada keberanian yang cukup dan juga pengetahuan yang cukup dari penegak hukum untuk memahami soal BO dan PEP ini, gitu.
Jadi, dikaburkan dengan si UU ITE itu, gitu. Padahal sebenarnya yang paling penting, justru bagi negara adalah nih gue punya temuan nih. Lo mau apain? Harusnya gitu kan. Lo usut dulu dong yang ini bener apa enggak. Ini yang diusut malah yang ini [tuduhan pencemaran nama baik-red] dulu. Nah, jadi bingung kan. Ini terang apa enggak nih, jadinya gitu. Tapi, yang diusut malah yang ini dulu, gitu.
Nah jadi, semestinya ketika ada suatu temuan, ataupun pengaduan dari masyarakat terhadap adanya dugaan korupsi, gratifikasi, dan conflict of interest, apapun itu yang berdampak pada masyarakat luas; itu yang harus diutamakan oleh penegak hukum, gitu. Tapi, ternyata enggak gitu. Biasa banget kok itu.
Apa yang dilakukan KontraS bersama organisasi Koalisi Masyarakat Sipil itu adalah sebuah kajian ilmiah. Namun, itu pun tetap terkena kriminalisasi. Setelah kasus ini, bagaimana memandang demokrasi kita hari ini?
Ya rezim aja udah rusak sih, intinya gitu. Tapi kan, mau rezim serusak apapun, bukan berarti bahwa masyarakat yang punya kemampuan ataupun keingintahuan; baik melalui riset, podcast, aksi jalan, sampai komentar doang di Twitter (X); itu jadi berhenti. Enggak juga kan, gitu. Yang kayak tadi saya bilang pas di forum bahwa demokrasi itu kalau runtuh ya enggak sekaligus. Tapi, dia akan secara perlahan-lahan. Dan itu pasti ada kontribusi masyarakat juga di sana, untuk pada akhirnya menjadikan itu runtuh, gitu.
Jadi, bukan berarti bahwa ketika rezimnya semakin rusak, justru kita malah semakin enggak akan ngapa-ngapain gitu. Justru, malah harusnya ada yang mengkaji soal itu. Ada yang mengkaji bagaimana titik mula awalnya keruntuhan demokrasi di Indonesia itu. Ya jangan sampai, akhirnya kita baca soal keruntuhan demokrasi justru malah dari scholar-scholar atau akademisi yang dari luar kan.
Rata-rata kan, sekarang yang mengkaji keruntuhan demokrasi di Indonesia itu, datangnya dari Australia, dari Amerika. Sedangkan, akademisi ataupun misalkan mahasiswa yang punya kapasitas akademik malah enggak pernah memberikan insight-nya gitu. Padahal, kalian punya privilese, bisa melakukan riset itu.
Jadi, justru semakin hancur situasinya. Akan menjadi semakin penting untuk masyarakat untuk bisa lebih banyak mengkaji soal itu, gitu. Jadi ya, kalau dikriminalisasi itu satu hal. Tapi, kayak apa ya, belum nyoba aja kita udah nyerahkan, enggak mungkin gitu kan. Jadi ya, masa, enggak mau menggunakan keleluasaan kita buat mengaplikasikan ilmu kita untuk masyarakat luas sih cuman gara-gara takut dikriminalisasi doang?
Justru, kalau misalkan kayak begitu, apa yang menjadi tujuan dari pembungkaman hari ini ke orang-orang yang cukup vokal gitu. Itu, di kalian aminkan. Dengan pada akhirnya, memperlihatkan bahwa memang ada kemerosotan suara dari publik untuk bisa berbicara hal yang sama. Karena pada akhirnya, semuanya takut, gitu. Karena kan, pesannya sebenarnya itu. Yaudah yang kita matiin suaranya, satu dua orang. Tapi kan, chilling effect-nya ke masyarakat luas.
Reporter: M. Fahrul Muharman dan Muhammad Fariz Ardan
Penulis: M. Fahrul Muharman
Penyunting: Cahya Saputra
Illustrator: M. Fahrul Muharman