Kini, ilmuwan telah mampu mengembangkan organisme yang terbentuk dari dua spesies berbeda. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi kekurangan organ untuk kebutuhan transplantasi. Bagaimana penjelasannya lebih lanjut? Simak pula tanggapan ilmuwan peraih Nobel bidang kedokteran.
Di umur yang ke 35, Radhar Panca didiagnosa menderita gagal ginjal. Menurut The Jakarta Post terbitan 16 November 2016, hingga sekarang ia masih berada di daftar tunggu untuk mendapat donor. Untuk merawat ginjalnya, setiap tiga minggu sekali ia harus menjalani terapi dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang menghabiskan biaya hampir satu juta rupiah. Perawatan itu digunakan untuk menyaring limbah dari darah yang menggantikan fungsi ginjal yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Radhar Panca bukanlah satu-satunya pasien yang berada di daftar tunggu. Menurut Tunggul D. Situmorang, seorang dokter spesialis penyakit ginjal di Rumah Sakit Siloam Jakarta menyatakan bahwa di Indonesia terdapat sekurangnya 120 ribu pasien gagal ginjal. Sayangnya, kebutuhan organ untuk transplantasi tidak dapat dipenuhi. Bahkan, Tunggul menjelaskan bahwa sejak 1977 hingga 2015, hanya ada 774 operasi transplantasi ginjal yang dilakukan. Jumlah tersebut hanya setengah dari jumlah operasi yang ada di Singapura.
Rupanya, keadaan ini juga terjadi di negara adidaya seperti Amerika Serikat. Menurut laporan American Transplant Foundation, dengan jumlah daftar tunggu yang sama dengan Indonesia, Amerika sudah melakukan lebih dari 650 ribu transplantasi organ (bukan hanya ginjal). Namun, setiap harinya ada 22 orang yang meninggal akibat tidak adanya organ untuk melakukan transplantasi. Hal tersebut ditambah dengan fakta bahwa tiap sepuluh menit, ada nama baru yang ditambahkan dalam daftar tunggu penerima organ.
Dengan menyadari bahwa kebutuhan akan organ untuk transplantasi sangat tinggi, tim ilmuwan yang dipimpin oleh Juan Carlos Izpisua Belmont dari Salk Institute baru saja mengembangkan organisme yang mengandung dua sel dari dua makhluk dari spesies yang berbeda. Lembaga independen yang berfokus pada penelitian biologi di La Jolla, San Diego, California, Amerika Serikat tersebut menyebutnya chimera. Kata chimera sendiri diambil dari mitologi Yunani yang berarti makhluk yang terdiri dari berbagai bagian hewan. Dalam wawancara dengan BBC (26/1), Jun Wu, salah satu ilmuwan di Salk Institute menjelaskan bahwa biasanya kata chimera dikaitkan dengan makhluk berbahaya. Di sisi lain, Wu menjelaskan bahwa dalam mitologi Yunani malaikat juga berbentuk chimera, yakni manusia yang bersayap. Artinya, terang Wu, “ia bisa menjadi citra positif dan harapannya bisa membantu kekurangan organ yang ada di seluruh dunia, bukan malah menjadi monster yang berbahaya bagi manusia.”
Para ilmuwan dari California tersebut mengembangkan chimera manusia dan babi. Ini adalah pertama kalinya ilmuwan bisa memasukkan sel manusia ke dalam hewan dan sel tersebut bisa bertahan hidup bahkan berkembang. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Cell pada 27 Januari 2017 lalu.
Dalam mengembangkan chimera, ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama dengan memasukkan organ, misal hewan a ke hewan b.Hal ini tidak mudah dilakukan karena mempunyai risiko penolakan yang besar. Cara kedua ialah dengan memulai pada level embrio. Sel hewan a dimasukkan pada embrio hewan b untuk kemudian dibiarkan berkembang bersama.
Para peneliti di Salk Institute menggunakan cara kedua. Namun, pertama mereka mengujicobakannya dengan tikus dan mencit. Dengan menggunakan CRISPR, alat edit genome, mereka memodifikasi gen mencit untuk membuat mencit yang tidak memiliki hati, pankreas, dan mata. Setelah itu, mereka masukkan batang sel tikus untuk mengisi kekosongan dalam gen mencit tersebut. Percobaan tersebut berhasil. Dalam tubuh mencit tersebut mampu tumbuh hati tikus, pankreas tikus, dan mata tikus.
Percobaan tersebut berhubungan dengan percobaan yang dipimpin oleh Hiromitsu Nakauchi dan dipublikasikan di jurnal Nature pada 25 Januari 2017. Dalam percobaan tersebut, Nakauchi dan tim berhasil menumbuhkan pankreas mencit dalam tikus. Tim ilmuwan Jepang tersebut memodifikasi gen tikus sehingga ia tidak mempunyai pankreas. Kemudian, sel batang mencit diinjeksi ke dalam embrio tikus yang sudah dimodifikasi. Sang tikus tumbuh normal dengan pankreas yang selnya berasal dari mencit.
Tim ilmuwan di Salk Institute kemudian mencoba mengaplikasikan metode tersebut untuk membuat chimera tikus dan babi. Dengan metode yang sama, ternyata percobaan tersebut gagal. Hal ini ditengarai karena perbedaan leluhur dan masa kehamilan yang signifikan. Setelah itu, para ilmuwan tersebut mengujicobakan chimera manusia dan babi. Dulunya, sekitar 96 juta tahun lalu, manusia dan babi mempunyai leluhur yang sama. Dalam membuat chimera manusia-babi, tim ilmuwan ini menggunakan metode yang berbeda. Mereka tidak menggunakan CRISPR seperti eksperimen sebelumnya. Akan tetapi, mereka langsung memasukkan tiga hingga sepuluh batang sel manusia ke dalam 1.506 embrio babi tanpa modifikasi gen.
Setelah menumbuhkannya di cawan Petri, mereka memasukkan embrio tersebut ke 41 induk semang. Sesuai kode etik yang berlaku, chimera tersebut tidak dibiarkan berkembang sepenuhnya. Setelah 21 hingga 28 hari, para ilmuwan tersebut mengumpulkan 186 embrio yang bertahan hidup. Jumlah tersebut memang tidak terlalu signifikan. Hal ini diakui oleh Jun Wu yang menjelaskan bahwa, “Keseluruhan kontribusi manusia sangat rendah, kami perkirakan hanya kurang dari satu sel manusia per 100 ribu sel babi,” jelas Wu seperti dilansir STATNews (26/1).
Hasil eksperimen terakhir memang masih jauh dari tujuan akhir. Juan Carlos Izpisua Belmont menjelaskan kepada kantor berita WIRED (27/1) bahwa “tujuan akhirnya adalah untuk menumbuhkan organ yang berfungsi dan bisa ditransplantasi, sayangnya kami masih jauh dari itu,”. Meski begitu, ia menambahkan bahwa ini adalah langkah awal yang penting.
Menanggapi hal ini Tim BPPM Balairung coba menemui seorang penerima hadiah Nobel yang pada Kamis, 10 Februari 2017 kemarin datang ke Universitas Gadjah Mada (UGM). Ialah Dr. Sir Richard J. Roberts yang merupakan ahli biokimia dan penerima hadiah Nobel bidang pengobatan pada tahun 1993. Ia dianugerahi hadiah tersebut karena temuannya tentang perpecahan gen dan pemisahan mRNA.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan UGM, tim BPPM Balairung mencoba menanyakan tanggapannya mengenai chimera manusia-babi, Roberts menyatakan bahwa hal tersebut adalah sebuah langkah untuk kemajuan dunia kedokteran. Roberts sendiri mengakui bahwa chimera manusia-babi ini akan membantu orang-orang yang membutuhkan organ untuk transplantasi. “Masalah tentang transplantasi organ adalah kurangnya organ untuk ditransplantasi. Dalam jangka pendek, mungkin babi bisa membantu,” terang Roberts.
Dalam eksperimen seperti chimera ini banyak orang yang mengkhawatirkan permasalahan etika. Saat ditanya mengenai hal tersebut Roberts mengaku tidak merasa ada masalah. “Asalkan itu untuk kesehatan manusia,” ujarnya memperingatkan. Meski begitu, banyak yang mengkhawatirkan bahwa eksperimen chimera ini akan mengaburkan batasan antara manusia dan hewan. Salah satu orang yang meresahkan penelitian chimera ialah Paul Knoepfler, seorang dosen dan ilmuwan biologi di University of California, Davis.
Dalam artikel yang dimuat di WIRED pada 19 September 2016 berjudul “Human Chimera Research’s Huge (and Thorny) Potential” ia menyatakan bahwa ada kondisi di mana problem etika pengembangan chimera menjadi begitu kompleks. Ia mengajukan sebuah eksperimen pikiran. Misalnya, bagaimana jika ternyata chimera yang dihasilkan memiliki 50 persen sel manusia di otaknya? Bagaimana pula jika chimera itu mengandung sel manusia dalam telur spermanya atau ovumnya? Akankah chimera itu jatuh pada zona abu-abu antara hewan dan manusia? Masihkah etis untuk mengambil organ dari chimera yang semacam itu?
Tim BPPM Balairung coba menanyakan hal yang sama pada Roberts. Namun, dengan lebih menekankan pada kemungkinan jika chimera tersebut memiliki kesadaran seperti manusia. Setelah mendengarkan dengan seksama, Roberts menjawab, “Saya pikir anda terlalu banyak membaca karya fiksi ilmiah.” Setelahnya, ruangan dipenuhi gelak tawa.
Selain masalah etis, hal lain yang problematis adalah bahwa Salk Institute adalah lembaga yang sepenuhnya ditopang swasta. Hal ini disebabkan keputusan Pemerintah Amerika Serikat untuk menolak membiayai penelitian yang berhubungan dengan chimera pada tahun 2015. Saat ditanya mengenai kemungkinan penelitian chimera berakhir pada dominasi swasta dan hanya membantu kalangan atas, Roberts menyatakan tak sepakat. Menurutnya, meski dibiayai swasta, Salk Institute adalah lembaga nirlaba. “Saya yakin tujuan mereka terhormat.” tegas Roberts.
Meski Dr. Robets tidak bermasalah dengan etis tidaknya chimera, ia berpikir bahwa lebih baik jika manusia mengembangkan sendiri organnya secara langsung dan tidak melalui hewan. “Jika berbicara jangka panjang, saya lebih ingin melihat kita menangani langsung organ manusia, mengembangkannya di tabung reaksi dan mengembalikannya ke dalam manusia,” ujarnya.
Menurut Roberts, saat ini banyak riset yang berlangsung mengenai hal tersebut. Ia sendiri optimis penumbuhan organ manusia secara otomatis akan segera tercipta. “Lima sampai sepuluh tahun kita bisa optimis. Namun, seringkali, jika anda katakan 50 tahun, sains bisa menunjukkan bahwa hal itu bisa dilakukan dengan lebih cepat.” pungkasnya. [Unies Ananda Raja]