Cairan dalam botol bening dengan tutup botol berwana biru itu berwarna coklat keemasan. Sekilas, cairan itu tampak seperti minyak goreng, akan tetapi botol tersebut dilabeli dengan kata ‘Biodiesel Murni’. Cairan tersebut adalah biodiesel yang digunakan sebagai bahan bakar kendaraan yang menggunakan diesel, seperti bis dan truk. Biodiesel tersebut dibuat dari minyak jelantah. Selain menjadi biodiesel, minyak jelantah dapat diubah menjadi biogasolin.
Adalah Khoir Eko Pamudi, Departemen Kimia’10, Abdul Afif Almuflih, Departemen Kimia’11, dan Endri Geovani, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian’12, yang meneliti proses pembuatan biogasolin dari minyak jelantah. “Minyak jelantah digunakan karena minyak tersebut termasuk limbah primer, yaitu limbah yang belum termanfaatkan”, ujar Abdul. Melalui penelitian tersebut, mereka meraih medali perunggu dari Malaysian Technology Expo 2016 dan penghargaan khusus dari Toronto International Society of Innovation and Advanced Skills.
Mereka memanfaatkan reaksi hydrocracking dalam proses pembuatan biogasolin. Pada awalnya, mereka mencampurkan logam kadmium dengan tanah liat yang mengandung bentonit dengan perbandingan 1:10 sebagai katalis. Setelah katalis siap, katalis tersebut diletakkan di dalam pipa. Uap yang terbentuk dari pemanasan minyak jelantah tersebut akan bertabrakan dengan logam kadmium dalam katalis, mengeluarkan cairan. Cairan yang dihasilkan tersebut mengandung sekitar 42% biogasolin dan 29% biodiesel.
Selain ketiga mahasiswa tersebut, Pusat Studi Energi (PSE) UGM mengembangkan penelitian untuk mengubah minyak jelantah menjadi biodiesel sejak tahun 2011. Pada proyek kerja sama antara PSE dengan Asosiasi Pedagang Kaki Lima ini, PSE menggunakan reaksi transesterifikasi.
Awalnya, minyak jelantah yang telah dikumpulkan disaring terlebih dahulu untuk membersihkan minyak jelantah dari lemak. Minyak jelantah dipanaskan pada suhu 70˚ C, lalu dicampurkan dengan metanol dan NaOH atau KOH sebagai katalis. Setelah satu jam, campuran larutan tersebut akan menghasilkan biodiesel sebanyak 75–80% dan sisanya adalah gliserol. Nantinya, biodiesel yang dihasilkan akan dibersihkan dari metanol, katalis, dan kontaminan lainnya.
Biodiesel dari minyak jelantah memiliki keunggulan yang sama dengan biodiesel pada umumnya, seperti pengurangan emisi gas buangan. Menurut Environmental Protection Agency, emisi gas karbon monoksida dari biodiesel 50% lebih rendah dibanding emisi dari solar. Sehingga, efek rumah kaca juga turut berkurang. Selain itu, biodiesel dari minyak jelantah dapat mengurangi limbah dari minyak jelantah itu sendiri.
Sama seperti biodiesel, keunggulan dari biogasolin menurut Abdul adalah ramah lingkungan. Selain ramah lingkungan, biogasolin hasil dari jelantah juga memiliki nilai efisiensi yang tinggi. “Nilai oktan biogasolin berdasarkan hasil tes analisis kimia berada diantara Premium dan Pertamax,” tambahnya. Walaupun begitu, dia mengatakan lagi jika biogasolin yang dihasilkan masih belum memenuhi standar yang digunakan Indonesia, yaitu sesuai Premium.
Dari sisi produksi, menurut Prof. Arief Budiman, D.Eng, peneliti dari PSE, biaya yang dibutuhkan untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah sekitar Rp6.000,00. “Biaya untuk membeli minyak jelantah sekitar Rp2.500,00 per liter, biaya produksi sebesar Rp2.000,00, dan biaya membeli bahan kimia sebesar Rp1.500,00,” jelasnya. Biaya tersebut dapat lebih murah karena harga jelantah dapat kurang dari 2.500 rupiah, sehingga biaya produksinya berada dikisaran Rp5.000,00-Rp6.000,00. Nantinya, biosolar tersebut dapat dijual ke masyarakat dengan harga Rp6.500,00 per liter. Harga jual tersebut lebih murah bila dibandingkan dengan harga solar/biosolar dari 15 Mei 2016, yaitu Rp6.650,00 per liter.
Berlainan dengan Arief, Abdul mengatakan jika biaya produksi biogasolin dari minyak jelantah belum diketahui secara pasti. “Produksi biogasolin tersebut masih dalam tahap penelitian, sehingga belum sampai tahap menghitung biaya,” ujarnya. Oleh karena itu, tim penelitian Abdul mendapatkan minyak jelantah secara gratis dan peralatan-peralatan yang digunakan masih pinjaman.
Selain menjadi bahan bakar untuk kendaraan, biodiesel dari minyak jelantah dapat menjadi bahan bakar untuk generator listrik. “Saat ini, kami (PSE) bekerja sama dengan Pertamina di Jambi dalam produksi biodiesel untuk bahan bakar generator listrik,” jelas Arief. Generator tersebut akan digunakan untuk membangkitkan listrik di sekolah yang berada di lokasi terpencil. Selain itu, hasil samping dari reaksi pembuatan biodiesel, yaitu gliserol, diteliti kembali oleh Ritmaleni untuk pembuatan obat batuk. Akan tetapi, penelitian yang dimuat pada jurnal Cakra Kimia volume 2 nomor 1 tersebut belum memberikan hasil yang diinginkan.
Selain bekerja sama dengan Pertamina, Arief juga mengatakan jika PSE sedang menjalin bekerja sama pula dengan pemerintah Kabupaten Bangka Tengah. “Sekarang, PSE sedang bernegosiasi dengan pemerintah kabupaten Bangka Tengah untuk menyediakan biodiesel dari minyak jelantah sebagai bahan bakar bis angkutan Pegawai Negeri Sipil,” terangnya. Serupa dengan biodiesel, penelitian tentang produksi biogasolin dari minyak jelantah juga diminati oleh pengusaha. “Sejak lomba, ada pengusaha asal Malaysia yang mendekati kami untuk digandeng perusahaan beliau,” jelas Abdul. Dia juga ditawari untuk membangun industri rumahan untuk produksi biogasolin di Pati.
Namun, Arief mengatakan jika ingin dibangun industri skala besar untuk produksi biodiesel, maka ketersediaan minyak jelantah harus diperhatikan. “Ketersediaan itu penting, karena jika sudah membangun pabrik dengan kapasitas seribu ton per hari tetapi tidak tercapai, kan sayang,” ujarnya. Karena itulah, produksi skala besar akan diragukan jika masalah ketersediaan minyak jelantah masih belum terpenuhi.
Menurut Abdul, teknologi produksi biodiesel dan biogasolin dari minyak jelantah ini masih dapat dikembangkan lagi. “Karena kami masih berada di tahap penelitian, maka kami menggunakan katalis campuran bentonit dan logam kadmium. Tetapi, jika katalisnya semakin baik dan selektif, maka kadar hasil yang didapat akan lebih banyak lagi,” ujarnya. Abdul berharap jika penelitian ini segera diterapkan kepada masyarakat.[Indrabayu Selo]