Biaya pendidikan terus meroket tiap tahunnya tak pernah gagal menjagal cita-cita banyak orang. Mimpi demi mimpi perlahan mati digerogoti nominal yang kian melambung tinggi. Pemerintah bak horor yang menggerayangi lelapnya tidur, melalui kebijakan yang mengalamatkan bahwa pendidikan hanya bisa diakses mereka dengan nasib mujur.
“Pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier,” begitulah klaim yang diutarakan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Bangku perkuliahan, berdasarkan ihwal ini, tidak lagi dipandang esensial untuk masa depan. Pendidikan tinggi diperlakukan sebagai pilihan opsional karena wajib belajar hanya terhitung dua belas tahunan. Sementara itu, lowongan kerja mensyaratkan ijazah sarjana dalam genggam tangan. Pendidikan yang diperlakukan sebagai komoditas ini tak elak mengantarkan kita menuju Indonesia Cemas, alih-alih Emas.
Kecemasan ini salah satunya dialami oleh Haikal, calon mahasiswa baru yang mendaftar Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui jalur ujian mandiri. Ia mengaku risau terhadap penetapan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) bersamaan dengan diumumkannya kebijakan terbaru. UGM merupakan harapan terakhirnya sebagai universitas tanpa uang pangkal, uang pembangunan gedung, dan segala tetek bengeknya. “Kalau misalnya saya beritahu sekarang ke orang tua perihal IPI, kemungkinan enggak jadi ke Jogja, enggak jadi ikut tesnya [ujian mandiri-red],” tutur Haikal. Pada akhirnya, perumusan regulasi ini memudarkan asanya untuk mengejar ijazah.
Jauh sebelum biaya pendidikan semakin digentayangi oleh IPI, polemik ini telah ditanggung oleh Timothy, mahasiswa Universitas Diponegoro angkatan 2020. Pada awal perkuliahan, Timothy dijatuhi UKT golongan tertinggi sebesar Rp9.500.000,00. Nominal yang cukup mengejutkan itu sudah ia sanggah melalui permohonan banding. Sayangnya, pengajuannya ditolak. Alhasil, selama dua tahun lebih, Timothy dan keluarganya mengusahakan uang tersebut sembari tertatih-tatih.
Di penghujung semester lima, kondisi keuangan keluarganya memburuk saat ayahnya meninggal. Kini ibunya seorang diri menjadi tulang punggung keluarga, sementara adik dan kakaknya juga memerlukan banyak biaya. Ia tidak lagi sanggup membayar UKT dan dengan berat hati memutuskan cuti kuliah untuk mulai bekerja. “Enggak ada dana, ya udah harus, wajib gitu jalannya [cuti kuliah dan bekerja-red], biar bisa lanjut kuliah lagi,” ungkap Timothy dengan getir.
Pada akhirnya, Timothy bertolak menuju Kalimantan Selatan untuk mencoba peruntungan. Ia bekerja di bagian administrasi suatu perusahaan logistik. Tugas Timothy meliputi penginputan data, pencatatan pesanan toko, hingga pengaturan pengiriman. Di sana, ia digaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), yaitu Rp3.500.000,00 setiap bulannya. “Sebagian besar ditabung untuk bayar UKT,” terangnya. Melalui kesempatan ini, Timothy dapat menyisihkan pendapatan untuk menebus biaya kuliah semester berikutnya.
Selepas setahun bekerja, Timothy memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda. Ia terlebih dahulu mengajukan banding UKT kedua yang akhirnya mendapat persetujuan. Akan tetapi, jumlah tersebut tidak bisa turun secara drastis dan masih begitu memberatkan, dari semula Rp9.000.000,00 hanya menjadi Rp7.000.000,00. “Belum sesuai [nominal UKT baru-red]. Kemarin waktu ngajuin jauh lebih rendah sebetulnya, cuma yang disetujui segitu,” ujar Timothy. Dengan perasaan kecewa, ia memaklumi jumlah tersebut daripada harus semakin lama menunda kelulusannya.
Di lain sisi, dilema mahalnya biaya pendidikan juga tak terelakkan bagi Aisyah, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES). Aisyah, kala itu, baru saja menerima ijazah SMA yang ia tunggu-tunggu. Setelah melewati masa gap year setahun sebab ijazahnya tak kunjung diberikan imbas dari peraturan sekolah, ia akhirnya bisa memenuhi persyaratan pendaftaran perguruan tinggi yang ia dambakan. “Yang lain [teman-teman Aisyah-red] kuliah, otomatis jiwa pengin kuliah juga ada,” kenang Aisyah.
Pada masa pendaftaran mahasiswa baru tahun 2022, Aisyah memberanikan diri untuk mengikuti seleksi mandiri yang diadakan UNNES. Usahanya berbuah manis. “Aku jurusan BK [Bimbingan dan Konseling-red],” kenang Aisyah.
Merasakan bangku kuliah yang telah lama dinanti terdengar menyenangkan bagi Aisyah. Namun, mengawali jenjang perguruan tinggi ternyata tak semudah itu untuknya. “Dari segi ekonomi, emang dari kondisi orang tua waktu itu lagi enggak bener,” sebut Aisyah. Pekerjaan ibunya masih saja tak tetap, sementara ia tak bisa berharap banyak pada bantuan dana dari ayahnya.
Belum selesai memusingkan kondisi finansial keluarga, Aisyah makin dibuat kelimpungan ketika UKT-nya ditetapkan. “Entah kenapa aku dapet UKT Golongan 6, padahal udah masukin semuanya sesuai kehidupan nyata,” keluhnya. Untuk Aisyah, nominal Rp5.900.000,00 terbilang sangat besar. Belum lagi uang pangkal sebesar Rp20.000.000,00 yang mesti ia bayar kontan.
Kebingungan mencari dana, Aisyah tak sempat mengajukan banding. Proses pengajuan penurunan UKT selalu dibarengi dengan syarat administrasi yang menurutnya rumit. Belum lagi pekerjaan ibunya yang saat itu adalah pekerja migran di Malaysia menyulitkannya untuk mendapatkan dokumen yang menjadi persyaratan banding. “Orang tua aku sendiri, kerja masih ganti-ganti. Itu enggak ada slip gajinya,” paparnya.
Solusi atas problem Aisyah makin menipis saat ia tak memenuhi persyaratan pengajuan beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Namun, tak diduga, secercah celah justru muncul ketika ia asyik menggulir layar ponsel. “Scroll di Instagram UNNES, ada [unggahan-red] tentang namanya Danacita,” ujarnya.
Konten Instagram yang Aisyah jumpai tersebut menjadi perkenalannya dengan Danacita yang telah bermitra dengan berbagai institusi pendidikan, termasuk UNNES. Mendaku diri sebagai “solusi pembiayaan” dana pendidikan, Danacita pada dasarnya merupakan perusahaan pinjaman online (pinjol). “Mereka [Danacita-red] membayarkan di awal, nanti kita yang menyicil,” jelas Aisyah.
Sesuai ketentuan kerja sama antara Danacita dan UNNES, mahasiswa baru seperti Aisyah dapat memilih pengajuan cicilan UKT selama 6, 12, ataupun 24 bulan. Uang pangkal yang dibebankan pada mahasiswa jalur mandiri juga dapat dicicil dalam rentang waktu yang sama. Pengembalian biaya utama yang diajukan harus dibayar bersamaan dengan biaya platform bulanan pada kisaran 1.3–1.7% dan biaya pengajuan sebesar 3%.
Melihatnya sebagai opsi, Aisyah memutuskan untuk mengajukan pinjaman ke Danacita dengan cicilan 12 bulan. Selepas mengunggah dokumen yang diperlukan di laman web Danacita, pun swafoto dirinya dan ibunya memegang KTP masing-masing, ia sedikit bernapas lega. Tagihan biaya kuliahnya yang membludak berhasil terangkat sementara.
Seperti halnya sang anak, pada mulanya Endah merasa Danacita dapat menjadi harapan bagi pendidikan Aisyah. “Awalnya tertarik karena dianggap sebagai solusi untuk membayar biaya kuliah ke universitas, yang bisa dicicil per bulannya,” jelas Endah. Sebagai seorang ibu tunggal dengan penghasilan setara UMR Yogyakarta, mahalnya biaya pendidikan tinggi memang menaruh kegelisahan baginya. Oleh karenanya, Endah memandang Danacita sebagai opsi terbaik yang dapat ia dan anaknya pilih. Namun, harapan ini justru berubah menjadi beban berat yang menghantui keluarganya.
Sedikit demi sedikit, cicilan Danacita semakin membebani keluarga Aisyah, terutama Endah dan kakaknya sebagai penanggung keuangan keluarga. “Ada banyak yang harus dikeluarin, misalnya buat adik, buat Danacita, buat diri sendiri, buat hidup,” ujar Aisyah. Sebab itu, seiring mendekatnya ujian akhir, Aisyah terpaksa mengambil keputusan. Ia akan membantu menafkahi keluarganya dan tak akan melanjutkan semester kedua kuliahnya.
Selama masa cuti kuliah, Aisyah bekerja sebagai pramuniaga sebuah kios jenama busana. Gajinya ia gunakan untuk menutupi cicilan Danacita dan sebagian kebutuhan keluarga. Namun, upahnya tersebut tak lagi menutup utang uang pangkal Aisyah pada Danacita. Setelah sempat menunggak beberapa waktu, utangnya harus ditambah denda Rp100.000,00 per bulan saat telat membayar. Untuk menambal kekurangan biaya, ia bahkan sering lembur, pernah sekali ia lembur selama dua minggu demi sejuta rupiah upah tambahan. “Aku kerja dari jam 9 pagi, sampai 10 malam,” jelasnya.
Kini, Aisyah resmi menjadi tulang punggung keluarga bersama kakak dan ibunya. Penghasilan ketiganya dibagi untuk semua kebutuhan bersama, termasuk mengongkosi adiknya yang telah memasuki tingkat ketiga di sekolahnya. Kendati demikian, Aisyah merasa bahwa penghasilan mereka masih jauh dari cukup. Ada keperluan yang tetap harus dikesampingkan, termasuk tunggakan Danacita. “Ini lagi fokus buat adikku aja dulu sekarang. Danacita pasti suatu saat bakal dibayar, tapi untuk sekarang, belum,” papar Aisyah.
Aisyah sebetulnya selalu ingin berkuliah dan menikmati waktu luangnya, persis seperti teman seusianya. Di lain sisi, berkat Danacita, ia tak punya pilihan untuk tidak menukar masa mudanya dengan bekerja. Walau tetap kepayahan mencari uang, Aisyah bersikeras tidak ingin adik satu-satunya ikut putus sekolah demi menyelamatkan keuangan keluarganya. “Aku selalu bilang [kepada adikku-red], ‘Entar untuk uangnya, ada. Tenang aja, pasti ada’,” tegas Aisyah.
“Sebenarnya sedih karena kalau keuangan ada, mungkin dia [Aisyah-red] bisa lanjut kuliah.” keluh Endah dengan nada pilu. Meskipun berat, Endah memahami situasi tersebut dan mencoba realistis dalam menghadapi kenyataan. Ia menyatakan bahwa tidak ada pilihan lain selain Aisyah cuti karena mereka tidak mampu membayar UKT
Endah semakin kebingungan dan prihatin melihat mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi saat ini. “Dulu anak sulung saya juga kuliah di [universitas-red] negeri, tapi biayanya tidak sebesar sekarang. Kenapa ya, negeri kok bisa besar sekali seperti itu?” ujarnya heran. Menurutnya, biaya kuliah yang tinggi menjadi penghalang besar bagi keluarga yang kurang mampu, merampas impian mereka untuk merasakan kesempatan pendidikan tinggi.
Kegelisahan Endah turut dialami orang tua lain, Budi (bukan nama sebenarnya) menjadi salah satu orang tua yang harus menyekolahkan dua anaknya ke bangku perguruan tinggi. Salah satu anaknya kuliah di universitas swasta dan ia anggap adalah kemujuran saat anaknya yang lain diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Namun, tak disangka-sangka UKT yang didapatkan sebesar Rp19.000.000,00.
Budi awalnya percaya diri karena berharap ada sistem angsuran dalam pembayaran biaya pendidikan seperti di perguruan tinggi swasta. “Enggak bisa nyicil, saya malah disuruh minjem ke bank,” tuturnya kesal. Harapan Budi untuk mendapatkan keringanan melalui angsuran sirna, menambah beban pikiran di tengah usahanya untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.
Layaknya Budi yang tetap mengusahakan biaya pendidikan anak-anaknya, sampai saat ini Endah dan Aisyah pun masih harus bergelut dengan beban berat cicilan Danacita. Mimpi Aisyah menjadi seorang sarjana belum sirna, ia bekerja, mengumpulkan rupiah untuk mendaftar di Universitas Terbuka di kemudian hari. “Buat masuk kerja seenggaknya tetap minta S1 kan, aku butuh ijazah dan bisa dapet ilmu [di Universitas Terbuka-red] lah,” tutup Aisyah sembari memantapkan hati untuk tidak lanjut berkuliah di UNNES.
Penulis: Defindra Hafara, Indira Zahra Mustika, dan Laura Anisa Lindra Fairuzzi
Penyunting: Ester Veny
Ilustrator: Selpha Nur Adinda
Artikel ini telah terbit dalam Majalah BALAIRUNG Edisi 60/TH. XXXIX/2024