Penanganan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia masih belum maksimal. Hal ini terlihat dalam laporan investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) di Sumba pada 2021. Dalam investigasi tersebut, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) banyak ditemukan, antara lain hilangnya hak atas rasa aman, jaminan pekerjaan yang layak, akses terhadap pendidikan, dan hak-hak anak. Pelanggaran HAM tersebut merupakan buntut dari tidak adanya sistem maupun praktik penanganan yang signifikan oleh pemerintah.
Untuk menggali informasi lebih jauh atas fenomena ini, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Nadine Sherani, advokat KontraS. Dalam wawancara ini, Nadine memberikan sudut pandangnya mengenai faktor yang membuat seseorang menjadi korban kejahatan TPPO di Indonesia.
Bagaimana realitas penanganan kasus TPPO di Indonesia?
Kasus TPPO di Indonesia sangat berkaitan dengan pekerja migran yang mendapat kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami adalah ancaman kekerasan seksual, kekerasan fisik, penculikan, penyekapan, pemalsuan identitas, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks yang lebih spesifik, para pekerja migran yang menjadi asisten rumah tangga bahkan mengalami pelecehan dan penyiksaan oleh majikan mereka yang menyalahgunakan kekuasaan. Hal tersebut terungkap saat investigasi kasus TPPO di Sumba, yang korbannya banyak dikirimkan ke Timur Tengah dan Asia Pasifik untuk bekerja. Di sana, mereka juga kurang mendapatkan jaminan perlindungan kerja.
Untuk menyikapi fenomena ini, Indonesia sebenarnya telah menandatangani serta meratifikasi beberapa perjanjian dan protokol Internasional, seperti International Agreement for the suppression of the White Slave Traffic, International Convention for the Suppression of the Traffic in Women and Children, serta Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women. Indonesia juga telah berkomitmen membuat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime.
Namun, praktik pencegahannya masih belum sesuai harapan. Ketika KontraS melakukan investigasi kasus TPPO di Sumba pada tahun 2021, jumlah kasus yang ditemukan ternyata masih membludak dan stagnan penanganannya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memang menaruh perhatian terhadap kasus TPPO, tetapi sistem yang dipakai sebagai pencegahan tidak signifikan.
Menurut Anda, apa yang menjadi penyebab kasus perdagangan orang masih banyak?
Pelaku menggunakan keterpurukan ekonomi yang dialami korban menjadi senjata utama pelaku. Para pekerja migran memerlukan pendapatan lebih untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang kurang terpenuhi di negara asal mereka. Selain itu, keberadaan sistem loan shark atau rentenir yang menjebak masyarakat pun memberi dampak. Ketika tidak mampu membayar hutang, maka mereka akan diperjualbelikan.
Kondisi stateless person atau orang tanpa status kewarganegaraan yang dialami korban juga merupakan salah satu penyebab yang berhasil diidentifikasi. Keinginan untuk memiliki kewarganegaraan dijadikan celah oleh pelaku untuk melakukan kejahatan pemalsuan data. Korban yang tidak memiliki status kewarganegaraan tersebut dipekerjakan sebagai pekerja seks, sementara untuk laki-laki dipekerjakan sebagai kuli. Hal ini juga terjadi pada anak-anak yang identitas mereka secara administratif kurang difasilitasi, seperti kartu keluarga dan akta kelahiran. Mereka yang tidak diberikan kejelasan status kewarganegaraan rentan menjadi korban perdagangan orang.
Bagaimana stigmatisasi terhadap korban menghalangi upaya penanganan kejahatan ini?
Dari tahun 2015-2019, banyak korban perdagangan orang adalah perempuan di bawah umur dan usia produktif. Hal ini memunculkan stigmatisasi berbasis gender. Selain itu, budaya patriarki memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan negara-negara penerima pekerja perempuan, seperti Malaysia dan Timur Tengah. Hal tersebut menjadi alasan yang melatarbelakangi banyaknya perempuan yang menjadi korban perdagangan orang.
Di sisi lain, ketidakmerataan akses pendidikan juga kerap memunculkan stigma. Pelaku cenderung berpikir bahwa korban perdagangan orang tidak berpendidikan. Korban tidak mengerti bahwa mereka akan diperjualbelikan karena kurangnya pengetahuan. Selama masih ada stigmatisasi bahwa korban tidak berpendidikan, maka perdagangan orang akan terus berlanjut.
Selama Anda menginvestigasi kasus-kasus perdagangan orang, apa yang menjadi penghalang dalam melakukan pemberantasan kasus ini?
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak memiliki akses intervensi selain menggunakan jalur advokasi. Pendampingan hukum atau rehabilitasi sosial pada kasus perempuan lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum dan anak-anak oleh Forum Anak Nasional. Dengan demikian, kondisi tersebut akan menimbulkan efek domino, yakni organisasi-organisasi yang ada tidak bisa banyak membantu.
Sementara itu, pemerintah hanya sebatas membuat undang-undang, tetapi belum memperlihatkan rasa empati dan melakukan upaya pendekatan kepada korban atau membantu pemulihan korban secara langsung. Sebagai contoh, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyuguhkan banyak data, tetapi belum menyediakan instrumen dan strategi untuk ke depannya. Pemerintah perlu berupaya lebih lanjut untuk bertemu dengan korban agar bisa mempertajam strategi antiperdagangan orang.
Anda menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia perlu berupaya lebih lanjut. Bagaimana pemerintah menyikapi kasus perdagangan orang selama ini?
Pemerintah Indonesia telah menyusun Undang-undang No.5 tahun 2009 dan membentuk Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sebagai pelaksana kebijakan. Akan tetapi, upaya ini masih kurang efektif dan tidak membawa penurunan signifikan. Administrasi BP2MI harus diperbaiki supaya lebih rapi dalam melacak legalitas para pekerja migran yang akan diberangkatkan.
Selain itu, Pemerintah Indonesia belum mengambil aksi melalui konferensi-konferensi internasional yang ada sejauh ini. Banyak negara telah memberikan rekomendasi strategi pencegahan kejahatan perdagangan orang melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini seharusnya dijadikan momentum untuk berkolaborasi dan bekerjasama. Dengan demikian, upaya BP2MI dapat dimaksimalkan dengan lebih tegas.
Bagaimana menurut Anda strategi tindakan preventif yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan kasus perdagangan orang yang masih marak terjadi saat ini?
Pemerintah bisa meniru sistem The United Nations Office on Drugs and Crime dalam pengumpulan data dan pemberian informasi terbaru di lapangan. Secara praktis, hal ini juga bisa dilakukan dengan mengukur persentase peningkatan korban TPPO pertahunnya secara keseluruhan dan dibagi berdasarkan kawasan. Langkah teknis pertama dapat dilakukan dengan meniru sistem pemetaan daerah untuk mengetahui pola kasus sehingga dapat dijadikan prediksi untuk menentukan lokasi terjadinya TPPO selanjutnya. Kedua, pemerintah dapat mengidentifikasi faktor terbesar penyebab terjadinya kasus perdagangan orang. Kemudian, data-data tersebut dihimpun ke dalam sistem-sistem, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui rancangan strategis. Terakhir, pemerintah dapat menelusuri dampak dari TPPO itu sendiri secara empiris, seperti melalui wawancara secara langsung atau menggunakan kuesioner.
Masyarakat pun wajib berperan, khususnya bagi generasi muda. Dengan jejaring anak muda yang sangat besar, mereka dapat menjadi penyebar informasi mengenai kenyataan kasus TPPO yang terjadi di Indonesia. Hal ini dapat mengangkat isu ini untuk muncul ke permukaan publik sebagai tamparan bagi pemerintah. Bahkan, mereka juga bisa memperlihatkan realitas tersebut kepada dunia sehingga memunculkan kesadaran segelintir orang atau organisasi yang mampu dan mau untuk memberikan bantuan atau uluran tangan kepada korban.
Penulis: Sofia Natalia Zebua, Karina Dea Lathifa, Tanaya Raras Anindita
Penyunting: Edo Saut Hutapea
Illustrator: Venessa Theonia