Menjamurnya alih fungsi lahan pertanian menjadi permasalahan di Yogyakarta. Fenomena tersebut mengakibatkan para petani di Sleman semakin terhimpit oleh maraknya pembangunan infrastruktur dan fasilitas komersial. Masifnya pembangunan kafe, jalan tol, dan bandara berujung pada hilangnya lahan mata pencaharian para petani. Tanah yang dijadikan sebagai ruang penghidupan harus direlakan untuk kepentingan pembangunan para pemilik modal.
Dampak negatif dari alih fungsi lahan tak luput dirasakan oleh para petani perempuan di Sleman. Kehilangan lahan mengakibatkan para petani perempuan kehilangan akses terkait mata pencaharian mereka. Padahal, banyak petani perempuan yang bergantung pada tanah dan pekerjaan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Untuk mengetahui lebih lanjut akibat alih fungsi lahan terhadap nasib petani perempuan di Sleman, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Sana Ulaili, ketua Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta. Dalam wawancara pada Kamis (26-10), ia menyampaikan bahwa fenomena alih fungsi lahan menimbulkan hilangnya ruang gerak baik dari segi sosial, ekonomi, maupun politik bagi petani perempuan
Menurut Anda, apa penyebab alih fungsi lahan di Yogyakarta, terutama di Sleman?
Penyebab alih fungsi lahan disebabkan oleh terjadinya komodifikasi tanah. Bicara soal komodifikasi artinya kita bicara soal orientasi penggunaan lahan yang digunakan untuk kepentingan kapital, artinya bicara soal institusi atau lembaga yang berorientasi pada bisnis. Bisnis apa saja? Ada perumahan, tempat wisata, kalau skala besar, ya tentu saja pembangunan bandara dan jalan tol. Memang lebih banyak pengembangan daerah penyangga wisata seperti hotel dan apartemen yang sebenarnya diorientasikan hanya untuk kepentingan kapital sekelompok orang tertentu.
Lalu, bisa dikatakan justru alih fungsi lahan tertinggi itu ada di Sleman. Saya tidak punya data yang pasti, tetapi Sleman menjadi salah satu kabupaten yang melakukan pelepasan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol. Tidak kecil skalanya dan itu rata-rata melewati lahan produktif. Kemudian juga perumahan, di mana-mana dibuka perumahan. Belum lagi pembukaan apartemen. Itu kalau kita bicara di Sleman.
Sejak kapan alih fungsi lahan di Sleman terjadi?
Kalau alih fungsi lahan di Sleman, sudah cukup lama, Dari tahun 2000 maybe. Pada tahun 2017, tinggi banget alih fungsi lahan di Sleman.
Bagaimana nasib petani perempuan di Sleman yang terdampak alih fungsi lahan?
Perempuan petani itu tidak bisa dipisahkan dari alat produksinya. Alat produksinya apa? Alat produksi perempuan petani itu ya tanah. Ketika perempuan petani kehilangan tanah banyak aspek yang akan hilang dari dirinya. Pertama, pasti dia akan kehilangan sumber kehidupan. Dia akan kehilangan penghasilan dari profesinya sebagai petani itu, ataupun sumber penghasilannya berkurang.
Kedua, perempuan petani yang tidak lagi punya alat produksi sebenarnya kehilangan yang namanya ruang politik bagi perempuan. Rata-rata petani di Yogyakarta itu petani gurem, lahan sedikit. Karena lahan sedikit penghasilan sedikit, artinya tanah yang dimilikinya sedikit. At least mereka adalah perempuan miskin. Dalam struktur pengambilan ruang keputusan publik, perempuan miskin itu nyaris tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Jangankan pengambilan keputusan di desa, dusun aja gak pernah dilibatkan.
Nah, tanah yang menjadi wilayah garapnya dalam perspektif ekofeminisme, itu ruang politik perempuan. Kenapa? Karena perempuan petani menunjukkan eksistensi bahwa dirinya ada dan mempunyai karya. Dirinya juga dapat berbicara melalui apa yang dia tanam, apa yang akan dia tanam, benihnya apa, pupuk yang akan digunakan, hasil panennya akan digunakan untuk apa. Itu ruang politik perempuan.
Kemudian, bagaimana nasib petani perempuan di Sleman yang kehilangan pekerjaan akibat alih fungsi lahan?
Ada beragam situasi yang dialami oleh perempuan petani yang kehilangan ruang hidup, sumber hidup, dan ruang politik karena situasi politik, sosial, atau ekonomi yang melatarbelakangi hingga tanah itu lepas dari hidupnya. Dia dipaksa masuk ke dalam kultur baru. Tadinya dia punya kuasa atas tanahnya, punya ruang politik, [sekarang-red] dia masuk ke dalam wilayah yang dia powerless.
Perempuan menjadi buruh yang dia tidak punya kuasa atas modal karena memang dia tidak punya modal. Dia gak punya alat produksi. Pedagang, iya kalau dia menjadi pedagang produk-produk yang sumbernya adalah pangan-pangan yang diproduksi langsung. Kalau dia menjadi pedagang yang menjual produk-produk kapital yang sebenarnya itu juga menghisap perempuan, ya sama saja. Dia akhirnya menjadi kaki tangan para penguasa alat produksi.
Di sektor buruh, dia akan menjadi buruh, entah buruh pabrik, buruh rumahan, buruh industri skala kecil, atau buruh migran karena dia nggak punya pilihan apapun. Masih untung kalau dia jadi buruh pabrik. Akan lebih mengenaskan lagi bagi mereka yang tidak punya privilege pendidikan. Perempuan petani yang berada pada usia produktif tapi tidak punya sejarah pendidikan formal yang baik, akan lebih sulit [mendapatkan pekerjaan-red] karena dia nggak punya akses dan skill, kecuali skill menanam.
Itu gambaran kalau perempuan petani kehilangan tanahnya. Perempuan petani yang kehilangan tanahnya dan tidak bisa masuk dalam sektor formal, otomatis kalo dia punya pasangan, dia akan bergantung pada pasangannya. Kalau pasangannya juga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi. Lah kalau tidak? Mereka akan jatuh dalam situasi kemiskinan. Bisa dikatakan ini adalah kemiskinan sistemik atau kemiskinan struktur. Struktur apa? Sistem apa? Struktur dan sistem pembangunan developmentalisme.
Bagaimana pendapat Anda mengenai regulasi pengelolaan lahan di Sleman?
Di Sleman itu ada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sleman, kalau nggak salah, Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun, ini juga menjadi persoalan complicated yang dihadapi oleh semua kabupaten ya. Faktanya adalah kebijakan kita tidak cukup efektif diterapkan.
Kalau kita mau berbicara tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, ada banyak regulasi yang kemudian bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Misalnya, Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Cipta Kerja. Regulasi daerah kita itu bertentangan dengan berbagai macam produk undang-undang yang membuat posisi daerah itu menjadi tidak berguna.
Misal, Proyek Strategis Nasional (PSN). PSN berkaitan dengan, misalnya, pembangunan jalan tol. Itu satu paket dengan Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sementara regulasi kita itu hanya Perda. Ada aturan yang lebih tinggi yang harus ditaati. Sementara pada sisi yang lain, hampir semua proyek yang menghilangkan tanah pertanian, sumber paling besar [regulasinya-red] adalah pada pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan umum. Apa gunanya Perda gitu? Implementasinya juga tidak ada pengawasan yang signifikan. Rakyat juga tidak dilibatkan dalam proses pengawasannya. Ya, pada akhirnya, kebijakan di level daerah hanya selembar kertas saja, nggak lebih.
Apakah Gubernur Yogyakarta pernah menaruh perhatian terhadap petani perempuan di Sleman?
Perlindungan Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan kalau tidak salah itu ada di dalam Peraturan Daerah Tahun 2011, tetapi pada tahun 2021 itu ada perubahan dalam regulasi. Saya ingat betul saat pandemi tahun 2021, saya bertemu dengan DPRD terkait dengan pembahasan perubahan Peraturan Daerah DIY tentang Perlindungan Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan. Nah, itu maksudnya baik, tapi sayangnya genderless. Artinya Perda ini masih neutral gender, tidak ada satu klausul pasal yang dia membahas secara khusus tentang perempuan petani. Padahal secara faktual, secara konstruksi sosial dalam sistem berdasarkan perspektif gender, mereka berbeda. Kalau kita mau bicara tentang apakah Perda ini kemudian memberikan perlindungan lahan pertanian secara aspek kualitatif? Nggak ada juga. Jadi kalau mau dibilang apakah punya perhatian khusus, tidak ada.
Apabila peraturan pemerintah tidak dibenahi, bagaimana nasib petani perempuan di Sleman kedepannya?
Tidak ada lagi ruang untuk perempuan petani. Kemudian, tidak ada lagi orang yang mau berprofesi menjadi petani karena memang tidak ada jaminan. Ada banyak fakultas pertanian di mana-mana. Ada ribuan sarjana petani di mana-mana. Pertanyaannya, berapa orang yang mau menjadi petani? Berapa orang yang mau menjadi petani yang sesungguhnya, yang dia berproses pada proses produksinya? Seperti menanam, mencangkul, memanen, dan memberikan nutrisi secara langsung.
Ditambah soal jaminan terhadap sistem pasar yang adil buat petani tidak ada. Semua hasil pertanian ditentukan oleh pasar. Petani hanya berhenti pada tahapan produksi. Artinya kalau misalnya lahan tidak ada, regulasi perlindungan tidak ada, ya selesai. Jadilah kita importir pangan. Lama-lama kita menjadi importir tanah. Ketika tanah ini sudah tidak ada dan regulasi tidak memberikan perlindungan secara substantif, kita tidak akan pernah mendapati petani pada situasi sistem pangan dan tanah yang adil dalam konteks ekonomi, kepemilikan, maupun akses dan kontrol.
Menurut Anda, apa perlindungan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah kepada para petani perempuan di Sleman?
Pertama, pemerintah konsisten. Jangan lagi membuat perencanaan pembangunan yang mengancam keberadaan lahan pangan pertanian berkelanjutan. Penting untuk pemerintah membuat rencana pembangunan yang berpihak kepada pertanian dan pertanian yang berorientasi pada peningkatan otoritas para perempuan petani pemilik lahan.
Kedua, bebaskan pajak. Saya masih ingat kampanye beberapa bupati waktu itu, mereka mengatakan akan memastikan para petani bebas pajak. Faktanya, sampai sekarang petani tetap membayar pajak. Bisa dibayangkan ya, sudah hasilnya sedikit, dijual nggak laku, sementara banyak petani kita masih menggunakan pola pertanian kimiawi yang harga pupuk dan pajaknya mahal, bisa apa mereka?
Ketiga, kembalikan sistem pertanian pada sistem pola lestari. Jangan menggunakan pola pertanian mekanik yang nggak jauh-jauh dari urusan bisnis pupuk. Supaya ada balancing bahwa menjaga lahan pertanian berkelanjutan itu tidak hanya menjaga pada aspek kepemilikan lahannya, tetapi juga ada regulasi yang mengatur kepemilikan pada aspek non-fisiknya, yaitu berupa penghargaan perlakuan pada tanah-tanah produktif itu sesuai dengan nature-nya.
Penulis: Abel Alma Putri, Anggita Septiana, Dyah Lintang Izza Salma (Magang)
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Ilustrator: Ferdian Dwi Saputra