Manusia dan hewan merupakan dua makhluk hidup yang tidak bisa lepas antara satu sama lain. Kemampuan berpikir dan bernalar yang dimiliki manusia membuat mereka dianggap menduduki tingkatan yang lebih tinggi dari hewan. Meskipun demikian, manusia dan hewan sesungguhnya memiliki posisi yang setara dalam taksonomi.
Namun, pada kenyataannya banyak ditemukan tindak kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap hewan, salah satunya tindakan kekerasan seksual. Kabar mengenai seekor orang utan bernama Pony di Kalimantan Tengah yang diperkosa berkali-kali hingga dijadikan pelacur menggemparkan beberapa pihak. Bulu Pony dicukur setiap hari dan ia diperkosa oleh setiap pria yang mengunjungi rumah bordil tempatnya tinggal.
Melihat fenomena yang masih dipandang sebelah mata ini, Balairung berkesempatan mewawancarai Herlina Agustin mengenai kekerasan seksual pada hewan. Ia adalah dosen, peneliti, dan pemerhati satwa dari Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Selain itu, Herlina sempat menjabat sebagai Dewan Penasehat Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia periode 2007 hingga 2019.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai kekerasan seksual yang terjadi pada hewan?
Pemaksaan kegiatan seksual yang dilakukan sesama hewan saja dapat menimbulkan luka dan trauma, apalagi pelakunya adalah manusia. Perlu diperhatikan bahwa hubungan seksual tidak sebatas pertemuan antarkelamin, percumbuan juga termasuk di dalamnya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa orang yang melakukan aksi seperti itu jelas memiliki gangguan pada kejiwaannya, kita sebut ini sebagai bestialitas. Fakta umum yang sering terjadi adalah pelaku tidak berani berhubungan seksual dengan orang lain dan memutuskan untuk melampiaskannya pada hewan. Fenomena ini memang masih tabu, baik di dunia hewan maupun di kesehatan. Apabila perilaku tersebut terus dilakukan, sebuah kebiasaan baru yang akan berdampak buruk bagi hewan akan muncul sebagai respons terhadap kondisi ilmiah hewan tersebut. Saya perlu tegaskan bahwa hal ini tidaklah benar dan perlu perhatian yang lebih lanjut.
Anda mengatakan bahwa sebuah kebiasaan baru yang berdampak buruk terhadap hewan dapat muncul, Apa saja itu?
Hewan memiliki masa tertentu untuk reproduksi sesuai siklusnya. Ketika hewan mendapatkan pelecehan seksual, ia akan dipaksa melakukan reproduksi di luar waktu yang seharusnya terjadi. Selain itu, manusia dan hewan jelas memiliki ukuran alat kelamin yang berbeda. Hewan yang mendapat pelecehan seksual akan terluka secara fisik dan mental karena adanya pemaksaan proses reproduksi. Dampak terburuk pelecehan seksual terhadap hewan adalah kematian. Salah satu contoh kasusnya, yaitu kambing di India yang meninggal akibat diperkosa oleh delapan orang. Pada umumnya, hewan akan menunjukkan dua tanda-tanda pasca mendapatkan pelecehan seksual, seperti lebih galak terhadap orang di sekitarnya atau menarik diri dan depresi.
Bagaimana cara yang tepat untuk menyembuhkan trauma akibat kekerasan seksual pada hewan?
Penyembuhan secara fisik merupakan hal pertama yang harus dilakukan untuk menghilangkan trauma pada hewan. Hewan tersebut harus diperhatikan apakah sudah memenuhi lima prinsip kesejahteraan hewan (five freedoms of animal welfare). Pertama, bebas dari rasa haus dan lapar. Kedua, bebas dari rasa ketidaknyamanan. Ketiga, bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit. Keempat, bebas mengekspresikan perilaku alamiah. Kelima, bebas dari ketakutan dan rasa tertekan. Setelah fisiknya sehat dan memenuhi lima prinsip kesejahteraan hewan, trauma tersebut bisa lebih cepat disembuhkan apabila dibandingkan dengan manusia.
Menurut Anda, apakah speciesism ini merupakan salah satu faktor penyebab manusia melakukan hal seenaknya pada hewan?
Speciesism berkaitan dengan diskriminasi, yaitu dengan memperlakukan makhluk hidup berdasarkan spesiesnya. Speciesism ini sendiri mencakup banyak hal, tidak hanya mengenai kekerasan seksual yang dilakukan kepada hewan. Ketika melakukan kekerasan seksual, manusia merasa lebih dominan daripada binatang. Hal itu merupakan speciesism yang luar biasa tidak etis.
Apakah tindakan kekerasan seksual seperti ini termasuk dari salah satu wujud penganiayaan hewan yang dapat mengganggu kesejahteraan hewan seperti dalam UU nomor 41 pasal 1 ayat 42 tahun 2014?
Di Indonesia tidak ada undang-undang khusus yang bicara soal pelecehan/kekerasan seksual terhadap hewan, sehingga semua masuknya ke dalam UU Peternakan. Kemudian, permasalahan lain yang muncul dari tindakan ini adalah kerugian yang didapat oleh hewan seperti terluka, infeksi, hingga mati. Hal-hal itu tidak ada aturan hukumnya. Tidak ada juga aturan atau prosedur yang dijalankan bagi para pelaku.
Apakah sejauh ini pihak berwenang mau mengusut kasus sejenis yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian besar masyarakat?
Sejauh ini belum bisa kita lihat dari kasus Pony di Kalimantan. Tidak ada upaya penegakan hukumnya, tidak jelas juga (aturan hukumnya). Orangutan termasuk satwa yang dilindungi sehingga yang menaungi dia adalah Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Nomor 5 Tahun 1990. Akan tetapi, untuk masalah yang diderita oleh Pony, tidak terdapat aturan yang jelas untuk menjerat pelakunya.
Di negara lain seperti Amerika sudah diberlakukan aturan hukum bagi pelaku kekerasan seksual terhadap hewan. Apa harapan Anda bagi kondisi serupa di Tanah Air?
Seperti yang sudah kita bahas, ini adalah masalah kelainan jiwa dan seksual yang harus diterapi. Kemudian, kita tetapkan hukum perlindungan bagi hewan agar hewan tidak lagi diperlakukan semena-mena. Kita tahu sendiri di Indonesia masih banyak yang menganut speciesism, hewan dijadikan hal nomor kesekian dan dapat diperlakukan sesuai keinginannya. Pada akhirnya, kita harus lebih banyak menaruh perhatian pada hewan.
Penulis: Cindra Karunia, Anastasya Egidia Amanda, Salsabila Faiha’ (Magang)
Penyunting: Fahmi Aryo Majid
Ilustrator: Embun Dinihari (Magang)