Koalisi Save Karimunjawa baru saja mengadakan konferensi pers atas kasus yang menimpa Daniel Frits Maurits Tangkilisan atas ujaran kebencian berbasiskan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Konferensi disiarkan melalui kanal media daring pada Minggu (23-03) dengan tajuk “Bebaskan Daniel dari Segala Tuntutan”. Beberapa pembicara yang hadir pada konferensi ini adalah Yarhan Ambon dari Lingkar Juang Karimunjawa; Gita Paulina dari Koalisi Advokat Pejuang Aktivitas Lingkungan Hidup; Nenden Sekar Arum dari Southeast Asian Freedom of Expression Network; Andi Rezaldy dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan; dan Didit Wicaksono dari Greenpeace Indonesia.
Gita, selaku penasihat hukum Daniel, membuka konferensi dengan menjelaskan tuntutan yang diterima Daniel. Daniel dituntut hukuman sepuluh bulan penjara dan denda Rp5.000.000,00 oleh Pengadilan Negeri Jepara. Gita menyebutkan, tuntutan ini akibat kritiknya terhadap aktivitas tambak udang ilegal yang mencemari lingkungan Karimunjawa. “Semenjak kami [Koalisi Advokat Pejuang Aktivitas Lingkungan Hidup-red] bergabung menjalani persidangan untuk kasus-kasus Daniel, ada beberapa hal yang merupakan sesuatu hal yang tidak lazim [dalam persidangan-red],” jelas Gita.
Gita juga menjelaskan kesulitan yang dialami kuasa hukum Daniel dalam membuat pembelaan karena jangka waktu yang singkat. Ia merasa pemeriksaan saksi dan ahli kasus Daniel justru tidak layak untuk diproses. Gita menilai bahwa tidak ada unsur ujaran kebencian yang dilontarkan oleh Daniel dalam kasus ini. “Itu semua menguatkan bahwa tidak ada pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” tegasnya.
Sejalan dengan Gita, Yarhan menambahkan jika pihak jaksa penuntut umum seolah-olah membelokkan kasus Daniel ke wilayah SARA. Hal ini dinilai meninggalkan substansi permasalahan itu sendiri, padahal tidak ada isu yang berkaitan dengan SARA di kasus ini. “Kami juga melihat pihak jaksa penuntut umum justru malah seolah akan membelokkan ini ke wilayah SARA,” ujar Gita.
Didit sendiri menyampaikan keprihatinannya dalam konferensi pers ini. Ia berpendapat bahwa yang terjadi pada Daniel merupakan bentuk dari Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Didit menyebutkan bahwa Daniel seharusnya tidak dapat digugat secara perdata dan dituntut secara pidana. “Masyarakat yang terlibat aktif dalam memperjuangkan hak asasi lingkungan hidup sudah diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup,” jelasnya.
Di lain sisi, Andi juga menyoroti peran aparat penegak hukum yang membatasi ruang gerak pembela HAM untuk melakukan advokasi lingkungan dan HAM. Ia melihat pemerintah mengabaikan kewajibannya untuk menghormati dan melindungi kebebasan berekspresi warga negaranya walaupun sebenarnya sudah banyak perundang-undangan yang menjamin hal tersebut. “Dalam hal ini [kebebasan berekspresi-red], aparat penegak hukum harus patuh dan tunduk,” tegas Andi.
Nenden kembali mengingatkan bahwa kasus Daniel merupakan satu dari banyak kasus kelompok vokal yang ditekan dengan menggunakan pasal bermasalah dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, UU ITE tidak memiliki indikator yang jelas dalam penerapannya sehingga semua orang, khususnya aparat hukum, dapat memanfaatkan pasal tersebut demi kepentingan-kepentingan tertentu. “Kasus Daniel seharusnya bisa ditinjau. Apakah memang hal tersebut masih sesuai dengan UU terbaru?” ucap Nenden.
Akhir pemaparan, Didit menyatakan bahwa yang terjadi kepada Daniel merupakan bagian dari proses strategis untuk mematahkan semangat perjuangan lingkungan hidup di masa yang akan datang. Menurutnya, kejadian tersebut merupakan bukti kemunduran demokrasi di Indonesia. Didit memperingatkan bahwa jika tidak melawan, masyarakat bisa dituntut dengan sistem yang sama. “Tidak hanya untuk Daniel, tetapi ancaman ini juga untuk kita semua. Untuk lingkungan hidup kita dan ruang demokrasi kita,” pungkasnya.
Penulis: Fenny Agustin Rahmawati dan Leoni Nevia Yesha Ischuo S
Penyunting: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing
Ilustrator: Farrel Baswara