Pada Jumat (19-04), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menggelar forum diskusi hukum dan HAM bertajuk “RUU Kesejahteraan Ibu Anak: Tanggung Jawab Negara atau Pembebanan Domestik Perempuan?”. Diskusi yang digelar secara daring ini dihadiri Julius Ibrani sebagai Ketua PBHI Nasional, Diah Pitaloka selaku Ketua Komisi 8 DPR dan Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), Gina Sabrina dari PBHI, Yuri Etika Muktia dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS), serta Eka Kurniawati dari Koalisi Perempuan Indonesia. Ruang diskusi digunakan untuk meninjau kembali RUU KIA yang sudah disetujui di tingkat satu DPR.
Diah mengawali diskusi dengan menjelaskan fokus utama RUU KIA. Menurutnya, belum adanya konstruksi kebijakan yang menaungi persoalan ibu dan anak di masa kini menjadi landasan dalam pembuatan RUU KIA. Diah melanjutkan bahwa RUU KIA ini akan mengedepankan pembangunan kesejahteraan dan melakukan pendekatan afirmatif atas persoalan perempuan dan anak. “Jadi sifatnya lebih banyak di kementerian-kementerian itu menjadi program. Kayak misalnya program pemberian gizi dan macam-macam,” jelas Diah.
Sementara itu, Eka menyatakan kekhawatiran mengenai pembahasan RUU KIA terkait kebijakan cuti melahirkan. “Kalau bicara soal cuti tadi, adalah untuk pekerja formal, tapi perempuan-perempuan yang bekerja informal tetap tidak diakui [hak cuti melahirkannya-red],” ujar Eka. Diah pun menambahkan bahwa kebijakan ini disusun untuk diberikan pada perempuan secara menyeluruh, bukan hanya bagi yang bekerja di sektor formal.
Hal ini didukung oleh Yuri yang menyatakan bahwa kebijakan cuti melahirkan bahkan masih kerap dilanggar. Ia merujuk pada Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2021 yang menemukan adanya sejumlah buruh wanita yang keguguran akibat kondisi kerja yang buruk. Catahu juga melaporkan sebagian besar pekerja hamil menyembunyikan kehamilannya karena takut dipecat perusahaan. “Terkait situasi cuti melahirkan ini, apakah akan justru menjadi berbalik mendomestifikasi perempuan atau justru bisa memperkuat kita dalam ketenagakerjaan?” ucap Yuri.
Selain itu, Eka meninjau bahwa ada celah berupa pelanggaran kewajiban yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan RUU ini. Salah satunya terkait aturan kewajiban mengasuh anak yang dinyatakan akan dibagi kepada ayah dan keluarga. Eka menilai bahwa kenyataannya masih berbanding terbalik karena dalam lingkup rumah tangga, di mana suami bersikap patriarkis, sangat mungkin aturan tersebut diabaikan. “Kalau kewajibannya tidak dilakukan. Apa yang terjadi? Kalau tidak ada terjadi apa-apa juga ya buat apa?” tutur Eka.
Kekecewaan atas kurangnya partisipasi publik dalam proses legislasi RUU KIA juga disampaikan oleh Yuri. Ia meminta penundaan pembahasan RUU KIA sampai pembahasan mengenai mekanisme dan mitigasi jaminan jika terjadi pelanggaran undang-undang dibahas lebih jauh. “Dengan adanya waktu penundaan ini, jadi kita bisa belajar lebih dalam lagi, draft RUU KIA ini tuh apa ya isinya. Substansinya tuh seperti apa, lalu nanti implementasinya akan seperti apa,” ungkap Yuri.
“Apakah negara sudah punya target terukur terhadap kesejahteraan ibu dan anak?” tanya Gina. Ia melihat bahwa RUU KIA tak bisa lepas dari hak EKOSOB, yaitu hak atas pendidikan, perumahan, standar hidup yang layak, kesehatan, atas lingkungan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya. Ia menegaskan bahwa negara harus hadir dalam pemenuhannya yang diiringi target terukur.
Diah merespons berbagai kekhawatiran dan narasi atas pengesahan RUU KIA. Ia menilai bahwa RUU ini memang memiliki tantangan tersendiri. Diah mengakui DPR RI sendiri pun baru menggunakan pendekatan integratif terhadap persoalan perempuan dan anak. Ia menyebutkan bahwa RUU ini memiliki banyak kelemahan. “Tapi, menurut saya ini tidak bisa menghentikan sebuah upaya. Kekhawatiran itu pasti ada,” tukasnya.
Sementara itu, Julius menyoroti adanya asumsi negatif dari diksi “ibu dan anak”. Menurutnya, kultur budaya menempatkan perempuan dalam posisi domestikasi menutup akses kesejahteraan perempuan. Julius meyakini, pemenuhan fasilitas untuk mencapai kesejahteraan perempuan dalam RUU KIA harusnya dipikirkan semua orang. “Siapapun itu, dari gender apapun itu, ternyata dia bisa menjalankan peran untuk mensejahterakan ibu dan anak, yang tidak dibebankan pada satu subjek tertentu,” harap Julius.
Penulis: Maylafaizza Nafisha Zifa dan Muhammad Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Penyunting: Anindya Verawati
Ilustrator: Ilham Jaya Saputra