Pada Sabtu (23-03), Lingkar Keadilan Ruang dan Universitas Kristen Satya Wacana mengadakan bedah buku Air Seharusnya Kita Jaga dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia. Acara ini digelar di Pendopo LKiS Bantul, diskusi ini menghadirkan Fitri Nasichudin dari Kebun Kali Code; Dodo Putra Bangsa, sebagai perwakilan Warga Berdaya; dan Yesaya Sandang selaku penulis buku. Di tengah deras arus pembangunan yang terus dikebut pemerintah, salah satu dampak yang dialami warga Jogja adalah terancamnya hak atas air.
Pada awal diskusi, Fitri menceritakan kehidupan di sekitar Kampung Ledok yang sudah mengalami banyak perubahan, terutama dalam hal kebersihan air. Ia menyampaikan bahwa air di sekitar tempat tinggalnya banyak mengandung bakteri Escherichia coli  dan kerap mengalami kekeringan. Hal tersebut memaksa warga untuk membeli air galon yang berdampak pada aspek ekonomi dan kesehatan. “Jadi, memang keterpaksaan kami yang harus mengkonsumsi air dengan membeli galon, yang sekarang harga satu galon sekitar Rp20.000,00, serta isi ulang Rp7.000,00- Rp8.000,00,” ungkap Fitri.
Fitri lanjut membagikan cerita warga Kampung Kali Code yang terus mengalami kesulitan untuk mendapat air bersih. Ia menuturkan bahwa kesulitan-kesulitan yang melanda warga merupakan imbas dari pembangunan industri dan perhotelan di sekitar wilayah tempat tinggal. Fitri mendeskripsikan tentang dua lapangan dengan ukuran 15×20 meter di dekat kampung warga yang sudah dibeli oleh investor dan rencananya akan dibangun hotel. “Harapan kami jangan dibangun, tapi bila memang didesak, harus ada SOP [Standar Operasional Prosedur-red] yang jelas bagaimana mereka menggunakan air, tidak sebanyak-banyaknya [berlebihan-red],” ujarnya.
Menambahkan Fitri, Dodo menjelaskan bahwa perkembangan industri semakin sulit diawasi, terutama terhadap pembangunan hotel. Dodo menyayangkan distribusi air yang tak menentu, warga tidak tahu ke mana air bekas pakai hotel akan dibuang setiap pekannya. Tidak ada pemberitahuan yang jelas tentang pembuangan air bekas pakai dari perhotelan. “Sekarang tidak ada yang bisa menjawab airnya dibuang ke tanah atau dikembalikan ke sungai,” tutur Dodo.
Menanggapi Dodo, Yesaya menjelaskan tentang pergeseran dalam pemaknaan terhadap air. Ia menuturkan bahwa sekarang air hanya dianggap sebagai barang ekonomi. Yesaya mendorong untuk lebih memaknai air sebagai bagian kolektivitas, hal tersebut dapat membangkitkan semangat kepemilikan dan perjuangan. “Jangan sampai nanti nunggu kasus baru lagi,” ujar Yesaya.
Selepas diskusi, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Dodo lebih lanjut mengenai upaya yang dapat diinisiasi masyarakat desa guna menciptakan lingkungan hidup yang lebih efektif. Dodo memberitahukan upaya konkret yang dapat masyarakat lakukan adalah dengan membuat resapan air di sepanjang jalan kampung, bukan membuat gorong-gorong. “Menurutku bentuk desa yang [ideal-red] secara keseluruhan adalah baik warga maupun infrastrukturnya terencana dengan baik dalam satu komunitas itu,” pungkasnya.
Penulis: Clarissa Alyn dan Galih Winata
Penyunting: Muhammad Fariz Ardan
Fotografer: Muhammad Fariz Ardan