Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • APRESIASI
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Pos Teratas
Polisi Terduga Pelaku Penyiksaan Terdakwa Kasus Salah Tangkap...
Rancangan Belum Matang, Rektorat Klaim Sistem UKT Baru...
Sekat Gender dalam Perburuhan Sawit di Kalimantan
Cita-Cita Karima
SSPU Tetap Jalan, Aksi Tolak Uang Pangkal Hasilkan...
Habis SSPI, Terbitlah SSPU dalam Dialog Panas Mahasiswa...
Peringati Hari Perempuan Internasional, Massa Aksi Kecam Diskriminasi...
Aksi IWD Yogyakarta Suarakan Perjuangan Melawan Patriarki
Demotivasi: Alat Menyingkap Motivasi yang Manipulatif
Dampak Neoliberalisasi, Mahasiswa Tak Lagi Berfokus pada Gerakan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • APRESIASI
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KONTRIBUSISASTRA

Kesepian yang Membunuh

Oktober 9, 2018

©Deardra/BAL

“Anda ingin minum apa?”

“Saya buatkan Anda kopi saja ya,” imbuh Nenek Laura tanpa menunggu jawaban dari pertanyaan yang sebelumnya ia ajukan.

Sepi, kata yang pas untuk mewakili suasana rumah Nenek Laura. Di rumah megah yang  dindingnya banyak dihiasi lukisan dari pelukis ternama itu Nenek Laura tinggal sendirian. Suami dan anak semata wayangnya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu akibat penyakit leukemia. Di usianya yang hampir tujuh puluh tahun, Nenek Laura sudah terbiasa dengan kesepian, hal yang barangkali ditakutkan oleh hampir semua orang, terlebih bagi orang tua. Siapa pun pasti tidak ada yang berkeinginan menghabiskan masa tuanya sendirian seperti Nenek Laura.

“Ini kopi susu hangat untuk Anda. Sementara secangkir teh hangat ini untuk saya,” ucap Nenek Laura sekembalinya dari dapur. Ia menyodorkan segelas kopi hangat dan beberapa iris roti tawar dengan selai nanas kepada polisi yang sedang duduk di depannya.

Rumah Nenek Laura terletak di sebuah komplek perumahan mewah. Rumah itu berada di ujung jalan. Terlihat menyendiri karena di sampingnya hanya ada lahan kosong yang ditumbuhi rumput ilalang. Rumah di sekitar tempat tinggal Nenek Laura pun banyak yang kosong. Tak ada yang tahu ke mana penghuninya. Mungkin sibuk dengan kerjaan di luar kota atau sedang berada di rumah mereka yang lain. Tepat di seberang rumah Nenek Laura tinggal seorang polisi muda. Usianya sekitar tiga puluhan awal. Dia juga tinggal seorang diri karena belum berkeluarga.

“Sebelum Anda bertanya, saya akan menceritakan alasan kenapa saya melakukan hal itu,” ucap Nenek Laura kepada Polisi tetangganya tersebut.

Nenek Laura memberitahukan bahwa dirinya sudah tak tahan lagi dengan kesepian. Sebelum pensiun, Nenek Laura seorang dokter spesialis bedah. Nenek Laura mempunyai seorang pembantu. Namun, pembantunya selalu mengundurkan diri. Hal itu terjadi beberapa kali sampai Nenek Laura memutuskan untuk tidak mencari pembantu lagi. Para pembantu yang mengundurkan diri rata-rata karena ingin fokus dengan keluarga mereka. Namun, Nenek Laura tahu bahwa mereka mengundurkan diri karena tidak tahan lagi mengurus nenek tua seperti dirinya.

“Mendapati rumah saya yang selalu sepi benar-benar membuat saya ditikam sepi. Tentu Anda bisa bayangkan jika Anda menjadi saya,” imbuh Nenek Laura.

Jika bagi sebagian orang bertukar cerita dengan orang terdekat menjadi hal yang sederhana dan mudah didapat, hal itu jelas berbeda bagi Nenek Laura. Mengobrol atau sekadar basa-basi adalah hal yang asing baginya. Sudah hampir sepuluh tahun Nenek Laura terbiasa dengan sepi. Sebenarnya Nenek Laura punya beberapa saudara, namun tak ada kabar. Mereka berada di luar kota, bahkan ada yang tinggal di luar negeri. Mungkin mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Untuk mengusir kesepiannya, Nenek Laura sering berkunjung ke rumah tetangga kompleks rumahnya. Mungkin karena terlalu sering, mereka mulai bosan dengan kedatangan Nenek Laura. Karena sebenarnya tidak ada hal penting yang dibicarakan setiap kali Nenek Laura berkunjung. Nenek Laura hanya membicarakan suatu hal yang sama dan berulang-ulang. Karenanya mereka memilih tidak membukakan pintu saat mereka tahu yang akan berkunjung  Nenek Laura.

“Lama-lama warga enggan dengan kehadiran saya di rumah mereka. Sebenarnya saya hanya butuh teman. Mereka tidak perlu menanggapi apa yang saya bicarakan.”

Nenek Laura menyeruput tehnya. Kemudian ia meneruskan lagi ucapannya.

“Akhirnya saya memilih menyimpan mayat suami saya.” Nenek Laura memandang ke arah lemari kaca. Di sana terlihat tengkorak manusia.

Aneh memang, jika bagi sebagian orang mengobrol dianggap sebagai perkara buang-buang waktu dan harta adalah sesuatu yang sangat penting, bagi Nenek Laura hal itu justru sebaliknya. Mungkin seandainya semua harta yang dimiliki bisa ditukar dengan teman atau mengembalikan nyawa suami dan anaknya, tentu ia akan melakukannya dengan senang hati. Namun, beberapa hal memang tidak bisa diubah. Sudah menjadi ketetapan Tuhan.

Kematian suami Nenek Laura hanya berselisih tiga hari dengan kematian anaknya yang meninggal lebih dahulu. Nenek Laura pastinya terpukul. Ia harus menerima kematian suaminya di saat makam anaknya belum benar-benar kering. Mungkin karena itu pula Nenek Laura memilih untuk tidak mengubur jenazah suaminya. Hal itu pula yang menjadi sebab kunjungan polisi tetangganya itu.

“Saya merasa sudah tidak memiliki apa pun di dunia ini. Jadi saya harap Anda bisa mengerti.”

Pak polisi masih duduk terdiam di depan Nenek Laura. Ia sama sekali belum menyeruput kopi yang dibuat untuknya. Tentu saja kopi itu sudah dingin, bahkan sudah dihinggapi lalat.

“Ternyata Anda masih tetap sama. Tidak pernah meminum minuman yang saya buat. Tapi saya tetap tidak keberatan.” Kemudian Nenek Laura menyeruput lagi tehnya. Teh itu sudah berkurang setengah.

Di benak Nenek Laura pernah terbesit keinginan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Beberapa pilihan pun sudah terlintas di dalam pikiran yang terbungkus oleh kulit yang tampak keriput itu. Di antara pilihan itu antara lain; gantung diri, menyayat urat nadinya dengan pisau dapur yang kerap ia gunakan untuk mengupas bawang, atau meminum racun tikus. Nenek Laura memang punya cukup banyak racun tikus. Racun tikus itu disimpannya di rak dapur yang terbuat dari kayu. Ia membeli racun tikus itu di toko kelontong yang berada di luar kompleks. Nenek Laura sengaja menyimpannya di dapur supaya mudah ketika ingin digunakan.

“Jadi saya rasa sudah cukup jelas kenapa saya memilih untuk menyimpan mayat suami saya. Karena dengan cara itu saya tidak terlalu kesepian lagi.”

Sejak awal Nenek Laura sudah merencanakan sesuatu terhadap jenazah suaminya. Ia langsung memisahkan kepala dari badannya begitu suaminya meninggal. Badan mayatnya ia kubur di belakang rumah. Sementara kepalanya dibakar hingga tinggal menyisakan tengkoraknya saja. Nenek Laura melakukan itu untuk menghindari bau. Tengkorak itulah yang akhirnya disimpan.

“Jika saya butuh teman mengobrol, saya akan mengambil kepala suami saya dan memasang di maneken yang kepalanya sudah saya lepas lalu saya dudukkan di kursi.”

Pak polisi yang berada di depannya masih terdiam.

“Setelah merasa cukup berbincang dengannya, saya akan kembalikan tengkorak itu ke dalam lemari tempat di mana saya menyimpannya,” imbuh Nenek Laura lagi.

Nenek Laura meneguk teh yang tersisa di gelasnya hingga tandas. Jakun yang terbungkus kulit keriputnya bergerak pelan berirama dengan tegukannya.

“Kepada Anda, saya menaruh racun tikus di kopi Anda saat berkunjung ke sini beberapa waktu yang lalu.”

Nenek tua itu berjalan ke dapur, membawa gelas kosongnya dan segelas kopi yang masih utuh. Ia kembali lagi ke meja berbentuk persegi yang terbuat dari marmer. Menghampiri Pak polisi, melepas topi polisinya, lalu mencopot kepalanya dari maneken, dan mengembalikannya ke dalam lemari.

“Besok malam giliran aku mengobrol denganmu, Sayang.” Nenek Laura kemudian menutup lemari itu.***

Anggoro Kasih

Lahir di Karanganyar, Jawa Tengah. Pernah menuntut ilmu di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UNS. Sekarang aktif di komunitas sastra Kamar Kata. Sangat menyukai musik metal dan pemandangan alam. Dapat dihubungi di kertaskusam21@yahoo.com.

anggoro kasihcerpenkesepian yang membunuhkontribusi
5
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Cita-Cita Karima

Surat Pengadilan

Repih dan Puisi-Puisi Lainnya

Pigura Hidup dan Puisi-Puisi Lainnya

Soal Bertemu Tuhan dan Puisi-Puisi Lainnya

Pulang ke Rumah Peradaban dan Puisi-Puisi Lainnya

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Polisi Terduga Pelaku Penyiksaan Terdakwa Kasus Salah Tangkap Klitih Gedongkuning Jalani Sidang Etik

    Maret 31, 2023
  • Rancangan Belum Matang, Rektorat Klaim Sistem UKT Baru Lebih Adil

    Maret 27, 2023
  • Sekat Gender dalam Perburuhan Sawit di Kalimantan

    Maret 22, 2023
  • Cita-Cita Karima

    Maret 19, 2023
  • SSPU Tetap Jalan, Aksi Tolak Uang Pangkal Hasilkan Pelibatan Mahasiswa dalam Kebijakan dan Penerapan

    Maret 16, 2023

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM