Sejak pemerintah Kota K membuat undang-undang baru yang berisi larangan terhadap semua kegiatan dan aktivitas pengarang, Kota K berubah menjadi begitu gelap, pekat, suram, lagi murung. Pembredelan percetakan, pemberhentian produksi kertas, penyitaan tinta-tinta, hingga penyanderaan pengarang-pengarang yang bersikeras menolak undang-undang sinting tersebut menjadi santapan harian penduduk Kota K.
Dengan banalnya, aparat suruhan pemerintah menggerebek tiap-tiap kios buku yang berjejer di sepanjang jalan. Mereka mengacak-acak bangunan reyot di atas petak tanah milik para pedagang yang tidak seberapa itu secara membabi buta. Robekan-robekan brutal mengudara, jalanan dipenuhi potongan-potongan buku yang sudah tak bisa dibaca lagi. Mereka terlindas ban kendaraan, hancur lebur lalu hanyut di aliran sungai, atau dicuri secara cuma-cuma oleh burung-burung yang tengah membangun sarang.
Guru-guru yang mengajarkan membaca pada anak-anak kecil mulai kehilangan pekerjaan. Mereka berhenti menyuarakan kata-kata. Papan tulis-papan tulis di kelas mulai kosong, hanya berisi angka-angka tanpa alfabet. Kantor radio tutup total, koran yang menyebarluaskan berita sudah lama gulung tikar akibat pemberhentian paksa produksi kertas. Semua yang ada sangkut pautnya dengan pengarang seolah dimatikan secara paksa.
Hal ini yang membuat Pak Loper Koran merasa cemas. Ia tidak bisa lagi membaca berita-berita gratis, berkeliling komplek—mulai dari perumahan mewah hingga warung kopi, atau sekadar berteriak dan berlelah-lelah di bawah terik matahari, di dekat lampu lalu lintas menawarkan koran-koran bawaannya. Anak-anaknya yang mulai pandai mengeja mendadak menjadi bisu. Segalanya seperti dipenuhi hal-hal horor dan ganjil. Selalu terasa ada yang salah tiap hari bergulir.
Pak Loper Koran yang di-PHK itu luntang-lantung di jalanan, sedikit iri dengan Pak Tukang Becak dan Pak Penyapu Jalan yang masih bisa bekerja. Pak Tukang Becak masih mondar-mandir membawa penumpangnya hilir mudik dari gedung ke gedung lainnya, Pak Penyapu Jalan juga masih senantiasa membersihkan jalanan dari robekan-robekan buku bekas amukan aparat beberapa minggu silam. Jalanan yang penuh robekan buku kembali bersih seperti sedia kala. Kali ini, buku-buku di kios-kios itu sudah raib, berganti dengan pamflet-pamflet foto pemerintah yang tersenyum lebar lima jari.
Kota K yang tadinya penuh ingar bingar, kini menjadi sunyi. Jika tidak ada keperluan yang berarti, percakapan dan interaksi hanya sebatas gerak tubuh. Tanpa kata-kata, Kota K menjadi kota bisu. Pak Loper Koran bertanya-tanya ke mana perginya kata-kata. Apakah ikut ditangkap bersama pengarang-pengarang yang melawan itu? Apa kabar kata-kata, apakah mereka sudah makan dan istirahat?
Setelah berminggu-minggu memutari Kota K yang mulai lesu dan layu seperti dilanda pagebluk, Pak Loper Koran pulang dengan kesedihan tak terperi. Ia menemukan anaknya sudah tidak lagi akrab dengan kata-kata sebagaimana anak-anaknya yang mulai pandai mengeja. Kebisuan mereka semakin tampak nyata di depan mata kepala. Dengan terbingung-bingung, Pak Loper Koran mulai mencari kata-kata ke penjuru kota.
“Wahai kata-kata, ke mana gerangan kalian pergi?” ratapnya pilu. Dia memutari alun-alun kota yang senyap, lalu menyusuri gang-gang bau nan sempit yang penuh dengan preman-preman—bisu—bertato yang menatapnya nyalang, lalu duduk sejenak di pekuburan yang lengang, lalu makan siang di sebuah warung yang hanya menyodorkannya sepiring nasi dan sayur tanpa terlebih dahulu bertanya.
Kata-kata benar-benar menghilang. Pak Loper Koran makan sambil mengernyitkan dahinya. Kata-kata hanya istirahat sebentar ketika penyair hebat yang terkenal itu pergi. Pengarang-pengarang masih senantiasa menjaganya agar tidak kabur ke mana-mana. Kota K masih baik-baik saja tanpa si penyair hebat. Meski gosipnya si penyair juga menghilang karena melawan pemerintah, Pak Loper Koran ingat betul bahwa kata-kata masih ada.
Ini semua terlampau mencurigakan.
Pak Loper Koran kemudian bertanya pada pemilik warung, “Ibu Pemilik Warung, apakah Anda tahu ke mana perginya kata-kata?”
Perempuan paruh baya itu hanya menggeleng dalam diam. Sama dengan Pak Tukang Ojek dan Pak Kuli Bangunan di kanan-kirinya yang menggeleng dalam diam. Mereka juga tidak mengetahui ke mana perginya kata-kata. Sejak pengarang-pengarang diculik, buku-buku dirampas, dan guru-guru bahasa dinonaktifkan, berbicara seperti menjadi sesuatu yang tabu.
Pak Loper Koran bertambah heran ketika melanjutkan perjalanan dan sampai di kandang milik Pak Peternak, sahabatnya. Kambing-kambing yang awalnya hobi mengembik-embik ketika musim kawin kini hanya berdiri diam sambil merumput dengan malas. Begitu juga dengan ayam-ayam jago Pak Peternak yang berkokok tiap pagi kini seakan lupa pada tugasnya. Mereka hanya bergerak-gerak tanpa suara seperti manekin. Pak Peternak menggeleng lemah ketika Pak Loper Koran lagi-lagi menanyakan apa yang terjadi pada hewan-hewan miliknya tersebut.
Lama-kelamaan, Pak Loper Koran frustrasi. Dengan segenap keberanian dan kegelisahan-kegelisahan yang dikumpulkannya, Pak Loper Koran mendatangi Gedung Pemerintahan di pusat Kota K. Ia tak mengindahkan penjaga-penjaga gerbang yang bersikeras menolak kehadirannya. Tak ada satupun dari mereka yang berkata-kata, hanya gertakan dan ekspresi wajah garang yang mereka layangkan pada Pak Loper Koran.
Pak Loper Koran membalas kebisuan mereka dengan ketulian. Ia berjalan dengan penuh amarah ke ruangan tempat anggota dewan yang merumuskan undang-undang pemberhentian kegiatan dan aktivitas pengarang. Namun, belum sampai di depan ruangan tersebut, ia dikejutkan oleh seorang Pemuda yang berlari-lari sambil terengah-engah memanggilnya, “Pak Loper Koran! Pak Loper Koran!”
Pak Loper Koran membatu di tempatnya. Pemuda itu datang bersama kata-kata yang selama ini ia cari-cari. Tanpa berkedip, Pak Loper Koran segera menjawab si Pemuda, “Ya, Nak. Ya. Saya Pak Loper Koran,” ujarnya dengan napas tertahan dan tangan bergetar.
“Anda mau ke mana Pak Loper Koran?” tanya si Pemuda.
“Saya hendak mengadu pada pembuat undang-undang. Betapa bodohnya ia, merumuskan undang-undang gila yang menyebabkan kota kita menjadi kota mati,” jawab Pak Loper Koran dengan berapi-api.
Si Pemuda meresponsnya dengan tak kalah berapi-api, “Wah, kalau begitu Pak Loper Koran harus segera menyelamatkan para pengarang yang ditangkap! Tanpa mereka, kata-kata tidak bisa menjangkau pelosok Kota K! Sama seperti Pak Loper Koran yang mengantarkan koran, para pengarang juga bertugas menyampaikan kata-kata untuk semua orang!”
Pak Loper Koran mengangguk setuju. Semangatnya makin membumbung.
“Apakah Anda mau berjuang bersama saya, wahai Pemuda?” tanya Pak Loper Koran penuh harap. Ia bahkan belum mengumpulkan cukup bukti untuk menuntut pemerintah untuk dilaporkan ke Mahkamah Tertinggi di Kota K. Dengan hampir seluruh penduduk Kota K yang kehilangan kata-kata, Pak Loper Koran tidak bisa bekerja sendirian.
“Maaf Pak Loper Koran, saya—”
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, petugas-petugas berbadan kekar dan berwajah garang tiba-tiba menyeret Pemuda dengan kasar ke ruangan sebelah. Ia meronta-ronta tanpa kata, hanya suara-suara tanpa arti yang sampai pada Pak Loper Koran yang juga tengah dihajar oleh petugas-petugas lainnya. Wajahnya babak belur, dahinya bonyok, rahangnya kebas, gigi geriginya rontok.
“Pemuda! Jangan pergi dahulu! Saya ingin membantu Anda—”
Kemudian, sama seperti si Pemuda yang tak bisa menyelesaikan kata-katanya, Pak Loper Koran merasakan pita suaranya terlilit dan tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia menggerakkan belah bibirnya, menggertakkan sisa-sisa giginya yang belum rontok, dan menggoyangkan rahang kebasnya, tanpa menghasilkan apa-apa. Ia meraung-raung tanpa bisa didengar dan dipahami. Sebelum pingsan, sekelebat bayangan si Pemuda yang tengah didudukkan di kursi listrik disaksikan oleh Pak Loper Koran.
Di hari eksekusi kematiannya, Pak Loper Koran kemudian mengetahui bahwa Pemuda yang dijumpainya adalah pengarang terakhir di Kota K.
Penulis : Farah Ramadanti
Ilustrator : Tata Adi Tiastiti