Memasuki desa Glagah, Temon, Kulonprogo (10/3) petani tengah memisahkan padi dari tangkainya. Butir-butir yang telah menguning itu siap dimasukkan ke karung untuk lalu dijual. Hanya terpisah oleh kali kecil, para petani lain sedang menggarap lahan cabai. Sore itu, cuaca lembab setelah hujan, mereka menutup tanah yang telah dipupuk dengan plastik dan mulai melubanginya dengan sejenis kaleng panas. Langkahnya hati-hati tapi pasti, hanya sebentar saja, lahan tumpang sari siap ditanami benih cabai. “Saya memiliki lahan seluas 3000 meter persegi. Sekali menanam cabai saya dapat memanen sebanyak 18-22 kali. Setiap memanen saya bisa mendapat 15 juta rupiah,” kisah Agus Supriyanto salah seorang petani.
Mayoritas warga Glagah menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Tanah yang subur memungkinkan warga untuk menanam beragam varietas tanaman. Namun, lahan produktif ini terancam digusur. Pasalnya, pemerintah bersiap membangun bandara di tanah seluas kurang lebih 637 hektar ini. “Izin Pemberian Lahan (IPL) dari Kementrian Perhubungan (Kemenhub) sudah dikeluarkan. Sementara IPL yang dikeluarkan Gubernur masih dalam proses sosialisasi dan konsultasi publik,” ujar Hamzal Wahyudin, S.H., ketua advokasi Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Seharusnya, IPL yang dikeluarkan oleh Kemenhub mengacu pada Pasal 2 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2012. Pasal ini berbunyi, lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan keserasian dan keseimbangan dengan budaya setempat dan kegiatan lain terkait di lokasi Bandar udara. Demikian pula dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Pasal 9 menyatakan, Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
Lepas dari peraturan yang ada, pemerintah menilai pendirian bandara di Kulon Progo cukup mendesak. Bandara Adi Sucipto yang masih menumpang lahan TNI AU dinilai kurang luas. “Daerah yang paling luas dan rata memang hanya ada di Kulon Progo,” ujar Suyitno, ahli pertanahan Keraton yang juga dosen pertanahan FH UGM.
Agus dan ratusan petani lain menolak pembangunan bandara ini. Pada 2012, mereka menyatukan diri di bawah organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT). Tiga pihak yang tergabung di dalamnya adalah pemilik lahan, petani penggarap dan petani yang mengolah lahannya sendiri. Sekitar 700 kepala keluarga kini tergabung dalam WTT. Kebanyakan mereka adalah masyarakat yang terkena dampak langsung dari pembangunan bandara. “Bukan hanya pemilik lahan yang merasa terganggu kepentingannya, beberapa masyarakat yang hanya bekerja sebagai buruh tani dari luar Yogyakarta pun menggantungkan nasibnya di sini,”ungkapnya.
Kenyataannya, mereka kurang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. Kebijakan yang masih simpang siur membuat masyarakat semakin resah. Konsultasi publik yang digelar pemerintah dan pengembang justru berbau kecurangan. Sejak semula, pemerintah dan pengembang hanya menghitung suara warga yang hadir dalam konsultasi publik saja. Sehingga, warga yang absen tidak dihitung pendapatnya. Padahal menurut Agus, warga yang menghadiri konsultasi public diarahkan untuk menyetujui proyek pembangunan bandara. Mereka diberi bingkisan dan amplop yang berisi sejumlah uang. “Kalau yang datang diberi payung dan uang siapa yang tidak senang?” tanya Agus retoris.
Sementara itu, masyarakat yang tergabung dalam WTT malah tak diperkenankan menghadiri konsultasi publik pada 23 September 2014. Keinginan massa untuk dilibatkan justru berujung pada kriminalisasi empat anggota WTT. (Baca selengkapnya Mengungkap Kriminalisasi Petani Temon). Ketegangan penggusuran memang sudah terjadi sejak tiga tahun lalu, namun isu kriminalisasi telah mengangkatnya kembali. Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M. A., dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum UGM berpendapat, “Kita jangan sampai teralihkan isu kriminalisasinya jika ingin meng-advokasi hak masyarakatnya.”
Wahyudin menegaskan, pihaknya akan mendampingi proses hukum yang menimpa keempat warga tersebut. Tak hanya berhenti pada pendampingan empat warga, LBH Yogyakarta pun mendampingi masyarakat untuk mempertahankan lahannya agar tidak digusur. Hak tanah yang melekat pada masyarakat adalah hak milik karena telah menggarap lahan sudah lebih dari 20 tahun. Agus mengungkapkan, di tahun 1976 pihak pemerintah melakukan pembagian lahan yang dilakukan bertahap hingga tahun 2003. “Pemerintah berperan dalam membagi lahan kita, kami ingat itu hingga kami memiliki besaran lahan yang adil untuk digarap bersama,”imbuhnya.
Akan tetapi, pengaturan mengenai pertanahan di Yogyakarta berbeda dengan hukum nasional. Dalam kasus bandara Kulon Progo, mayoritas tanah di Temon diklaim sebagai Tanah Pakualaman. Namun, Wahyudin tetap bersikeras bahwa tanah ini adalah tanah masyarakat secara sah. “Sudah sejak 1984 Tanah Swapraja seperti itu diserahkan pada negara, namun Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta justru mengembalikannya kembali,”ungkap Wahyudin (simak selengkapnya mengenai Pertanahan Yogyakarta pada Majalah Balairung Edisi 51/XXIX/November 2014, yang berjudul Benturan Kepentingan Penguasaan Tanah).
Selama dua puluh tahun menempati lahan itu, petani sudah berusaha mendaftarkan tanah mereka ke Badan Pertahnahan Nasional. Harapannya, mereka mendapat sertifikat hak milik yang sah. Namun, kebanyakan warga hanya didata dalam berkas Letter C. Sampai kini pun, beberapa warga yang telah memiliki hak milik bahkan tidak diundang ke konsultasi publik. Keluarga Pardi, anggota WTT, hanya mendapatkan satu undangan meski ada delapan orang dalam keluarganya yang memiliki hak milik. “Padahal keluarga yang lain, yang bukan termasuk anggota WTT diberi surat undangan per pemilik petak lahan,” ungkap Pardi, seorang anggota WTT.
Wahyudin mengungkapkan adanya upaya pelemahan terhadap perjuangan masyarakat. Kecurangan dilakukan sejumlah oknum, membujuk dengan berbagai macam cara. “Ada PNS yang diancam untuk dipindah ke luar Pulau Jawa, diberhentikan, bahkan ada yang mengiming-imingi dengan uang,” ungkap Purwinto, Ketua WTT yang telah demisioner. Beberapa pihak yang tidak berkenan disebut namanya bahkan mengatakan pihaknya menyetujui pembangunan bandara karena alasan takut. “Jadi, kalau media kebanyakan bilang 90% masyarakat pro pembanguann bandara, itu bohong,” tambah Purwinto.
Ancaman oknum yang meneror warga menyebabkan masalah sosial baru. Masyarakat terpecah menjadi pihak pro dan kontra pembangunan bandara. Minggu lalu (15/03) ketika seorang anak anggota WTT meninggal dunia, hanya anggota WTT yang bersedia mengurus jenazah. “Gejolak sosial yang ada sudah separah ini. Padahal kami sendiri tak ingin terpecah belah,” ujar Agus.
Oleh karenanya, LBH Yogyakarta telah melayangkan surat pada Gubernur DIY. “Kami telah mengajukan keberatan pada Gubernur. Harapannya akan menjadi pertimbangan penerbitan IPL darinya.” Sebab itu, kini perjuangan WTT didukung beberapa komunitas pergerakan seperti, Sekolah Bersama, Forum Komunikasi Agraria, Paguyuban Petani Lahan Pantai, dan sebagainya. “Mahasiswa UII, UIN, bahkan beberapa komunitas dari luar jawa pun mendukung kami. Oleh karenanya kami tak sedikitpun merasa sendiri,” beber Agus, yang juga Humas WTT.
Arum berpendapat, adanya dukungan memang akan melancarkan perjuangan. Ia mengambil contoh diperlukannya peran mahasiswa untuk membantu masyarakat. Mahasiswa yang tidak memliki kepentingan langsung dapat menggunakan akal sehatnya untuk menentukan sikap terbaik. Idealnya mahasiswa mampu menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Akhirnya, pemerintah DIY yang paling berwenang dalam menyelesaikan kasus ini. “Ia harus mendengarkan kedua belah pihak secara imbang baru setelah itu dapat memutuskan sikap yang paling adil,”pungkasnya. [Nuresti Tristya Astarina, Ganesh Cintika Putri]