“Kita digusur, kita dimatikan. Sekarang kita jadi pengangguran,” ucap Utami Budi Wiranti, salah seorang pedagang kaki lima di sisi selatan Stasiun Wates dengan suara terisak. Ia menyatakan kesaksian tersebut saat konferensi pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta bertajuk “Warga Menggugat Kesewenang-wenangan Pemkab Kulon Progo” pada Kamis (27-10). Konferensi ini dihadiri oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Komunitas Jaringan Solidaritas untuk Kulon Progo (Jarikrogo), Koalisi Lintas Isu, Indonesian Court Monitoring (ICM), dan Jaringan Warga Anti Penggusuran Yogyakarta.
LBH Yogyakarta menggelar konferensi tersebut sebagai respons atas penggusuran paksa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulon Progo pada 12 Agustus 2022 lalu. Utami bersama pedagang lainnya digusur tanpa adanya dasar hukum yang jelas. “Mereka yang memindahkan kami ke sana. Sekarang mereka juga yang menggusur kami,” ucap Utami.
Menyambung Utami, Totok dari Komunitas Jarikrogo juga menjelaskan bahwa pada tahun 2014, PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi VI melakukan penataan ulang bagian dalam Stasiun Wates. Dengan alasan tersebut, PT KAI Daerah Operasi VI memindahkan para pedagang ke bagian luar sisi selatan Stasiun Wates. “Awalnya, para pedagang dipindahkan sementara ke sisi selatan stasiun, sembari menunggu pembangunan kios yang dijanjikan selesai dalam waktu dua bulan,” ungkap Totok.
Namun, sampai sekarang, janji tersebut tidak pernah terealisasikan. Padahal, menurut Totok, PT KAI telah menganggarkan dana pembangunan kios bagi para pedagang. “Karena sampai sekarang kios tersebut tidak dibuatkan, teman-teman tetap berdagang di sisi selatan stasiun,” jelas Totok.
Kembali ke penggusuran yang dilakukan oleh Pemkab Kulon Progo, Wahyu selaku perwakilan ICM menyatakan bahwa pengerahan Satuan Pamong Praja (Satpol PP) pada penggusuran tersebut ternyata tidak didasari oleh surat perintah yang jelas. Pasalnya, menurut Wahyu, surat peringatan yang diterima oleh para pedagang dikeluarkan oleh PT KAI, tetapi dalam eksekusinya dilakukan oleh Satpol PP. “Ini adalah ancaman bagi demokrasi Indonesia,” sambung Wahyu.
Membenarkan pernyataan Wahyu, Dhanil Al Ghifari, Kepala Bagian Advokasi LBH Yogyakarta, mengungkapkan perintah Pemkab Kulon Progo kepada Satpol PP untuk menggusur PKL melanggar peraturan pemerintah. Sebab, menurutnya, tugas Satpol PP adalah penegakan Peraturan Daerah (Perda), bukan melaksanakan permintaan dari PT KAI. “Pengutusan Satpol PP oleh Pemkab Kulon Progo hanya didasari oleh permintaan PT KAI, bukan pelanggaran Perda oleh para pedagang,” jelas Dhanil.
Selain itu, Dhanil menjelaskan bahwa tindak penggusuran tersebut telah mencederai asas partisipasi publik. Menurutnya, hal ini ditunjukkan dengan Pemkab Kulon Progo yang ternyata tidak melakukan sosialisasi kepada para pedagang sebelum melakukan tindak penggusuran. “Penggusuran itu terjadi tanpa pernah ada sosialisasi dari Pemkab Kulon Progo,” ungkap Dhanil.
Senada dengan Dhanil, Wandi Syahputra Nasution selaku moderator menyebutkan bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP adalah bentuk arogansi tanpa adanya basis hukum yang jelas. Oleh sebab itu, pedagang kios sisi selatan Stasiun Wates didampingi oleh LBH Yogyakarta melayangkan gugatan daring kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta atas tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan Pemkab Kulon Progo, Satpol PP, dan PT KAI.
Reporter: Sukma Kanthi Nurani (Magang)
Penulis: Michelle Gabriela, Sukma Kanthi Nurani, dan Fachruddin Abdul Rabb (Magang)
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Muhammad Adrian Firmansyah Marwanto (Magang)