BANGUNNYA matahari pagi seketika meleburkan angin ke tengah lautan. Ditambah riak-riak kecil air bertubrukan dengan pasir putih yang mendiami gugusan sepanjang pantai, suasananya terasa sedap sekali bagi siapapun yang masih rancak indera perasanya. Tak jauh dari pertemuan pasir dengan air laut itu, pohon-pohon kelapa tua berbaris rapi, membentuk paduan warna yang mencengangkan bila dilihat dari ketinggian, birunya air laut, putihnya pasir pantai, dan lambaian nyiur yang menghijau meski sudah berumur. Semuanya bersatu layaknya lukisan yang tergubah dalam sebuah perenungan penuh gairah membuncah.
Namun ketentraman yang ditawarkan pantai pada pagi itu tak sekejap membuat Jelonteng melambatkan langkah kakinya. Ucapan selamat pagi yang ditabikkan oleh barisan pohon kelapa tua tak digubrisnya. Pun cahaya matahari yang tersuruk perlahan melalui celah antara nyiur nan diam. Buat orang pantai macam dia, tentu hal itu sudah biasa. Sudah jadi sarapannya sehari-hari, beda ceritanya kalau ditanyakan kepada orang-orang kota yang saban akhir pekan beranjangsana ke pantai tersebut. Bagi mereka, setiap lambaian nyiur adalah momen yang sulit luput dari bidikan kamera, dan gerakan air laut yang mendekati bibir daratan adalah pesona luar biasa yang dapat membangkitkan pemaknaan mereka akan kehidupan.
Tapi bukan karena itu pula Jelonteng berjalan semakin cepat. Semakin matahari bergerak mendekati ujung kepalanya, semakin dirasakannya waktu menipis untuknya. Jadi, menurutnya, tak ada sempat untuk menikmati matahari pagi, apalagi nuansa pantai yang begitu damai. Pikirnya, mereka semua hanyalah benda-benda sempalan yang cuma jadi pelengkap pekatnya hidup manusia. Pesona yang mereka haturkan tak seberapa digdaya dengan kegelisahan yang tersangkut pada hatinya pagi itu.
Menjelang tibanya pada rumah yang dituju, langkah Jelonteng berhenti ketika disapa oleh Bonggol. “Pagi kawan, nampaknya ikan-ikan di dermaga belum juga habis, mengapa begitu cepat kau berjalan?” ujar pria itu, setengah berteriak dari teras rumahnya yang tepat berada di sebelah jembatan kecil sebelum rumah yang dituju Jelonteng.
“Bukan melulu persoalan tentang ikan hidup ini, Bonggol. Ada yang lebih besar pengaruhnya buat hidup ketimbang sekedar menghabiskan ikan tangkapan nelayan di dermaga,” balas Jelonteng setengah hati, karena merasa waktunya terbuang begitu saja dengan diladeninya sapaan dari Bonggol. Namun karena tak ingin diomongi sebagai penduduk desa yang tak paham soal bertetangga, Jelonteng membelokkan langkahnya sejenak ke rumah Bonggol, sekadar bersalaman sebagai tanda kepahamannya akan soal bertetangga.
“Ceritakan padaku, apa yang lantas lebih penting dari sekedar ikan-ikan di dermaga pada pagi ini, yang membuatmu melangkah seperti tak ada hari besok saja,” kata Bonggol penuh keramahan. Jelonteng, yang tak mengiyakan ajakan Bonggol untuk duduk sebentar di dipan teras rumahnya, membalas “Nanti saja kuceritakan, Man, setelah aku kembali dari rumah Pak Ruk.”
Seperti mengetahui dengan jelas isi kepala Jelonteng, Bonggol tiba-tiba melepaskan senyum, entah berarti keramahan atau pertanda meremehkan. Bahwa kemudian ia menyorongkan surat kabar edisi hari itu kepada Jelonteng, bisa saja karena lekasnya Bonggol membaca raut keningJelonteng yang tampak terus mengusut. Tetapi yang menggusarkan Jelonteng adalah ketika membaca sebaris judul pada berita utama Suara Perbatasan, koran yang diberikan Bonggol kepadanya itu.
“Jadi orang-orang kota sudah pada tahu, Gol?” kata Jelonteng kepada Bonggol setelah meletakkan koran di atas dipan. Tanpa dibaca sama sekali olehnya isi dari si berita utama. Judulnya saja sudah membuatnya semakin pening, apalagi dengan membaca kata per kata dalam tulisan tersebut.
“Maklumi saja, kawan. Suara jarum pentul yang jatuh ke lantai di desa kita ini saja bisa langsung diketahui oleh seluruh orang di pulau.[1] Apalagi kabar semacam ini, Jelonteng! Lihat pula fotonya! Apa tetap tak malu kau berkawan dengan Pak Ruk yang kau banggakan itu?”
***
Senggaruk baru saja kembali dari dermaga ketika seorang lelaki mendatangi pintu rumahnya. Lumayan jatah ikan pimpinan yang ia dapatkan pagi itu dari Bang Sirduk dan kawan-kawan, nelayan perantauan yang suka buang sauh di dermaga desanya.
“Pak Ruk, Pak Ruk!” dari suaranya saja Senggaruk bisa menerka siapa yang datang, orang dekatnya yang kalau pakai istilah tata pemerintahan sekarang ini bisalah disebut sebagai asprinya[2].
“Masuk, masuk, Nak Jelonteng. Ada berita apa pagi ini? Rumah Mamakmu kehabisan air lagi?” ucap Senggaruk setelah menyilakan lelaki itu masuk ke dalam rumahnya.
“Sarang burung?” tawar Senggaruk kepada lelaki itu sambil menyodorkan sekaleng minuman ekstrak sarang burung, “Ini dari orang-orang kota kemarin bertandang kemari, masih ada sedos penuh!”
“Orang-orang kota itu sudah datang kesini? Tepat nian kata-kata orang dulu, suara jarum pentul yang jatuh di desa ini bisa langsung terdengar oleh orang seluruh pulau, Pak Ruk!”, jawab lelaki yang disebut Jelonteng itu, seakan menepis tawaran sekaleng sarang burung dari Senggaruk.
“Begini, Pak Ruk. Mungkin sudah Bapak dengar dari orang-orang kota itu tentang almarhum Pak Mantan?”
“Ya, sedikitnya sudah. Mereka hanya tanya-tanya dimana nisan Pak Mantan, akunyasih, saudara-saudara jauh Pak Mantan, meskipun tak langsung aku percayai karena belum pernah nongol batang hidungnya selama ini. Adakah berita yang ingin kau sampaikan ada kaitannya dengan orang-orang kota semalam?”
“Bapak ada lihat mereka saat pemakaman Pak Mantan tempo hari?”
“Sama sekali tidak. Kubilangkan, melihat batang hidungnya saja belum pernah, apalagi melihat wujudnya dari ujung kepala sampai ke kaki, kekekekeh”, balas Senggaruk sambil mengelus kumis semi Gablenya, yang konon membuat kaum wanita memilihnya saat pilkades belum lama ini.
“Lalu kedatangan mereka kesini?”
“Katanya mau jenguk, minta doa.”
“Mendengar cerita saya ini justru Bapak yang pasti akan berdoa supaya mereka tak lagi-lagi ke desa ini,” kata Jelonteng yang tergugah juga melihat sekaleng sarang burung di atas meja tamu Senggaruk. Diminumnya secepat kilat, barangkali sebagai bentuk pemanasan sebelum masuk kepada inti kedatangannya ke rumah Senggaruk.
“Cerita? Pagi-pagi benar kau kemari hanya untuk menyebarkan cerita? Yang aku mau berita, tak adakah berita untukku pagi ini?”
“Entah bapak akan percaya saya atau tidak percaya sama sekali, tapi cerita saya ini bisa jadi berita buat Bapak!”
“Yaaa.. berita atau cerita, segeralah aku diberitahu!”
“Baik, Pak Kades. Ini saya dengar dari Wak Gandisuk, anak lelakinya almarhum Pak Mantan yang mengaku ketemu ayahnya dalam mimpi.Dari cerita tentang mimpinya itu, kemudian aku tahu kalau Pak Mantan rupanya menyimpan harta karun yang disembunyikan olehnya sendiri. Kalau orang desa tahu bisa geger, kata almarhum begitu. Desa kita bisa tercemar, karena dengan terkuaknya perihal harta ini bisa membusukkan nama desa sebagai desa yang lapuk dan terbelakang. Jangan sampai ada orang yang tahu, katanya begitu, apalagi orang-orang kota yang kepalanya hanya berisi gemerincing gelimang uang. Harta itu, lanjut almarhum, sebenarnya tak berbentuk uang atau emas atau benda-benda berkilau yang bisa ditukar dengan bergepok-gepok rupiah. Nilainya lebih bernilai dari segala hal yang bernilai di muka bumi!” terang Jelonteng yang kemudian mereguk tetesan terakhir dari sekaleng sarang burung yang masih menyisa.
“Kalau Pak Mantan yang bilang berharga, sudah itu sangat berharga, nak Jelonteng. Adakah kelanjutan dari berita tentang mimpi itu?”
“Biarkan saya sejenak membetulkan ingatan. Oh, ya! Almarhum kabarnya juga memberi petunjuk tentang kediaman ‘harta’ yang teramat bernilai itu. Sayang Wak Gandisuk tak segera menceritakan sesungguhnya apa yang dimaksudnya sebagai petunjuk itu…..”
Tanpa menunggu kelanjutan cerita, Senggaruk, yang belum lama tiba di rumahnya dari dermaga tempat ia mengambil jatah ikan untuk pimpinan, lekas beranjak dari kursi tamu, mengambil kunci honda[3] yang tergantung di balik pintu depan rumahnya.
“Kemana Bapak?”
“Tanpa kau tanya sebenarnya kau tahu aku akan kemana. Terimakasih atas beritamu itu, nak. Pulanglah sekarang, siapa tahu Mamakmu kesulitan air lagi di rumahnya!”
***
Tak sulit mengambil hati orang desa ini, pikir Senggaruk. Hanya dengan sedos sarang burung yang didapatnya dari orang-orang kota, Wak Gandisuk dengan lancar bercerita dengan lengkap mimpi tentang almarhum ayahnya. Dalam hatinya ia merasa keluar sebagai pemenang. Hadiah yang kemungkinan didapatnya mungkin tak akan tergali dari liang manapun di dunia.
Mahkluk seperti apa si Gandisuk itu, pikirnya, sampai-sampai sedemikian takut mengeksekusi ilham yang didapat dari mimpinya itu. Satu hal yang paling ia sukai dari cerita Wak Gandisuk, yang kemudian semakin mendorongnya menuju pintu si harta, adalah kalimat terakhirnya: “Aku beberkan begini supaya jangan Pak Kades lakukan tentunya. Begitu bernilainya, kemungkinan yang membuat ayah saya sampai tidak menganjurkan untuk melakukan pencarian terhadap harta itu.”
Namun petuah semacam itu bagi Senggaruk adalah perintah. Sebuah perintah untuk melakukan perburuan harta, secepat mungkin. Siapa yang bisa menolak kesempatan mendapatkan peninggalan dari Pak Mantan, legenda desa yang telah bertahun-tahun menjadi kades sebelum dirinya? Seluruh warga begitu taat-setia menjadikannya sebagai patron. Apa yang dikatakan Pak Mantan berarti undang-undang bagi warga desa.
Perihal selalu terpilihnya ia sebagai kades, dalam setiap pidato pelantikannya ada satu kalimat yang barangkali dihapal mati oleh para warga. “Atas permintaan dan kehendak seluruh warga desa, saya terus mengemban amanat ini. Karena suara rakyat adalah suara yang paling nyata, dan suara yang paling nyata adalah suara dari Tuhan sendiri, maka dengan ini saya kembali menjabat sebagai kepala desa”, yang kemudian diikuti dengan riuh rendah tepukan tangan dari hadirin penonton upacara pelantikan. Selalu begitu setiap lima tahun sekali, berarti sudah enam kali terjadi skenario semacam demikian sampai akhirnya beliau mangkat.
Seperti yang dikatakan oleh Wak Gandisuk, Senggaruk mengarahkan honda-nya menuju nisan Pak Mantan. Dalam perjalanannya, pikirannya hanya berkisar pada sebanyak apa harta peninggalan Pak Mantan yang bisa masuk ke kantongnya. Itu kalau ternyata berupa uang atau materi berharga yang bisa dinilai dengan uang. Kalau ternyata adalah setumpukan petuah mengenai bagaimana cara menjadi pemimpin yang disukai dan ditaati warga, Senggaruk juga tak akan menyesal. Yang ia yakini, seperti cerita Jelonteng dan Wak Gandisuk, Pak Mantan meninggalkan harta yang amat berharga, sampai-sampai anak lelakinya sendiri sungkan untuk melakukan pencarian. Senggaruk juga tak sedikitpun percaya kalau harta karun Pak Mantan tidaklah berupa gemerincing gelimang uang, seperti kata Jelonteng kepadanya.
Letak pekuburan yang cukup berjarak dari desa membuat pikiran Senggaruk semakin menari-nari. Jalan kabupaten yang terlalu lurus berbanding terbalik dengan isi otaknya yang semakin tidak lurus. Kekalutan juga membalut dalam ambisi pribadinya sebagai satu-satunya orang yang bisa memiliki harta peninggalan Pak Mantan. Apa jadinya kalau ternyata bukan uang atau setumpuk nasehat dari seorang pemimpin legendaris yang disayangi warga desa? Apa jadinya kalau ternyata Gandisuk hanya bermaksud untuk membuatnya semakin bego dengan ceritanya? Serta berbagai kecamuk lain yang mendera dan sulit untuk cepat-cepat pupus dari kepalanya.
Ah, ya! Ruangannya Pak Sekdes. Jumlah gambar yang dipajang di dindingnya memang pas. Presiden dan wakilnya. Gubernur dan wakilnya. Pak Bupati dan wakilnya. Yang paling bawah tentu gambar kepala desa yang sejajar dengan gambar rupa sekdes. Cuma perpaduannya saja yang tidak enak dilihat menurut Senggaruk. Bagaimana bisa tahan enak-enak duduk saling bertukar laporan di ruang sekdes kalau gambar kades yang menggantung di dinding adalah wajah dari Pak Mantan?
Setiap Senggaruk masuk ke ruang kerja sekdes sebenarnya ada satu hal yang selalu ingin ia teriakkan kepada sekdes: ‘Kok tak segera diturunkan, paaaaak?!?!?’. Tapi namanya juga ingin, jadi masih dalam wilayah angan-angannya sendiri.
Enak jadi sekdes, duduk nyaman, minim goyangan dari warga, puluhan tahun menjabat juga tak membuat warga desa berunjuk rasa. Tiga orang kades telah bergantian duduk di ruang kerja kades, dari mulai kades sebelum Pak Mantan, Pak Mantan, kemudian penerusnya Pak Mantan yaitu Senggaruk sendiri. Sekdesnya? tak kunjung lengser, tetap menjadi sekdes yang sama, dengan senyum yang sama kepada setiap kades, dan “ucapan minta izin untuk pulang duluan dari kantor karena tubuhnya yang sering kena masuk angin kalau kembali ke rumah sore hari sesuai jadwal pulang kerja” yang juga sama kepada setiap kades.
Pak Mantan! Enak sekali jadi Pak Mantan, pikirnya. Sudah matipun tetap saja mengundang perhatian. Itulah jadinya kalau awet jadi penguasa. Yang kurang mungkin hanya belum ada kodifikasi untuk mengumpulkan sejumlah kata-kata Pak Mantan yang sejatinya telah tersimpan dalam perasaan warga desa sebagai hukum yang terutama. Legenda Pak Mantan ini bisa membunuhku pelan-pelan, keluhnya dalam hati. Harapannya, entah apapun bentuk harta yang akan ia dapatkan dari Pak Mantan, wibawa dan citranya sebagai seorang kades perlahan muncul, setidaknya menyamai sang legenda.
Setibanya di depan nisan yang dituju, Senggaruk mengingat kembali petunjuk yang ditawarkan Wak Gandisuk kepadanya untuk dilakukan.Petunjuk pertama, ia harus bermalam di samping nisan Pak Mantan dengan term of conditions yang juga telah ditentukan. Ia harus begini, posisi kakinya harus seperti apa, sampai jenis pakaian apa yang harus dikenakan, semuanya dituruti Senggaruk yang semakin gelap mata. Haus akan kemashyuran kecil-kecilan telah membuatnya tunduk pada sebuah nisan.
Malam semakin pekat. Bagi Senggaruk, aura kusam dan kelam dari pekuburan telah hilang, tergantikan oleh pancaran harapan yang semakin menggeliat dari dalam jiwanya. Tepat saat bulan setengah di atas kepalanya, Senggaruk melakukan sesuatu yang baginya adalah pintu menuju hari depan yang memabukkan. Sesuatu yang menurutnya tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang tak mengerti akan pentingnya harta peninggalan Pak Mantan, pikirnya. Otaknya musnah, tanpa bekas.
Tepat setelah langit berkilatan, lakukanlah tarian kemashyuran. Tepat setelah tarian kemashyuran, harta itu kau dapatkan.
Demikian cerita Wak Gandisuk kepada Senggaruk.
Tanpa Senggaruk tahu bahwa langit berkilatan yang dimaksud adalah kilat dari kamera yang digunakan oleh Wak Gandisuk di balik pohon besar yang tak jauh dari nisan pengharapan.
***
Berita Utama Suara Perbatasan, edisi Senin, 27 Oktober 2014: “Kades (maaf) Menari Telanjang di Depan Nisan, Terancam Dimakzulkan karena Memalukan”.
*) Moses Parlindungan merupakan Pemenang II Lomba Cerpen yang diadakan dalam rangka HUT Balairung ke–29 pada 29 Oktober 2014.
[1]Gurauan khas penduduk pulau tersebut. Pembaca dirasa perlu tahu.
[2]Asisten Pribadi.
[3]Sebutan masyarakat pulau tersebut untuk sepeda motor.