Judul : Gerakan Literasi Media Indonesia
Editor : Dyna Herlina
Tahun terbit : 2012
Penerbit : Rumah Sinema Publisher
Halaman : x + 93
Film hanyalah film jika ditonton. Membangun pengetahuan film yang merakyat tentu harus memasukkan konsep menonton.
Tube to glue. Perumpamaan tersebut dalam bahasa Indonesia dapat diartikan (terjemahan bebas) sebagai ‘layar yang menempel’ atau dapat juga diartikan ‘kedekatan yang erat dengan layar’. Kalimat itu sedikit banyak mampu menggambarkan keadaan masyarakat, khususnya Indonesia saat ini. Masyarakat begitu dekat dengan keberadaan ‘dunia layar’, baik layar televisi, telepon genggam (handphone), dan internet. Konten yang ada di dalam layar tersebut nyatanya mampu membius mereka untuk duduk dan terus menerus mengamati layar. Kegiatan mengamati layar dilakukan karena ada konten yang menarik untuk dilihat, diamati, maupun dimainkan. Contohnya, melihat tayangan televisi karena ada program sinetron, menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter, maupun untuk sekadar bermain games. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari hanya untuk melakukan kegiatan itu.
Memang tak bisa dipungkiri, masyarakat saat ini begitu dekat dengan keberadaan media, baik media cetak seperti koran dan majalah maupun media digital seperti televisi dan internet. Kedekatan masyarakat dengan media mampu membawa perubahan yang berarti. Perubahan tersebut membawa mereka menjadi lebih mudah dalam mendapatkan akses terhadap informasi yang ada. Bahkan, masyarakat seperti ‘kebanjiran informasi’. Informasi bisa didapatkan baik melalui televisi, radio, atau lewat internet yang bahkan selalu di update setiap saat. Malahan dengan kecanggihan teknologi handphone saat ini, informasi dengan mudahnya dapat diakses melalui layar kecil handphone. Mereka yang ingin mencari informasi lewat internet melalui handphone hanya membutuhkan modal aplikasi internet untuk browsing ditambah adanya pulsa saja.
Sayangnya, kedekatan media dengan masyarakat yang sangat erat tersebut selain membawa dampak baik juga membawa dampak buruk. Kedekatan tersebut nyatanya membawa pengaruh yang buruk terhadap perilaku masyarakat, baik secara psikologis dan afektif. Sebut saja media digital, seperti televisi. Menurut hasil kajian Yayasan Pengembangan Media Anak, program yang disajikan oleh televisi nasional di Indonesia masih banyak mengandung unsur-unsur kekerasan dan pornografi. Parahnya, keberadaan konten-konten yang disajikan tersebut ternyata banyak yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.
Keadaan yang demikian tampaknya menggugah segelintir orang untuk mengenalkan serta melakukan kegiatan literasi media kepada masyarakat. Literasi media merupakan kemampuan untuk mengakses, memahami isi, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat pesan dalam berbagai konteks. Kemampuan ini sangat diperlukan bagi masyarakat untuk dapat memahami bagaimana media itu bekerja terhadap diri mereka. Selain itu, memiliki kemampuan tersebut dapat menjadi ‘benteng’ bagi masyarakat untuk tidak dengan mentah-mentah ‘menelan’ isi media yang ditampilkan. Dengan memiliki kemampuan tersebut, masyarakat mampu untuk memilih, menyaring dan ‘mencerna’ media dengan bijak.
Buku dengan judul “Gerakan Literasi Media Indonesia” ini berisi kumpulan tulisan dari para pegiat literasi media. Seperti dari akademisi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan perwakilan dari pemerintah. Ada enam tulisan yang berhasil disusun ke dalam buku ini. Setiap judul tulisan memiliki fokus tulisannya masing-masing. Diambil contoh pada tulisan dengan judul Gerakan Literasi Media: Melindungi Anak-Anak dari Gempuran Pengaruh Media yang ditulis oleh Tri Hastuti Nur R, dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tulisan ini menggambil fokus terhadap proses pengenalan dan pembelajaran literasi media bagi anak-anak, khususnya Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-Kanak (TK). Selain itu, Tri Hastuti dalam tulisannya juga memaparkan bagaimana kegiatan literasi media ikut dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai salah satu bahan ajar bagi anak-anak.
Selain itu, buku ini juga memiliki spirit untuk memetakan pergerakan literasi media yang sedang terjadi di Indonesia. Dikatakan pemetaan karena buku ini berhasil memberi gambaran perkembangan gerakan literasi media di Indonesia yang telah dilakukan oleh para pegiat literasi media. Para pegiat tersebut dengan berbagai cara mulai melakukan ‘penyuntikan virus’ literasi media dengan berbagai metode. Seperti dengan memasukannya ke dalam materi pelajaran, melakukan diskusi atau Focus Group Discussion (FGD), melalui media kreatif seperti film dan fotografi, dan lain-lain.
Buku yang diterbitkan Rumah Sinema ini juga bisa menjadi salah satu sarana pendidikan dan pembelajaran literasi media bagi semua kalangan, baik pelajar, pegawai, sampai ibu rumah tangga. Didukung dengan bahasa yang mudah dipahami serta adanya abstraksi pada setiap judul, buku ini memudahkan pembaca untuk memahami setiap tulisan yang disajikan. Buku tersebut juga banyak memuat dasar-dasar pengertian literasi media. Selain itu, pengalaman para penulis ketika melakukan pengenalan dan pembelajaran literasi media bisa menjadi contoh bagi masyarakat yang tertarik melakukan literasi media. Dalam hal ini, baik untuk diri sendiri maupun untuk dikembangkan dan dikenalkan kepada masyarakat sekitarnya yang belum mengenal literasi media.
Namun, seperti peribahasa tak ada gading yang tak retak, buku ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, ukuran tulisan yang ditampilkan cenderung lebih kecil, seperti ukuran yang digunakan oleh media cetak (koran). Kedua, ada beberapa tulisan yang terkesan membosankan. Dikatakan membosankan karena tulisan yang ada lebih banyak mengupas mengenai teori-teori tentang literasi media. Sedangkan berbagi mengenai pengalaman melakukan literasi media yang pernah dilakukan oleh penulis sangat sedikit. [Dias Prasongko]