
©Nafiis/Bal
EPISODE II
Berlangsunglah seminar itu, 29 Oktober 1985. Nampak penuh ketegangan karena tidak biasa terjadi: ada seminar dari mahasiswa sendiri! Dan terlebih lagi, soal pers mahasiswa adalah sangat riskan ketika itu, semenjak 1980. Apalagi dibicarakan secara terbuka oleh mahasiswa sendiri. Prediksi muncul di mana-mana, kecurigaan banyak tergelar. Pembicaraan terasa alot dan hati-hati. Pola sudah masuk arena, tiada seribu kata yang bisa merebut hasrat yang sudah menyebar. Antara bunga dan pisau. Semua penerbitan mahasiswa di UGM penuh semangat, para pemimpinnya mempunyai obsesi yang sama. Tapi lama terkubur oleh kisah-kisah traumatis yang mampu menyita seluruh kesadarannya. Saat itu mereka datang berduyun-duyun dengan bunga dan pisau di kepalanya.Â
Ada dua golongan pembawa makalah. Golongan pertama adalah golongan “tua” sebagai masukan dan golongan kedua adalah dari mahasiswa sendiri sebagai bahan inti pembicaraan. Berbicara dari golongan “tua” waktu itu Prof. Dr. T. Jacob (tokoh pers mahasiswa tahun 50-an), Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri (tokoh pers mahasiswa tahun 50-an juga), Drs. Hasjim Nangtjik (dosen Fisipol UGM), Iman Soetrisno (Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat), Drs. Abdurrahman (Pemimpin Umum BERITA NASIONAL). Dari mahasiswa tampil Ana Nadhya Abrar (Pemimpin Umum SINTESA Fisipol), Laksono T. Sulaiman (Pemimpin Umum MEDISINA Fakultas Kedokteran), Agus Ibar Santosa (Pemimpin Umum PRIMORDIA Fakultas Pertanian), M. Thoriq (EQUILLIBRIUM Fakultas Ekonomi), dan Abdulhamid Dipopramono (Pemimpin Umum CLAPEYRON Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik). Wakil dari Fakultas Sastra yang juga diharapkan untuk membawakan makalahnya, menyatakan menolak. Peserta yang ikut adalah masing-masing 2 orang dari setiap penerbitan di tingkat fakultas/jurusan, ditambah peserta dari non-pengurus majalah.Â
Gairah kawula muda, paling tidak mereka berbekal semangat. Atau memang hanya itu yang mereka punyai? Pembicaraan berlangsung dari pukul 09.00 sampai 19.00 dan kemudian diadakan acara keakraban sampai dengan pukul 20.30 WIB. Ada rumusan yang ditelurkan yang lebih mirip dengan petisi. Mereka menginginkan agar di UGM diterbitkan penerbitan di tingkat universitas dalam bentuk majalah dengan disertai ketentuan para pengurusnya. Pernyataan ini memang merupakan inti rumusan. Selain itu evaluasi jujur juga dilakukan terhadap kondisi yang melingkupi kehidupan pers mahasiswa, terutama kebanyakan mengeluh tentang tiadanya dana yang mendukung dan kurangnya mahasiswa yang mempunyai dedikasi. Kesulitan umum di mana-mana. Tim perumus yang mewakili para peserta mengabstraksikan hasil seminar itu: Abdulhamid Dipopramono (ketua/anggota), Agus Aman Santosa (anggota), Aba Nadhya Abrar (anggota), M. Thoriq (anggota), Muhammad Alfaris (anggota), Laksono T. Sulaiman (anggota), Agus Ibar Santosa (anggota), Bambang Soehardjanto (anggota), Anwar Muhadi (anggota), Hendro Saptono (anggota). Tim perumus kemudian menugaskan panitia seminar (Clapeyron) untuk memproses lebih lanjut hasil rumusan itu.
Lelah menyelimuti seluruh panitia seminar. Tiga bulan suntuk mereka kerahkan tenaga, pikiran, perasaan, waktu, uang dan kepentingan rutin lain. Di samping acara seminar itu sendiri, diterbitkan juga majalah Clapeyron edisi khusus seminar dengan isi tulisan sepenuhnya membahas pers mahasiswa, situasi sekarang, dan harapan yang mungkin direngkuh. Selain sejarah pers mahasiswa, sambutan, dan iklan, tampil para penulis mahasiswa Mohammad Chaeron AR (Fakultas Hukum), LMN Azhar (Fakultas Sastra), Ahmad Muntaha (Fisipol), Nur Muhammad Hatta (Fakultas Filsafat). Juga penulis non-mahasiswa yang terdiri Dr. Peter Hagul, Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Agra, dan Mustofa W. Hasyim. Selain menyiapkan seminar panitia mengusahakan dana dan tulisan untuk diterbitkan. Disiapkanlah pasukan komando panitia dengan ketua Arief Wisaksono dan sekretaris umum Ateng Johari.Â
Kemudian berangkatlah utusan tim perumus dan panitia menghadap rektor dengan membawa hasil rumusan, tanggal 2 November 1985. Meskipun harus dengan “gertakan” dulu, rektor langsung bisa menerima hasil rumusan. Bahkan kemudian menantang: “rumusan ini harus kalian realisasi!”. Maksudnya Prof. Jacob juga sangat mendukung untuk UGM didirikan penerbitan mahasiswa di tingkat universitas. Dengan disaksikan Purek III, bahkan Rektor menginginkan agar penerbitan ini bisa terbit pada tanggal 19 Desember 1985, saat UGM merayakan ulang tahunnya yang ke-36.
Dunia semakin terang, namun semakin terhimpit tantangan. Matahari makin membakar. Utusan pulang ke markas dengan harap-harap cemas. Antara ragu dan haru. Antara gentar dan tegar. Waktu itu tanggal 2 November dan majalah diinginkan terbit tanggal 25 Desember. Hanya dalam waktu kurang dari dua bulan, di saat-saat mahasiswa ujian, sedang persiapan belum ada, majalah harus terbit. Agak gila. Kemudian utusan langsung konfirmasi dan minta nasehat Pak Pono dan Pak Haryono. Jawabnya tidak berbeda: usahakan terbit tanggal 25 Desember 1985. Lantas mereka pulang. Lembur. Kerja keras. Peras otak. Yang jelas pada tahap awal harus membuat proposal rencana pembuatan majalah. Seminar sudah bubar. Tidak mungkin mengumpulkan para peserta kembali untuk mengonsepsikan majalah UGM. Barangkali menjadi sebuah mimpi. Bahkan mengumpulkan seluruh anggota tim perumus yang berjumlah sepuluh orang dari berbagai fakultas pun, dalam waktu yang begitu mendesak itu, sangat sulit. Hanya terkumpul beberapa orang saja untuk merumuskan ini. Dan setelah selama dua malam satu hari meninggalkan kerutinan hidup, terciptalah sebuah konsep rencana majalah mahasiswa UGM dengan nama BALAIRUNG.Â
Konsep awal memang cukup sederhana karena dikejar waktu dan anggota perumusnya sedikit. Waktu itu direncanakan isi majalah terdiri dari 13 rubrik dan tebalnya 60 halaman. Mengambil nama BALAIRUNG untuk mengabadikan ruangan utama, gedung pusat UGM. Lebih dari itu, “Balairung” itu sendiri mempunyai makna kebesaran, sebuah ruangan utama tempat berkomunikasi sivitas akademika dari seluruh fakultas di UGM. Bagi mahasiswa akan mempunyai makna khusus karena selama ini ruangan itu selalu dipakai ajang berdiskusi dari pagi hingga malam. Saat ini dipakai pula sebagai wahana mewisuda para sarjana UGM. Di depan ruangan itu digunakan juga untuk melakukan upacara-upacara kebesaran. Kalau kita tarik dari makna sesungguhnya adalah merupakan ruangan utama (pendopo) tempat berinteraksi kualitatif dan kuantitatif seluruh warga. Sedang penggunaan nama BALAIRUNG untuk majalah UGM ini adalah dimaksudkan sebagai arena berinteraksi, berdiskusi, menguji pemikiran, berkomunikasi antar mahasiswa. Dari sini diharapkan dapat dimunculkan pemikiran-pemikiran alternatif. Juga penyadaran eksistensial atas makna kehadirannya. Nama BALAIRUNG merupakan usulan Abdul Hamid Dipopramono, juga logo, dan semboyan “Nafas Intelektualitas Mahasiswa”.Â
Diusulkan kala itu oplah 10.000 untuk nomor perdana, tapi oleh rektor diturunkan menjadi 5.000 eksemplar saja. Dengan hanya berbekal semangat yang menyala, dengan memanggul berjuta idealisme dan pengharapan atas kehidupan pers mahasiswa yang cerah di masa datang, bergabunglah para peserta seminar membangun cita-cita, merealisasi terbitnya majalah mahasiswa UGM yang diharapkan semakin membawa nama besar UGM dan menggemakan perjuangan lewat semangat baru ke seluruh penjuru. Mereka ingin membawa aroma orisinalitas dan kemurnian, entah diterima segera oleh orang lain atau tidak. Racikan filsafati sudah mereka kaji dengan daya yang maksimal. Lewat paradigma yang diangkat dari keprihatinan panjang, yang begitu membosankan. Dari sini mereka berharap kearifan yang agresif. Bukan sebuah kelembekan, atau kesembronoan emosional yang egoistis.Â
Nomor perdana lahir tanggal 8 Januari 1986, tepat ketika Porf. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri dilantik menjadi rektor UGM. Jadi jadwal mundur 2 minggu. Terbitan pertama mengangkat tema Industrialisasi dan Perguruan Tinggi. Menampilkan beberapa tokoh mahasiswa dan dosen, dengan menampilkan riwayat hidup Prof. Koesnadi juga.Â
Ihwal terwujudnya penerbitan perdana ini sangat menarik untuk dicatat, paling tidak oleh para pelaku utama penerbitan BALAIRUNG pada saat-saat awal. Secara intensif penggarapan awal majalah ditangani oleh Hamid, Santosa, Faris, Abrar, Thoriq, Gendon, Luthfie, Iris, Eni, Agus Djamil, Shodiq, Adi Utarini, Purwita, Ridwan, Rini, Aning, Eko. Secara khusus kemudian untuk menangani masalah “fisik” atau memproduksi majalah dilakukan oleh Hamid Santosa, Abrar, Faris, Thoriq, dan Gendon. Mereka suka lembur siang-malam di sekretariat maupun di percetakan. Rapat pertama kali hanya diikuti oleh 11 orang, rapat kedua oleh 9 orang, rapat ketiga oleh 23 orang. Dan kemudian berturut-turut yang aktif hanya sekitar itu. Pada saat awal kami belum punya harta apapun kecuali keberanian dan kemauan. Kepada universitas kami hanya mengajukan dana berupa uang Rp 500.000,- dengan permohonan bisa mencetak gratis di Gadjah Mada Universitas Press, tetapi cetak gratis ini ternyata tidak bisa didapatkan, sedang Surat Keputusan Rektor sudah terlanjur keluar dengan hanya memberi Rp 500.000,- pada penerbitan awal, yang diharapkan tidak akan meminta lagi ke universitas selain beberapa alat kesekretariatan. Karena dikejar waktu, dengan segala pertimbangan (terutama pertimbangan cepatnya proses cetak) maka diputuskan untuk mencetak majalah di PT Bayu Grafika. Dengan modal uang yang pas-pasan dan dengan modal dobosan bersedialah PT Bayu Grafika mencetak BALAIRUNG.
Ketika majalah terbit, proses pencairan uang “modal” universitas belum selesai, sementara uang cetak yang harus dibayar ke percetakan sebesar 1,5 juta rupiah. Dengan penjualan majalah seharga 500 rupiah, belum bisa menutup biaya produksi. Bahkan biaya cetak pun kala itu belum tertutupi karena harus “bagi-bagi” secara gratis sebagai nomor perkenalan, dalam jumlah tertentu. Sambutan masyarakat mahasiswa meriah. Koran berulang kali juga memuat kemunculan BALAIRUNG. Nampak megah memang, tetapi keadaan di dalam tubuh organisasi belum sehat. Bekal material kurang, pengurus belum semuanya aktif.Â
Uang yang setengah juta pemberian rektor juga tidak segera turun, ia baru turun setelah majalah terbit. Para perintis awal harus “bantingan” untuk membeli peralatan sederhana macam kertas dan sejenisnya. Tetapi, dengan cepat kondisi sedikit bisa ditolong oleh drg. Haryono dengan memberi kertas HVS, tipp-ex, kayu penggaris, karbon, karet penghapus, dan beberapa stofmap, maupun tata stempel. Peralatan vital penerbitan macam mesin ketik, kamera, almari, belum diperoleh. Ruangan masih dalam keadaan kosong, hanya terisi oleh manusia-manusia optimis yang penuh menimbun cita-cita. Mesin ketik waktu pertama menggunakan milik majalah Clapeyron, juga kamera dan beberapa alat tulis. Sedang tape recorder kecil dipinjami oleh drg. Haryono dengan masa waktu yang sangat singkat. Mesin ketik ini sesekali belum cukup, dan M. Thoriq secara berkala membawa mesin ketik milik HMI Komisariat Fakultas (Komfak) Ekonomi UGM. Posisi menjadi repot ketika majalah Clapeyron juga mulai menerbitkan kembali majalahnya dan HMI Komfak Ekonomi mulai banyak kegiatan. Tetapi dengan “konsensus” tertentu mesin milik Clapeyron tetap ditinggalkan di kantor BALAIRUNG.Â
Dengan kegembiraan dalam memasuki “hidup baru” para pengelola sibuk menangani segala aktivitas secara serabutan. Kami sadar pembagian kerja cenderung tidak profesional. Semua mengerjakan semua, semua dikerjakan semua. Gotong royong seiya sekata. Lembur bareng, kemudian makan bareng secara patungan. Dengan kondisi serba terpepet dan serabutan pengurus tetap bersemangat dan ceria. Pegangan kami adalah niat baik, kerja keras, solidaritas, prihatin, dan gembira. Cita-cita terus dilambungkan. Perencanaan nomor-nomor berikut segera dilakukan. Rapat-rapat terus diadakan dengan frekuensi tinggi. Sampai suatu ketika….Â
Tanggal 21 Januari 1986. Hari yang akhirnya menjadi cukup penting. Hari yang menekan kesadaran pikiran kami. Untuk sementara termangu, seolah tersabot kepastian rencana-rencana yang telah tersusun. Tanggal 21 Januari BALAIRUNG mendapat panggilan Rektor UGM untuk menghadap dengan catatan panggilan: PENTING DAN SEGERA! Menghadaplah kemudian PR, WPR, dan PP ke Rektor. Bertiga, harap-harap cemas. Omong punya omong, isi pembicaraan Rektor adalah memberitahukan bahwa BALAIRUNG disuruh berhenti terbit. Ia belum memiliki Surat Tanda Terdaftar (STT), masih tergolong penerbitan liar, meskipun sudah ada SK Rektor. Rektor nampaknya tidak bisa ditawar juga. “Saya terlalu S.H untuk tidak mengindahkan peraturan hukum,” katanya dengan nada tinggi. Ketika tidak ada alternatif lain selain berhenti menerbitkan, mereka bertiga cukup panik dan sedih, sementara untuk keputusan langkah berikut, mereka harus menunggu pemimpin umum (PU) yang ketika itu kebetulan berada di Jakarta. Setelah PU datang dari Jakarta langsung diadakan rapat pimpinan. Hasil keputusan rapat adalah bahwa kegiatan rutin penerbitan tetap berjalan seperti biasanya, seperti tidak terjadi apa pun. Redaksi dan reporter tetap melakukan penyediaan naskah, bagian perusahaan tetap mengurus masalah distribusi dan pemasukan uang. Sementara PU bertugas mengurus masalah STT, beserta penyelesaian kendala-kendala yang mungkin muncul.Â
STT mulai diurus. Mula-mula menghadap Kepala Bidang Pers dan Penerbitan Kantor Wilayah Departemen Penerangan Daerah Isrimewa Yogyakarta (Kanwil Deppen DIY), lantas ke Kepala Kanwil. Sampai di sini, jalan buntu. Bukan saja Deppen tidak mau menguruskan STT ke Jakarta, diberikan blangko isian STT pun mustahil dikeluarkan. STT merupakan izin terbit untuk penerbitan khusus non-komersial, sedang untuk penerbitan umum dinamakan Surat Izin Terbit (SIT). Oleh pemerintah dianggap peraturan soal SIT dan STT ini perlu ditinjau/diubah, dianggap banyak kelemahan dan ketinggalan zaman. Dalam pembaharuan peraturan ini, yang pertama kali akan ditinjau adalah soa SIT yang kemudian diubah menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Setelah masalah SIUPP ini selesai, baru pembenahan bagi perizinan penerbitan khusus. Waktu itu SIUPP lagi digarap oleh pemerintah dan baru selesai, diperkirakan, awal tahun 1987. Jadi peraturan tentang STT baru mulai digarap setelah awal 1987. Padahal waktu itu awal tahun 1986. Oleh Deppen dikatakan bahwa STT untuk majalah BALAIRUNG ini mustahil didapatkan. Kami disuruh menunggu sampai adanya peraturan baru. “Sejak tahun 1983 kami tidak memberikan STT,” kata Deppen! Berapa tahun lagi baru akan turun peraturan soal penerbitan khusus? “Kapan selesainya Pak?”. “Ya kita tunggu saja,” jawab Depen. Formulir isian untuk mendaftar sebagai pengaju STT pun dikatakan habis dan tidak akan dicetak lagi. Percekcokan mulut sering terjadi antara kami dengan Deppen DIY. Sampai akhirnya keluar pernyataan “menghibur” dari Kakanwil Depen DIY: “Kami akan bantu tentang pengurusan STT ini. Kami akan segera mengirim surat ke Jakarta, bahwa peraturan mengenai STT yang baru perlu segera diproses setelah permasalahan SIUPP selesai tuntas.” Padahal waktu itu masalah SIUPP masih ruwet, dan konon baru selesai Maret 1987. Kami lantas membayangkan paling cepat baru akhir tahun 1987 bisa selesai pembuatan peraturan baru tentang penerbitan khusus (STT). Dikibulin nich yee… Apa artinya dengan semua ini? Artinya kami tidak mungkin menerbitkan majalah sampai akhir tahun 1987. Artinya sama saja tidak boleh terbit. Artinya sama saja dengan DIBREDEL.Â
Kami lantas bolak-balik ke Rektor UGM, Prof. Koesnadi, untuk konfirmasi penyelesaian masalah ini. Rektor bilang akan memprosesnya, tetapi harus menunggu sampai bulan Maret 1986 karena ia akan ke luar negeri. “Tapi sebelum saya berangkat ke luar negeri, saya akan telepon dulu Dirjen PPG,” kata Prof. Koesnadi. Saat itu, satu minggu lagi Rektor akan pergi ke luar negeri, melakukan kunjungan kerja sama ke berbagai negara. Kami pusing, tidak sabar rasanya. Semangat untuk menerbitkan majalah nomor berikutnya terlanjur menggebu-gebu. Semangat sudah dikerahkan. Jiwa kami kacau, ketidakpastian menjadi warna kami. Seperti ada sesuatu milik kami yang sangat berharga direbut tiba-tiba. Dan dibuang jauh sekali, entah ke mana. Bagai anak kecil yang kehilangan sebuah keasyikan yang polos. Nelangsa. Dan tidak habis pikir: kenapa niat baik, niat yang sangat tulus, cetusan hati nurani kami sendiri, perbuatan yang jujur, dipotong tiba-tiba.
EPISODE….
Tapi ini semua adalah hukum, peraturan yang harus dituruti. Dan peraturan pemerintah. Mau apa lagi. Kami kemudian memproses makin jauh dan bersemangat, untuk tetap meneruskan cita-cita menerbitkan BALAIRUNG sebagai wahana aktualisasi mahasiswa. Kami tidak sabar menunggu Rektor turun tangan, kami harus berjuang juga untuk memperoleh STT.
Berangkatlah kemudian PU ke Jakarta, ke Direktorat Pembinaan Pers. Tanya prosedur, tanya formulir, tanya kemungkinan. Ternyata jawabannya sama dengan Deppen DIY: mustahil didapatkan dalam tahun 1986/1987. Harus menunggu sampai dikeluarkan peraturan baru. Tapi kami tidak putus asa. PU kebetulan kenal dengan seorang staf bagian perizinan yang menangani STT. Perkenalan dimulai ketika PT BALAIRUNG masih memimpin Clapeyron dan sering pergi ke Deppen untuk menyerahkan tanda bukti terbit majalah. Di sini PU bisa “meminjam” satu blangko, sesuai jumlah tembusan yang disyaratkan. Setelah diisi dan ditandatangani BALAIRUNG, dikonsultasikan kepada Deppen DIY. Nampaknya cukup kaget, bahwa blangko bisa didapatkan. Setelah banyak direvisi, langsung menemui Rektor yang kala itu tanggal 24 Februari 1986 ia menjelang berangkat ke luar negeri. Dan kami disertai oleh Purek III dan Sekretaris Purek III, beserta stafnya, menyelesaikan setumpuk persyaratan administratif sebelum ditandatangani Rektor. Sampai jam 17.00 WIB baru selesai. Sekretariat Rektor dan Sekretariat Purek III “ribut” untuk persiapan surat-surat ini. Akhirnya surat selesai, dan sore itu juga Rektor berangkat ke Jakarta untuk seterusnya pergi ke beberapa negara dalam rangka kerja sama antaruniversitas. Menjadi tugas kami untuk memperjuangkan agar surat cepat diproses, sebab di negara kita ini birokrasi masih merupakan sesuatu yang melelahkan. Lantas pergi ke Deppen DIY. Deppen DIY membuatkan surat pengantar ke Menpen, dan dikirim ke Jakarta. Tugas kami kemudian mengejar-ngejar ke Jakarta. Sempat menemui Dirjen PPG, Direktur Pembinaan Pers. Dan juga beberapa pejabat yang kira-kira bisa membantu.Â
Sampai beberapa bulan kami dalam penantian yang tak pasti. Mau menerbitkan tidak mungkin. Tapi sekretariat BALAIRUNG tetap ramai, semangat mereka belum sedikitpun terkikis. Hari-hari dilalui dengan kerja biasa, tapi akhirnya banyak yang “tidak kuat” dengan kondisi macam ini. Satu per satu mulai jarang nampak, macam-macam cara kami lakukan untuk tetap membentuk ikatan antarpengurus, antara lain dengan berlangganan surat kabar dan majalah untuk dibaca bersama, menghadiri bersama-sama pada acara ulang tahun atau lain di tempat rekan sesama pengurus, dan banyak lagi.Â
Yang perlu dicatat adalah dibentuknya semacam wadah untuk tetap menyalurkan pikiran-pikiran pengurus, yaitu dengan dibentuk sebuah Forum Studi Jurnalistik BALAIRUNG. Diskusi kita adakan, sedang keikutsertaan bersifat sukarela. Boleh ikut boleh tidak. Demikian waktu berjalan 3 bulan. Sepertinya tidak terlalu panjang, tetapi dalam keadaan menanti waktu sekian itu merupakan sebuah siksaan yang panjang. Dan usaha terus dilakukan Prof. Koesnadi, yang bekas aktivis pers mahasiswa itu, sangat getol memperjuangkan STT ini. Setiap kami menghadap dan merasa pesimis, selalu beliau hibur bahwa kita harus sabar. Harus selalu sabar sambil terus berusaha. Dan berdoa tentu saja. Dalam masa-masa ini memang pengurus nampak sangat prihatin dan mengerahkan seluru tenaga; jasmani maupun rohani untuk majalah mahasiswa UGM tetap bisa terbit. Banyak karya puisi muncul pada masa ini, juga lukisan-lukisan dan catatan harian yang berupa protes terhadap keadaan. BALAIRUNG khusus membuat satu buku tebal untuk menyalurkan kedongkolan, kegalauan, dan kepenatan. Mengumpat-umpat di buku. Membuat pamflet di buku. Membuat poster di buku. Dan emosi cukup mewarnai tulisan-tulisan itu. Ada juga seorang pengurus, yang bernama Eko Djunaedi, prihatin dengan membuat sebuah lagu yang bernama “Mars Perjuangan”. Sekarang lagu ini menjadi “hymne” BALAIRUNG. Sementara pendekatan dengan Deppen DIY, yang kala itu dikepalai Drs. Soedaryanto, dan Deppen Pusat selalu dilakukan. Prof. Koesnadi sering juga menelpon ke Jakarta untuk menanyakan masalah ini. Purek III dan Sekretaris Purek III terus juga mendorong semangat kami. Dan dalam urusan-urusan administrasi kami sangat dibantu oleh Icok Darmoko dan Tri. Dengan sangat senang mereka melayani “kecerewetan” kami.Â
Bersambung
Ditulis dengan penyuntingan ulang oleh Giovanni Ramadhani.