Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...
Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...
Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...
Diskusi Di Balik Bendera Persatuan Ungkap Gerakan Antikolonial...
Mata Kekuasaan Mengintaimu
Wisnu Prasetya Utomo: Tantangan Pers Mahasiswa di Persimpangan...
Episode-Episode Perjalanan: Episode 2 dan Episode…
Monika Eviandaru: Reorientasi Pers Mahasiswa Dalam Neoliberalisasi Perguruan...
Episode-Episode Perjalanan
SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
EDISI SPESIAL HUT BAL KE-40INSAN WAWASAN

Monika Eviandaru: Reorientasi Pers Mahasiswa Dalam Neoliberalisasi Perguruan Tinggi dan Pasca-Reformasi 1998

Oktober 20, 2025

©Nafiis/Bal

Sebelum Reformasi di tahun 1998, timbul gerakan pers mahasiswa yang bermodalkan nekat dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Hal ini berbanding terbalik dengan pers arus utama yang justru lindap dibayang-bayangi pembredelan. Pasalnya, pers mana yang berani mengkritik pemerintah pada waktu itu akan bernasib sama dengan DeTik, Editor, dan Tempo yang dibredel pada 1994. Namun begitu, bayang-bayang rezim otoriter Soeharto tidak cukup menakutkan untuk memukul mundur para pegiat pers mahasiswa. Mereka gencar memberitakan isu-isu nasional, turut serta dalam demonstrasi, sekaligus melontarkan kritik terhadap pemerintah.

Pada akhirnya, Reformasi 1998 memaksa Soeharto mengakhiri rezim yang sudah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun tersebut.  Harapan akan keterbukaan informasi dan kebebasan pers mulai terbuka setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang tersebut membuat media arus utama kembali berani dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Sayangnya, kebebasan media arus utama ini justru membuat cakupan pers mahasiswa kian mengecil. Pasalnya, pers mahasiswa yang pada waktu itu terkenal sebagai pemberita isu nasional menjadi kalah saing dengan pers arus utama bermodal dan bekerja secara profesional.

Menanggapi fenomena ini, BALAIRUNG menginisiasi Seminar Pers Mahasiswa se-Jawa dan Bali dengan tajuk “Mencari Ruang di Era Keterbukaan” pada 2 November 1998. Dalam pertemuan tersebut BALAIRUNG bersikap untuk berperan sebagai pers wacana dan pers komunitas. Sebagai pers wacana, BALAIRUNG bergerak dalam ranah keilmuan dan gagasan dengan menerbitkan jurnal mahasiswa. Sedangkan sebagai pers komunitas, BALAIRUNG kembali pada komunitasnya dengan menyemarakkan pemberitaan kampus yang sedang digerogoti neoliberalisasi pendidikan di sektor perguruan tinggi. Terkait hal ini, pada Kamis (25-09) BALAIRUNG mewawancarai Monika Eviandaru,  Pemimpin Umum BPPM Balairung tahun 1999 dan seorang dosen.

Pecahnya reformasi membuka ruang kebebasan informasi yang terkungkung selama rezim Soeharto. Bagaimana BALAIRUNG beserta pers mahasiswa menanggapi situasi seperti ini?

Saya kira ini kayak pertanyaan eksistensial yang selalu ada pada pers mahasiswa. Sebenarnya yang kita bayangkan sebagai pembaca utama kita itu siapa? Publik kita itu siapa? Dan rasanya pasca-’98 itu kita memosisikan diri sebagai, bahwa kita itu tidak pertama-tama menulis untuk publik secara umum. Kita juga bukan menulis dalam posisi sebagai ahli dalam menganalisa persoalan, tetapi mestinya audiens utama kita itu kan mahasiswa karena kita pers mahasiswa. Tak kira itu yang membuat kemudian pers mahasiswa kembali berorientasi menjadi kajian jurnalistik untuk para mahasiswa sendiri.

Jadi, mestinya kita menulis semacam mikrofon bagi mahasiswa. Apa concern-nya mahasiswa, agendanya mahasiswa, dan POV (point of view) mahasiswa sehingga suara, pemikiran, dan pengalaman mahasiswa itu tidak dituliskan dari sudut pandang orang yang membaca mahasiswa itu seperti apa, tapi mahasiswa itu sendirilah yang menyuarakan dirinya. Sesudah 98 itu sempat ada pemikiran kita bisa ambil isu apa pun sebagai tema utama penerbitan, tapi kemudian yang ditekankan bahwa tema itu dianalisa dari sudut pandangnya mahasiswa.

Apa yang dibayangkan dan diidealkan dalam perumusan peran pers mahasiswa pada waktu itu?

Jurnal Prisma. Kita bermimpinya tuh pengin kayak gitu aja. Tetapi, dari level analisis dan sudut pandangnya mahasiswa sehingga satu topik diulas dari berbagai kacamata analisis. Entah dari kacamata analisis budaya, kacamata analisis politik-ekonomi, tetapi dari mahasiswa. Jadi, bukan jurnal ilmiah juga. Tidak exactly seperti jurnal ilmiah yang jadi referensi di perkuliahan. Tetapi, ya, kalau mau mencari bentuk konkret impiannya seperti apa, pengin seperti Prisma, tapi levelnya mahasiswa.

Tetapi, pada saat yang sama pasca-98 itu kan konstelasi politiknya mengubah banyak hal, sampai bukan hanya di level nasional, sampai ke institusi-institusi lokal. Termasuk situasi universitas kan, misalnya kayak perubahan dari statusnya PTN (Perguruan Tinggi Negeri) menjadi BHMN, Badan Hukum Milik Negara, yang itu berimbas pada kenaikan SPP (Sumbangan Pengembangnan Pendidikan) pada waktu itu dengan signifikan, gitu. Kemudian mahasiswa menolak, mahasiswa menentang. Pada waktu itu kayak kepentingan urgent.

Lalu waktu itu kita bikin dua model untuk mendukung dinamika politik harian mahasiswa terkait kepentingan-kepentingannya dinaungi di dalam yang koran komunitas. Terus, yang jurnal pemikiran mahasiswa tetap jalan.

Terkait pers wacana, bagaimana model penyusunannya?

Kalau topiknya apa, kayaknya udah banyak yang terdistorsi deh ingatannya. Tapi, bagaimana kita menentukan topik itu kayak kita lihat pakai drone, gitu lah. Jadi, melihat pakai perspektif yang lebih luas. Tetap berangkat dari persoalan yang sedang aktual, apa yang sedang happening, tetapi kemudian kita naik [lebih luas-red] melihatnya.

Pada era itu juga wacana neoliberalisasi pendidikan, BALAIRUNG waktu itu juga memproduksi Majalah BALAIRUNG berjudul Jangan Gadaikan Kampusku. Bagaimana pandangan BALAIRUNG  pada waktu itu dalam melihat fenomena yang terjadi pada universitas? Bagaimana peran pers mahasiswa selaku anjing penjaga di kampus?

Dulu itu yang membuat PTN itu murah itu karena sebagian besar dari biaya dan running cost-nya itu kan ditanggung negara, dialokasikan di dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pada waktu itu masih dimaknai bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah tanggung jawab negara. Jadi, uang negara yang didapat dari pajak dikembalikan ke rakyat dalam bentuk dukungan, dalam bentuk pendidikan tinggi. Tetapi, tahun 97 itu kan kita bangkrut financially, lalu kita pinjam, utang dari IMF, International Monetary Fund.

Lalu IMF itu kan ngasih saran, ya, IMF itu kayak rentenir yang kepentingan dia cuma, “Kami mau minjemin duit kalau kami lihat ada yang menjanjikan. Kamu bisa mengembalikan uang ke kami beserta bunganya.” Untuk memastikan itu, maka IMF meminta semua pengeluaran negara yang sifatnya jasa subsidi layanan, tunjangan untuk publik, itu dihapuskan. Nah, salah satunya adalah kontribusi negara untuk pendidikan supaya sepenuhnya ditanggung sendiri oleh mahasiswa, pengguna, rakyat. Maka, SPP-nya bukan naik lagi itu mah, ganti harga.

Sehingga kalau pertanyaannya seperti apa persma melihat itu kira-kira kalau pakai metafora yang agak dramatik itu rasanya kayak Daud menantang Goliat. Karena ya ini bukan hanya isu soal PTN berubah menjadi BHMN, tetapi ini persoalan yang jauh lebih kompleks dan jauh lebih besar. Kalian merasakan sekarang sebagai mahasiswa dengan uang masuk kalian di Gadjah Mada sekarang. Ya, kalian masuk di era ketika Gadjah Mada sudah kehilangan rohnya sebagai kampus kerakyatan. Ya, era itu berakhir di ketika PTN berubah menjadi BHMN.

Ketika neoliberalisme sebagai sebuah sistem politik, ekonomi, maupun way of being, ya, logics of being, itu menjadi kekuatan dominan. Dengan neoliberalisme itu menguasai banyak hal, termasuk bahkan neoliberalisasi itu kan bukan hanya mengubah SPP, tapi bahkan mengubah sampai bagaimana sehari-hari universitas ini harus running, gitu ya, sehingga kemudian universitas bekerja layaknya sebuah pabrik. Tapi, itu kan yang memang dikehendaki sistem yang ada sekarang supaya lalu mahasiswa docile, patuh, gitu. Supaya mahasiswa lalu nggak punya energi lagi untuk memikirkan negara, untuk mencaci maki negara, untuk kritis, dan memang itu yang dikehendaki oleh sistem. Robot-robot yang patuh dan tidak punya banyak pertanyaan.

Penulis: Rifky Wildhani
Penyunting: Nafiis Anshaari
Ilustrator: Nafiis Anshaari

5
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Wisnu Prasetya Utomo: Tantangan Pers Mahasiswa di Persimpangan...

Episode-Episode Perjalanan: Episode 2 dan Episode…

Episode-Episode Perjalanan

Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

Hajriansyah: Seni Realisme Revolusioner Lukiskan Semangat Perlawanan Rakyat

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di Surakarta

    November 10, 2025
  • Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik Perlawanan Warga Maba Sangaji

    November 4, 2025
  • Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan Dehumanisasi

    November 2, 2025
  • Diskusi Di Balik Bendera Persatuan Ungkap Gerakan Antikolonial Perhimpunan Indonesia

    Oktober 28, 2025
  • Mata Kekuasaan Mengintaimu

    Oktober 27, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM