Satu demi satu tokoh politik mulai mendeklarasikan kesiapan untuk bertarung dalam kancah Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia 2024. Namun, di tengah gegap-gempita tersebut, ada kekosongan gagasan politik alternatif sebagai penyeimbang politik arus utama. Sejumlah upaya menggugat presidential threshold telah dilakukan untuk memberi peluang lebih besar kepada figur alternatif untuk mencalonkan diri. Bahkan, Aliansi Rakyat Bergerak pernah secara terang-terangan menyebut figur alternatif tersebut adalah Dandhy Laksono, jurnalis Watchdoc; dan Asfinawati, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Sejauh mana blok politik alternatif memiliki peluang?
Untuk menjajaki kemungkinan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan berbincang dengan Dandhy pada Jumat, 24 Juni 2022. Menurut Dandhy, gerakan masyarakat sipil belum memiliki proyeksi ke arah politik elektoral. Sebab, mereka belum mampu merobohkan sekat-sekat isu sektoral untuk menyusun agenda politik bersama yang menyasar perubahan struktural. Selama ini, menurut Dandhy, gerakan masyarakat sipil masih berfokus pada kritik terhadap kebijakan, alih-alih sistem yang menghasilkan kebijakan tersebut. Lebih lanjut, Dandhy menyebut selama gerakan telah mengonsolidasikan gagasan tandingan, siapa pun figur alternatif tidak menjadi masalah. Berikut wawancara selengkapnya.
Bagaimana kondisi politik arus utama hari ini?
Sejak Reformasi, secara umum, tidak terlalu banyak perubahan. Meskipun partai-partai dan tokoh-tokoh baru bermunculan, mereka masih tidak mampu membawa banyak perubahan. Pada 1998, kita sudah bertemu Megawati dan teman-temannya. Sekarang, kita bertemu lagi dengan mereka. Meskipun wajah-wajah baru muncul, secara fundamental, tidak banyak yang baru. Secara wajah, Joko Widodo adalah sosok baru. Namun, mesin politiknya adalah mesin politik lama. Hal ini mengindikasikan tidak ada inovasi dalam iklim politik. Kita terjebak dengan presidential threshold sebesar 20 persen yang membuat pilihan calon presiden hanya tiga biji. Sementara itu, negara lain dengan penduduk lebih besar bisa memiliki lebih banyak calon presiden.
Apabila banyak aktor politik dalam lingkaran kekuasaan mengatakan bahwa Indonesia mengalami penyederhanaan proses politik, saya kira itu tidak benar. Kita justru mengalami penyempitan pilihan politik. Penyederhanaan terjadi pada proses demokratis sehingga semua orang bisa terlibat dalam proses politik. Namun, sekarang, kita mengalami penyempitan pilihan karena ongkos politik yang tinggi. Akhirnya, mesin-mesin politik yang sudah lama berkuasa makin mengukuhkan struktur dominasi pada momentum rekrutmen politik calon presiden. Pola ini sudah terjadi pada periode-periode sebelumnya. Sekarang sama saja, tidak ada yang baru.
Apakah ada kemungkinan muncul blok politik alternatif dari gerakan masyarakat sipil?
Gerakan masyarakat sipil belum mampu membangun blok alternatif selama belum bergandeng tangan menggempur otoritas mapan. Saat ini, gerakan masyarakat sipil masih terlokalisasi secara kasuistik. Walaupun gerakan masyarakat sipil sempat membentuk gerakan lintas sektor yang cukup besar pada momentum Omnibus Law, tetapi tidak ada gerakan lintas sektor yang cukup masif setelah itu. Mungkin gerakan pengawalan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan cukup besar, tetapi gerakan masih sebatas merespons KUHP.
Gerakan masyarakat sipil belum berani menyatakan bahwa permasalahan bukan semata KUHP, melainkan sistem. Kita membiarkan ada sistem seperti DPR dengan Presiden yang akan selalu membuat kita repot dengan membuat KUHP, Omnibus Law, dan Undang-Undang KPK. Kita selalu merespons kebijakan sampah yang dikeluarkan Pemerintah. Kita tidak pernah merespons mesin penghasil kebijakan sampahnya. Bagi saya, gerakan masyarakat sipil baru bisa menjadi alternatif kalau yang dipersoalkan adalah mesin yang menghasilkan kebijakan sampah.
Selama ini, gerakan masih sibuk mempermasalahkan kebijakan sampah, seperti KUHP dan Undang-Undang ITE. Benar bahwa kita harus merespons kebijakan bermasalah, tetapi itu membuat kita direpotkan dengan luaran kebijakan sampah. Padahal, mesin yang menghasilkan kebijakan sampah terus bekerja. Hari ini, kita menang dalam satu hal. Namun besok, mesin akan mengeluarkan kebijakan sampah baru lagi. Bagi saya, indikasi adanya gerakan politik alternatif adalah apakah agendanya sudah membicarakan mesin produksi kebijakan sampah atau belum.
Seberapa besar potensi blok politik alternatif muncul dari gerakan masyarakat sipil?
Sekarang, potensi itu tidak ada karena tidak ada yang berani memulai. Kita selalu bicara di isu masing-masing. Memang menyedihkan, tetapi harus dikatakan. Belum ada yang bicara di level lebih besar.
Bagaimana strategi membangun blok politik alternatif dari gerakan masyarakat sipil?
Gerakan masyarakat sipil harus melakukan konsolidasi untuk merumuskan posisi terhadap sistem yang selalu menghasilkan kebijakan bermasalah. Tidak hanya membicarakan kebijakan sampah, tetapi juga strategi menghentikan mesin produksi kebijakan sampah tersebut. Setelah merumuskan strategi, gerakan masyarakat sipil harus memiliki isu lintas sektoral yang dikawal bersama. Tidak hanya mengawal isu masing-masing. Selama ini, gerakan mengawal isu hanya bersifat parsial.
Apabila sudah mulai membicarakan kebijakan sampah sebagai permasalahan struktural, gerakan sudah siap untuk memasuki pertarungan itu. Hal paling konkret untuk dilakukan adalah merumuskan strategi menghentikan pemilihan umum yang oligarkis. Namun, kalau kita ingin menghentikan proses itu sekarang, kita sudah tidak punya waktu. Oleh karena itu, Pilpres 2024 ini tidak akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kalau kita bicara masa mendatang, melampaui 2024; itu harus dimulai dari sekarang.
Sempat ada cuitan yang mengangkat Dandhy Laksono dan Asfinawati sebagai figur alternatif. Bagaimana tanggapan Anda?
Pesan pertama, jangan membicarakan figur dulu. Mari membicarakan tawaran sistem dan gagasan. Figur bisa siapa saja. Kalau kita membicarakan figur dulu, kita tidak ada bedanya dengan oligarki yang hanya menjual nama alih-alih gagasan. Mungkin tindakan menjual nama itu efektif di sirkel yang dia kenal, tapi di sirkel yang tidak dikenal, percuma. Mari konsolidasi gagasan dulu. Orang menyusul, bisa siapa saja.
Kalau tidak pernah konsolidasi gagasan, tiba-tiba dipersatukan dengan figur, akhirnya hanya berkutat dalam adu popularitas belaka. Namun, kalau kita konsolidasikan gagasannya, jangan-jangan dari gagasan itu tidak hanya Dandhy dan Asfinawati, tapi ada 50 atau 100 orang yang juga kredibel. Kita bisa ajukan semuanya supaya calon-calon konvensional menjadi minoritas. Mayoritasnya adalah pemilik ide ini. Konsolidasi gagasan dulu.
Penulis: Han Revanda Putra
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Ilustrator: Ahmad Farrel Baswara