Soeharto meyakini Pancasila harus dilestarikan, maka kemudian MPR mengeluarkan TAP MPR NO. II/1978. TAP ini menyatakan bahwa Pancasila, selain sebagai dasar negara, juga dimaknai sebagai ideologi dan pedoman hidup bernegara serta bermasyarakat. Namun, rumusan-rumusan yang kemudian terpatri dalam slogan-slogan bombastis sering kali tak sesuai dengan kondisi objektif di masyarakat.
Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, bahkan menyebut dalam rubrik “Wawancara Khusus” BALAIRUNG No.18/TH.VII/1993 bahwa secara klinis-patologis, Pancasila berada dalam stadium yang mengkhawatirkan. Gus Dur menambahkan, para ilmuwan memperparah keadaan tersebut dengan menutupi kebobrokan melalui slogan-slogan ilmiah. Berikut wawancara selengkapnya.
Menurut Anda, apa makna sebuah ideologi?
Harus dibedakan dua macam ideologi. Pertama, ideologi sebagai sistem resmi yang mengatur kehidupan suatu bangsa, seperti Pancasila. Kedua, ideologi secara umum, yaitu pandangan atau wawasan suatu bangsa secara umum tentang kehidupannya sendiri dan apa yang diharapkan.
Itu namanya ideologi sosial, tentunya bukan suatu yang resmi atau doktriner, tapi berkembang sebagai suatu tujuan utama. Karena itu tidak perlu harus utuh atau jelas rumusannya, cukup terasa saja.
Contohnya dalam bangsa kita, posisi agama yang ikut campur dalam segala hal seperti politik, ekonomi, dan lain-lain. Berarti ideologi sosial bangsa kita mengacu kepada masalah keagamaan.
Bagaimana dengan Pancasila dalam konteks ini?
Lho, Pancasila itu doktrin. Ajaran-ajaran doktrin yang mengatur kehidupan bangsa kita.
Soedjatmoko pernah mengatakan bahwa ideologi-ideologi di dunia akan mengalami kebangkrutan, misalnya komunisme. Bagaimana Pancasila menyikapi realitas ini?
Ada satu yang harus kita sadari bahwa ideologi itu akan langgeng bila ada kegunaannya. Artinya, ada pengejawantahannya dalam kehidupan. Nah, dalam dunia komunis salah satu aspek kehidupan egalitarian hilang karena munculnya aparat partai menjadi kelas baru. Berarti paham komunis yang menghendaki persamaan penuh tidak tercapai.
Harapan yang dijanjikan oleh Marxisme-Leninisme terasa kosong, tidak ada arti apa-apa bagi bangsa dan rakyat, lalu ditinggal. Yang ada semata-mata hanyalah tafsiran dari atas oleh elite-elitenya yang tidak dimengerti oleh yang di bawahnya. Bagaimana dengan Pancasila? Ya sama saja, kalau Pancasila diperlakukan demikian.
Andaikan ada perbedaan interpretasi dalam memaknai Pancasila di tingkat elite dengan massa rakyat, bagaimana menjembataninya?
Tidak bisa dijembatani. Suatu ideologi formal itu harus menuntut legalitas yang sama karena dia alat untuk mengukur basis kehidupan bangsa, apa yang dicapai dan lain-lain. Dengan demikian, maka tidak bisa dalam suatu bangsa ada dua tafsiran ideologi. Pancasila itu suatu kompromi yang menyatukan berbagai macam pandangan dan dasar-dasar negara. Kompromi ini pertama-tama menghasilkan tidak ada negara agama di Indonesia.
Negara sekuler?
Bukan sekuler. Jakarta Charter dihapuskan dari pembukaan UUD 1945. Ini namanya kompromi politik.
Tentang konsep Pancasila sebagai ideologi yang terbuka?
Ya harus objektif. Pancasila harus dipertahankan. Dia berlaku untuk semua. Jangan hanya diperuntukkan bagi rakyat kecil yang harus ber-Pancasila sedangkan yang lain masih korupsi.
Dengan demikian apakah dalam tataran normatif-ideologis Pancasila tetap baik?
Tidak ada gunanya berbicara secara normatif-ideologis, sebab norma itu terasa sebagai suatu paksaan. Masak kita saja yang dipaksa ber-Pancasila, sementara mereka yang di atas enak-enakan. Perasaan itu sekarang meluas. Sebetulnya kalau dilihat secara klinis-patologis, Pancasila sudah berada pada stadium yang mengkhawatirkan.
Maksudnya?
Ya, mengkhawatirkan. Buktinya kelakuannya itu tidak satu pun yang cocok dengan Pancasila. Semuanya ber-Pancasila tidak lebih sebagai tata krama. Artinya, pengertian Pancasila secara sungguh-sungguh sudah tidak ada, baik rakyat maupun pemerintahannya. Kalau Pancasila jalan terus, tidak akan ada korupsi. Mulai dari membuat KTP sampai masuk Akmil ada korupsi. Itu rakyat sudah tahu semua.
Lantas persoalannya cara menyikapi kondisi ini?
Tidak dapat dibiarkan terus, nanti muncul revolusi sosial. Semua orang tahu, cuma tidak berani bicara saja. Rakyat juga sudah mengambil tindakan sendiri-sendiri. Ada copet dipukuli sampai mati. Itu kan tindakan main hakim sendiri. Bikin larangan dijebol, ada rambu-rambu lalu-lintas dilanggar. Semua maunya sendiri.
Apakah pandangan seperti itu terlalu revolusioner?
Lho, itu kenyataan kok. Itu kan proses. Selama kita tidak mampu mencarikan saluran yang benar, akan meletus.
Situasinya kacau?
Ya, mungkin ke sana. Mudah-mudahan saja ada kesadaran orang-orang tertentu, terutama elite-elitenya ini.
Berarti kita mengharapkan adanya kehendak politik?
Ah, kehendak politik itu omong kosong. Kita muak dengan slogan-slogan, seolah-olah persoalan rumit bisa beres dengan kehendak politik. Omong apa itu! Para ilmuwan itu sama saja dengan penjahat. Mereka menutup-nutupi kebobrokan yang ada dengan slogan-slogan ilmiah.
Mungkin perlu diantisipasi dengan UU?
Bagaimana mau jalan, setiap buat UU diakali sedemikian rupa agar tidak mengenai para elite. Setiap orang begitu mementingkan kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Apa pun dibikin perkecualian, agar kelompok “saya” tidak terkena. Saya katakan harus ada objektivikasi Pancasila. Sesuatu yang berlaku objektif bagi semua, termasuk sanksi-sanksi Pancasila, yaitu sanksi-sanksi hukum.
Dari fenomena di atas, apakah agenda sosial yang mungkin untuk dilakukan?
Nomor satu, kenyataan hidup itu sendiri yang harus dibenahi. Tidak bisa dong Pancasila itu harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang ngomong begitu kan P-4! Dimulai dari kehidupan sehari-hari dalam arti mari kita tegakkan peraturan ini bersama-sama. Kalau kena, ya kena termasuk yang paling gede sekalipun tanpa penghindaran-penghindaran.
Ini jelas butuh dialog terbuka. Bukan monolog seperti selama ini. Kita ngomong sendiri, sana ngomong sendiri. Kita tidak bicara Pancasila an sich, tapi rakyat terus terang tidak bisa menerima pelaksanaan Pancasila yang gombal! Mahasiswa juga harus menyadari benar problem Pancasila bahwa dia hanya berhenti pada slogan, kenyataan praktek kehidupannya lain. [Kurniawan, Dewi Ratnawulan, Teguh Utomo, Suyono Pribantoro]
Artikel ini ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Naufal Ridhwan Aly.