“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai kemanusiaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” (UU Nomor 20 Tahun 2003)
Bayu Setiawan akhirnya bisa benar-benar lega setelah kabar baik itu datang. Pada 2017 lalu, keluar putusan MK Nomor 97/ PUU-XIV/ 2016 yang membuatnya bisa menunjukan identitas keyakinan aslinya, Penghayat Kepercayaan Palang Putih Nusantara. Sebelum putusan MK itu, Bayu numpang status dengan agama yang resmi diakui pemerintah Indonesia. Hampir selama 11 tahun, dari bangku TK, SD, hingga SMP, ia rela menumpang agama Islam hanya untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah formal.
Ia sesungguhnya berat memilih salah satu enam agama yang diakui di sekolahnya, namun demi bisa bersekolah ia pun merelakan. Toh ia tidak mengimaninya. “Demi melanjutkan pendidikan dan karena takut dicaci maki sama teman-teman, dengan terpaksa saya ikut Islam, tetapi kalau di rumah saya tetap beribadah menurut ajaran kepercayaan Palang Putih Nusantara,” jelas Bayu.
Setelah putusan itu, status agama di KTP-nya nanti sudah dapat diganti menjadi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Pihak sekolah juga sudah bersedia untuk melayani peserta didik yang berlatar belakang penghayat kepercayaan. Dian Jennie Cahyawati, Ketua Pusat Perempuan Penghayat Indonesia (Puanhayati) mengatakan kemajuan regulasi yang dibuat pemerintah harus dimanfaatkan dengan baik. Menurutnya perlu upaya penguatan internal untuk menciptakan kader yang baik.
“Saatnya kita bersama-sama melakukan upaya penguatan internal untuk menciptakan kaderisasi yang berwawasan, memiliki kemampuan, serta percaya diri melalui ruang pendidikan,” katanya dalam webinar seri kedua Festival Inklusif 100%, Senin (21-9).
Setelah hampir tiga tahun pasca dikeluarkannya putusan MK yang kemudian disusul oleh Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan YME, terjadi kemajuan terhadap pelayanan pendidikan terhadap penghayat. Meski demikian, menurut Dian, layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan tidak cukup berhenti pada regulasi yang rapi, tetapi harus dipastikan layanan pendidikan sampai pada titik implementasi.
Wanita penganut Kepercayaan Sapta Darma ini mengamati adanya sejumlah kendala dan diskriminasi dari masyarakat terhadap penghayat kepercayaan, khususnya siswa-siswi di sekolah formal. Itu sebabnya regulasi tanpa pengawasan implementasi tidak berarti.
Kondisi itu sangat kontradiktif dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa.” Pun juga bertentangan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Berkaitan dengan layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME, sesungguhnya sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016. Pada Pasal 2 Ayat (1) diatur bahwa setiap peserta didik penghayat kepercayaan berhak memenuhi pendidikan agama atau kepercayaannya dengan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang mengatur kurikulum. Pada Pasal 2 Ayat (2) dan Ayat (3) juga menyatakan, setiap peserta didik berhak mendapatkan muatan pendidikan, diantaranya kompetensi inti dan dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks pelajaran, dan pendidik atau penyuluh kepercayaan.
Pada kenyataanya, data dari Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat (KMA) menunjukkan adanya ketimpangan antara jumlah peserta didik dengan penyuluh kepercayaan. “Dari total 2.886 peserta didik yang tersebar di 55 kabupaten, 19 kota, dan 150 organisasi di Indonesia, hanya diampu oleh 254 penyuluh, artinya kita masih kekurangan tenaga penyuluh kepercayaan,” ujar Sjamsul Hadi Direktur KMA, Kemdikbud.
Permasalahan ini tentunya berimbas langsung pada peserta didik yang merasa kesulitan dalam proses pembelajaran di sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Bayu, siswa kelas satu penghayat kepercayaan di SMK Negeri 1 Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Anak muda yang gandrung akan dunia seni tari ini menyatakan jika satu-satunya akses untuk mempelajari pengetahuan kepercayaan terhadap Tuhan YME di sekolah hanya dari penyuluh.
“Di sekolah hanya ada satu penyuluh, kalau beliau berhalangan hadir ya saya bingung mau belajar dari mana, lagi pula buku dari sekolah juga tidak ada,” ungkap Bayu lewat telepon.
Direktorat KMA sebenarnya sudah menggandeng Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI) sebagai mitra untuk pemberdayaan terhadap kapasitas dan kompetensi penyuluh kepercayaan di Indonesia. Di antaranya melalui bimbingan teknis dan lokakarya penguatan kompetensi. Namun, masalah kekurangan tenaga penyuluh ini masih saja terjadi.
Upaya lain yang dilakukan direktorat KMA yakni menjalin kerja sama dengan Universitas 17 Agustus Semarang untuk membuka prodi baru, yakni Prodi Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan YME di tahun 2020. “Kami berharap jika prodi tersebut berhasil terbentuk, dapat memberikan akses yang lebih luas bagi generasi penerus penghayat kepercayaan untuk menambah wawasan, sekaligus sebagai upaya peningkatan kompetensi penyuluh kepercayaan untuk mendapatkan pendidikan yang linier,” papar Sjamsul.
Sesungguhnya rencana pembuatan prodi baru ini memiliki tujuan yang positif. Tetapi berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Amar Kuliatu Zahro selaku sekretaris MLKI Kabupaten Banyumas, terdapat dua mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman yang berlatar belakang penghayat kepercayaan, namun sampai saat ini juga belum ada mata kuliah dasar pengembangan kepribadian penghayat kepercayaan.
“Informasi tersebut sudah kami koordinasikan dengan pihak universitas, kesepakatannya adalah saat ini memang belum ada mata kuliah untuk penghayat kepercayaan dan sedang dalam tahap penyusunan pedoman yang disinergikan dengan konsep merdeka belajar di kampus,” jelas Amar. Tetapi ia juga tidak bisa memastikan kapan mata kuliah itu terbit.
Muatan pendidikan lain yang masih terkendala adalah belum diedarkannya buku teks pelajaran ke peserta didik penghayat kepercayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Bayu sebelumnya, ia sampai saat ini belum menerima buku pelajaran penghayat kepercayaan dari sekolah atau dari dinas terkait.
“Berkenaan dengan fasilitas muatan pendidikan, seperti buku teks pelajaran di tingkat SD, SMP, dan SMA, kami di bawah komando Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud sedang dalam proses penyusunan, semoga bulan Oktober nanti rampung dan di bulan November bisa diedarkan,” kata Sjamsul.
Permasalahan terhadap layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan juga terjadi di SMA Negeri 1 Umalulu, Sumba Timur. Ninu Rambu selaku Direktur Yayasan Wali Ati menyampaikan bahwa layanan pendidikan bagi Penghayat Kepercayaan Marapu di SMA Negeri 1 Umalulu sampai detik ini masih terkendala, sebab terdapat oknum kepala sekolah yang belum memiliki kerelaan hati untuk menampung peserta didik yang berlatar belakang penghayat kepercayaan.
“Jika dalih yang digunakan adalah karena data administrasi kependudukan yang tidak lengkap, maka itu jelas tidak benar, yang sebenarnya terjadi berkat ulah oknum kepala sekolah itu sendiri yang berusaha menghalangi kami dan para penyuluh dengan perkataan yang diskriminatif,” tegas Ninu.
Menurut Ninu, hambatan dan kendala ini bisa diselesaikan dengan membangun koordinasi yang baik dari direktorat KMA hingga ke level dasar sekolah. Ia juga berharap agar lembaga masyarakat sipil untuk dilibatkan dalam setiap kegiatan musyawarah dan sosialisasi, sehingga permasalahan yang sesungguhnya terjadi yang menghambat akses pendidikan penghayat kepercayaan tidak ada yang tertutupi.
“Dari akses pendidikan ini semoga bisa menjadi peluang penting yang harus diambil bersama-sama dan dimanfaatkan secara bijaksana, sebagai salah satu ruang strategis untuk menunjukkan eksistensi kader-kader penghayat kepercayaan di tengah derasnya diskriminasi dari masyarakat kepada kita,” tutup Dian.
Penulis: Haris Setyawan
Penyunting: Mawa Kresna (AJI)
Ilustrator: Inggrid D. Wijaya
Tulisan ini merupakan hasil workshop dan fellowship “Liputan Praktik Baik Penghayat Kepercayaan di DIY” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dari 18 sampai 30 September 2020.