Rumah menjadi salah satu kebutuhan primer bagi seluruh masyarakat. Kebutuhan tersebut berusaha dipenuhi oleh pemerintah, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Akan tetapi, upaya pengadaan rumah di berbagai periode kepemimpinan seringkali terkendala oleh mekanisme pembayaran yang rumit, krisis ekonomi, dan salah sasaran.
Pengantar
Kebutuhan fisiologis dalam Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow menjadi salah satu aspek penting bagi kebutuhan hidup manusia. Salah satu bagian dari kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan akan tempat tinggal. Kebutuhan dasar ini menjadi perlu agar manusia terlindung dari panas serta hujan. Pada dasarnya, ras manusia atau masyarakat akan mati tanpa kebutuhan dasar (Aruma & Hanachor, 2017) yang terpenuhi.
Namun,kebutuhan akan rumah tidak selalu terpenuhi. Berdasarkan angka kebutuhan (backlog) perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), angka kebutuhan rumah mencapai sekitar 260.000 pada tahun 2020. Pemerintah, melalui berbagai kebijakan, mencoba membantu MBR dengan melakukan pengadaan rumah bersubsidi.
Pengadaan perumahan bagi MBR bukanlah hal yang baru. Upaya tersebut pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menyediakan rumah layak huni bagi para pekerja dan kalangan bumiputra karena mereka menempati pemukiman yang kumuh, kotor, dan menelan banyak korban jiwa ketika terjadi wabah (Sabaruddin, 2012). Atas permasalahan tersebut, pemerintah kolonial membentuk Woningvraagstuk yang bertugas untuk mengadvokasi penyediaan bangunan baru dan kondisi pemukiman bumiputra (Cobban, 1993).
Pada 1925, pemerintah kolonial mendirikan N.V. Volkshuisvesting (perusahaan perumahan) di tingkatan kotamadya yang berfungsi untuk memperoleh tanah dan menarik modal bagi pengadaan perumahan. Pemerintah pusat pun mengucurkan dana sebesar 75% dan kotamadya 25% (Colombijn, 2011). Model pendanaan tersebut dianggap menguntungkan karena perusahaan perumahan dapat mengurangi pinjaman yang bersifat swasta. Jika perusahaan perumahan mencapai target keuntungannya, maka perusahaan tersebut dapat beroperasi secara mandiri dan pemerintah kolonial tidak lagi memberikan pinjaman maupun bunga. Setelah proyek perumahan selesai, perusahaan akan membayarkan pajak kepada pemerintah kolonial, seperti pajak bumi, pajak jalan, pajak perusahaan, dan biaya pengembangan (Cobban, 1993).
Untuk mengakses rumah yang diadakan oleh pemerintah kolonial, diberlakukan sistem kredit dengan suku bunga rendah yang pengadaan dananya disalurkan dari bank ke organisasi yang dibentuk oleh pemerintah. Penyaluran kredit tersebut juga diawasi pada tingkat kotamadya dan daerah. Ketika bank setempat tidak dapat menyalurkan kredit dengan bunga rendah, maka pemerintah kolonial harus membuat bank yang mampu memberikan kredit yang murah (Cobban, 1993). Meskipun telah dibentuk mekanisme kredit murah, pengembang real estate yang dilibatkan oleh pemerintah kolonial dalam pembangunan perumahan lebih tertarik dengan rumah yang disewakan dengan harga di atas 80 gulden daripada yang senilai di bawah 30 gulden. Para pengembang menganggap bahwa kinerja untuk mengelola dana dari harga sewa di bawah 30 gulden dianggap tidak sepadan dengan margin laba yang didapatkan dan nilai jualnya rendah. Padahal, di luar pasar perumahan yang diadakan oleh pemerintah kolonial, banyak tempat tinggal dengan harga sewa di bawah 10 gulden. Bahkan, bumiputra yang berpenghasilan rendah pun menganggap bahwa harga sewa sebesar 5,5 gulden saja telah memberatkan.
Pada akhirnya, pemerintah kolonial menyadari bahwa MBR tidak mampu mengakses perumahan dengan harga sewa yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah kolonial lebih memprioritaskan program lain karena tidak memungkinkan untuk mengadakan perumahan dengan harga sangat murah dalam jumlah besar (Colombijn, 2011). Selain rendahnya penghasilan bumiputra dan tidak diprioritaskannya lagi urusan perumahan, pada 1930-an terjadi depresi ekonomi. Pemasukan ke kas pemerintah pun menurun karena banyak perusahaan yang mengalami kerugian, sehingga pemerintah kolonial perlu memangkas berbagai pengeluaran, seperti pendidikan, kesehatan, administrasi, polisi, tentara, angkatan laut, dan perumahan (Cobban, 1993).
Kegagalan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam pengadaan perumahan bagi MBR tidak dapat ditanggulangi kembali. Terlebih lagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda digantikan oleh Jepang yang berkuasa sejak 1942. Pada masa kolonial Jepang, urusan perumahan bagi bumiputra tidak menjadi prioritas utama karena berada dalam masa perang. Pembahasan mengenai perumahan murah dan layak huni pun hanya sebatas diskusi yang tidak direalisasikan (Colombijn, 2011).
Pengadaan Perumahan Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kembali merencanakan pengadaan perumahan layak huni dan terjangkau bagi masyarakat. Hal tersebut kemudian direalisasikan dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung pada 25-30 Agustus 1950 yang bertujuan mengeksplorasi, sekaligus peremajaan bagi rumah-rumah warga yang kurang mampu. Setelah kongres berjalan, diusulkanlah upaya untuk mengadakan perumahan sederhana bagi masyarakat. Kesimpulan dari kongres tersebut adalah pengadaan rumah harus memperhatikan aspek fisik dan sosial; serta dijalankan dengan sistem asosiasi perumahan koperasi (Yayasan Kas Pembangunan). Kesimpulan yang terakhir merupakan usulan Soemitro Djojohadikoesomo, Menteri Perdagangan dan Industri (Periode Kabinet Wilopo – Prawoto, 1952-1953) dan dianggap mampu memberikan solusi atas kekurangan dana. Usulan Soemitro juga menjadi kebijakan resmi negara melalui sebuat dekrit yang diumumkan pada 1952. Dengan diumumkannya dekrit tersebut, modal awal untuk membangun perumahan didapatkan dari pemerintah pusat. Setelah itu, masyarakat dapat menyisihkan uang dan menyetorkannya pada Yayasan Kas Pembangunan untuk mengakses perumahan rakyat (Colombijn, 2011).
Pada 25 April 1952, melalui SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952, dibentuklah Djawatan Perumahan Rakyat, di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja yang bertugas untuk mengatur kebijakan, pendataan permintaan perumahan, mengurus masalah teknis pada bangunan, dan pembiayaan pembangunan perumahan. Dalam urusan keuangan, Djawatan Perumahan Rakyat berkoordinasi dengan Badan Penyelenggara Perumahan Rakyat dan Yayasan Kas Pembangunan untuk menyediakan perumahan rakyat dengan harga di bawah pasaran. Yayasan Kas Pembangunan ini mirip dengan N.V. Volkshuisvesting pada masa kolonial Hindia Belanda. Yayasan Kas Pembangunan mengembangkan dananya melalui pembangunan proyek yang dilakukan setelah mendapatkan uang dari penjualan rumah-rumah. Dengan demikian, uang dapat langsung dialokasikan dalam proyek-proyek baru. Hal tersebut berbeda dengan N.V. Volkshuisvesting yang mendapatkan uang sewa dari rumah-rumah untuk pemeliharaan rumah tersebut, bukan dialokasikan dalam proyek pembangunan rumah-rumah baru (Colombijn, 2011).
Pemerintah memang berupaya untuk mengadakan rumah-rumah bagi masyarakat tidak mampu, namun pada pelaksanaannya rumah-rumah tersebut hanya dapat dijangkau oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui sistem beli maupun sewa. Ironisnya, tidak semua PNS tersebut menempati perumahan rakyat, tetapi menjual kembali pada orang lain. Pengadaan perumahan rakyat bagi masyarakat tidak mampu ini semakin menemui kebuntuan karena Indonesia mengalami krisis ekonomi dan dana pembangunan proyek perumahan menjadi tersendat (Colombijn, 2011).
Pembangunan perumahan rakyat yang sempat tersendat pada masa pemerintahan Soekarno, kemudian dilanjutkan pada era Soeharto dengan membentuk Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasioanl (BKPN) pada 1972. Pada Repelita I, pembangunan swadaya dan swasembada pangan menjadi prioritas utama, sedangkan perumahan rakyat masih belum diutamakan karena masih dilakukan tahap persiapan. Pada tahap ini, pemerintah membentuk Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) pada 1972 yang berfungsi sebagai penyedia lahan dan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan perumahan. REI pun dilengkapi dengan Pusat Penyuluhan Perumahan dan LITBANG Perumahan yang melakukan penelitian terkait dengan usaha menyediakan perumahan rakyat (Budi, 2018).
Pengadaan perumahan rakyat lebih difokuskan lagi dalam Repelita II yang membahas bahwa perumahan rakyat harus mengimbangi pertumbuhan penduduk, khususnya di perkotaan; dilakukan dengan bantuan pemerintah dan swakarya masyarakat sendiri; memperhatikan perencanaan tata kota; serta menggunakan sistem kredit rumah agar lebih efektif. Untuk menjalankan proyek pembangunan, pemerintah melakukan lelang (tender project) dan undangan terbuka bagi para investor swasta (Budi, 2018). Dalam urusan keuangan, pemerintah bersama BUMN membentuk Perum Perumnas pada 18 Juli 1974 yang kemudian menggandeng Bank Tabungan Negara (BTN) untuk memfasilitasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan suku bunga bersubsidi. BTN memberikan bunga maksimum sebesar 5-9% per tahun dengan jangka waktu kredit mencapai 20 tahun (Budi, 2018). Untuk persentase sasaran dari perumahan rakyat adalah 80% keluarga berpenghasilan rendah, 15% keluarga menengah, dan 5% berpenghasilan tinggi. Meskipun sasaran dari perumahan rakyat telah diatur, pemerintah tetap memprioritaskan PNS, ABRI, dan pegawai swasta berpenghasilan tetap.
Pembangunan awal dari perumahan rakyat ini difokuskan di Jabodetabek yang merupakan area perkotaan, penunjang ekonomi, dan padat penduduk. Pada 1979, sebanyak 73.914 unit rumah telah dibangun, serta banyak perumahan rakyat yang didirikan di Depok, Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, dan Makassar. Jumlah pembangunan perumahan rakyat semakin meningkat, dari 233.770 unit pada 1984 menjadi 300.280 unit pada 1994. Proyek pembangunan menjadi tersendat ketika memasuki 1998 karena terjadi krisis ekonomi dan pergantian rezim.
Setelah berganti rezim, pengadaan perumahan rakyat masih terus berjalan, tetapi tidak semasif yang dilakukan semasa Orde Baru. Program tersebut baru mendapat perhatian besar ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana (Rusuna) bagi masyarakat yang dijalankan pada 2007-2011. Sasaran dari program tersebut adalah masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 5,5 juta per bulan. Selama pelaksanaan program Rusuna tersebut, terdapat mekanisme yang dianggap “revolusioner”, yaitu menghilangkan subsidi untuk penyediaan perumahan rakyat. Sebagai gantinya, dilakukan penjualan surat-surat KPR di pasar modal dan dapat dijual kepada para investor di pasar keuangan global. Mekanisme tersebut diharapkan dapat menggerakkan dana bagi bank dan industri perumahan rakyat. Dengan demikian, negara hanya berperan dalam mendukung iklim investasi yang kondusif, serta menyediakan akses masyarakat untuk mendapatkan rumah dari pinjaman kredit hasil investasi di pasar keuangan (Kusno, 2012).
Untuk menyediakan akses bagi masyarakat, terdapat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang mengatasi masalah demand melalui penurunan suku bunga kredit, sehingga mampu meningkatkan supply rumah. Masyarakat atau pembeli rumah melalui FLPP perlu memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang tidak dimiliki pekerja informal atau masyarakat berpenghasilan tidak tetap. Pada kasus Rusuna, sempat terjadi penyegelan oleh pemda DKI Jakarta terkait izin pembangunan. Dalam rentang waktu penyegelan tersebut, para pengembang menaikkan tarif Rusuna sesuai harga pasaran. Selain itu, pengembang juga mengalihkan sasaran pasar dari MBR ke masyarakat menengah (Kusno, 2012).
Tapera Sebagai Solusi
Upaya pengadaan rumah di setiap periode kepemimpinan memiliki konsep, sasaran, dan kendalanya masing-masing, tak terkecuali pada periode kedua kepemimpinan Joko Widodo. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2020. PP tersebut bertujuan menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat yang menjadi peserta dari Tapera. Berdasarkan Pasal 7 PP 25/2020, peserta dari Tapera dibedakan menjadi dua, yaitu pekerja dan pekerja mandiri. Pekerja terdiri atas ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN, BUMD, dan pegawai swasta, sedangkan pekerja mandiri cakupannya seperti para freelancer.
Para peserta diharuskan membayar 3% dari penghasilannya, dengan rincian 0,5% berasal dari pemberi kerja, sedangkan 2,5% ditanggung oleh pekerja itu sendiri. Iuran kepada pekerja mandiri dibebankan pada penghasilan rata-ratanya per bulan miliknya sendiri. Peserta Tapera ini hanya berlaku bagi MBR yang memiliki kisaran gaji Rp 4-8 juta. Dana yang telah terhimpun dari Tapera ini kemudian akan dikelola oleh manajer investasi di saham-saham bluechip untuk meningkatkan aset BP Tapera
Meskipun bertujuan menyediakan rumah bagi MBR, mekanisme pemotongan gaji oleh Tapera ini menuai berbagai keluhan. Sebelum tapera berlaku, pekerja telah dibebani pemotongan gaji dari BPJS Kesehatan sebesar 1%, Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 2%, Jaminan Pensiun sebesar 1%, dan Pph 21. Para pemberi kerja pun mengeluhkan adanya Tapera karena mereka harus meningkatkan jumlah pengeluaran. Selain itu, belum ada kejelasan mengenai mekanisme yang memastikan pemanfaatan tabungan perumahan, seperti kepemilikan tanah dan terdapat anggapan bahwa menjadi peserta dari Tapera belum tentu bisa memiliki rumah.
Penguraian masalah pengadaan perumahan rakyat melalui Tapera masih menuai banyak kritik. Secara regulasi, jika ditelaah lebih lanjut Tapera dibebankan hanya kepada pekerja dan pemberi kerja, alih-alih pemerintah. Sifat wajib pada iuran Tapera akan menjadi beban baru. Hal ini tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 yang mana pemerintah wajib menyediakan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggalnya.
Akan tetapi, secara konseptual, asas-asas yang terdapat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) tidak konsisten dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Padahal dapat dilihat dari poin mengingat, UU Tapera mendasarkan diri pada UU PKP. Terutama di bagian asas kegotongroyongan, secara filosofis asas ini yang menjadi dasar bahwa iuran Tapera secara bersama-sama dibebankan ke pekerja dan pemberi kerja lalu dikelola pemerintah. Asas ini merupakan asas baru yang tidak hadir di UU PKP.
Selain itu, kritik terhadap UU Tapera terdapat pada tidak adanya keterlibatan antara pekerja dan pemberi kerja sebagai masyarakat dalam hal perencanaan. Padahal UU PKP sudah mengatur dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa perencanaan dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Anggota BP Tapera maupun Komite Tapera yang salah satu fungsinya adalah untuk melakukan perencanaan tidak melibatkan pihak pekerja maupun pemberi kerja.
Selain kelemahan-kelemahan di atas, pada prinsipnya salah satu alasan Tapera hadir dikarenakan terbatasnya akses terhadap pembiayaan perumahan. Hal ini diindikasikan oleh rasio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terhadap PDB Indonesia masih di bawah 3 persen (2017) dan cukup tertinggal dibandingkan Malaysia yang sudah mencapai 38,4 persen. Sebagai solusi, sebenarnya Tapera memiliki beberapa kelebihan dibandingkan kebijakan-kebijakan sebelumnya.
Pertama, Tapera tidak hanya bermanfaat bagi yang tidak memiliki rumah, tetapi juga yang sudah memiliki rumah. Terlihat dari Pasal 25 UU Tapera, manfaat pembiayaan perumahan bagi peserta meliputi pembiayaan kepemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah. Jadi, bagi yang sudah memiliki rumah juga dapat merasakan manfaat dari Tapera karena bisa digunakan untuk memperbaiki rumah.
Kedua, BP Tapera merupakan lembaga yang akan menggantikan sekaligus menyempurnakan fungsi dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum PNS) yang melayani bantuan tabungan perumahan bagi abdi negara. Pergantian ini akan menyetarakan PNS dan pekerja mandiri dalam mendapatkan rumah sehingga tidak rentan terjadi ketimpangan. Hal ini juga dapat mempersingkat birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan perumahan yang layak bagi semua elemen masyarakat.
Ketiga, walaupun dibebankan ke pekerja dan pemberi kerja, terdapat syarat untuk mendapatkan rumah dari Tapera. Peserta yang memenuhi kriteria MBR seperti diatur dalam Pasal 7 UU Tapera, yaitu berpenghasilan maksimal Rp 8 juta dan belum memiliki rumah, berhak mengajukan manfaat pembiayaan perumahan dengan bunga murah menggunakan skema KPR. Namun, bagi peserta yang tidak memenuhi kriteria tersebut berhak memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) UU Tapera. Kelebihan ini memberikan kejelasan tentang penyaluran dana bagi masyarakat yang tidak memenuhi kriteria mendapatkan rumah dari Tapera.
Penutup
Dalam sebuah kebijakan, penting bagi pemerintah untuk mengambil aspirasi masyarakat. Terlebih lagi, upaya pengadaan perumahan bagi MBR di berbagai kepemimpinan justru tidak mampu dijangkau oleh MBR itu sendiri. Kepemimpinan sebelumnya memang mengupayakan rumah dengan harga murah, namun pada praktiknya justru disediakan untuk para pegawai negara, lebih banyak menguntungkan swasta, dan pendanaan perumahan rakyat justru kurang diprioritaskan daripada kebijakan lainnya.
Tapera memiliki kekurangan dan kelebihannya, namun perlu untuk dilihat mana yang tidak merugikan rakyat. Solusi yang bisa diambil pemerintah adalah dengan mengikusertakan masyarakat dalam perencanaan Tapera, serta tidak membebankan Tapera ke seluruh pekerja maupun pemberi kerja. Tapera diperuntukan bagi yang berminat sehingga tidak bersifat wajib. Melalui mekanisme seperti ini, diharapkan Tapera sebagai kebijakan menyasar sebagaimana maksud dan tujuan awalnya. Penting bagi MBR untuk memiliki hunian layak, tidak hanya segelintir orang kaya negeri ini saja.
Penulis: Beby Putri Adriansyah Pane dan Tita Meydhalifah
Penyunting: Fadhilla Dwi Prameswary Rayes
Ilustrator: Ingga Malia Dewi
Referensi
Aruma, E. O. dan Hanachor, Melvins Enwuvesi. “Abraham Maslow’s Hierarchy of Needs and Assesment of Needs in Community Development.” International Journal of Development and Economic Sustainability. Vol.5, No.7, 2017.
Budi, Agung Setya. “Perumahan Rakyat: Usaha Pemerintah Menyediakan Rumah untuk Rakyat (1950-1977)”. Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah. Universitas Negeri Jakarta, 2018.
Cobban, James L. “Government Housing Policy in Indonesia 1900-1940”. GeoJournal. Vol. 29, No. 2, 1993.
Cobban, James L. “Public Housing in Colonial Indonesia 1900–1940”. Modern Asian Studies. Vol.27, No. 04, 1993.
Colombijn, Freek. “Public Housing in Post-colonial Indonesia: The Revolution of Rising Expectations”. Bijdragen tot de Taal–, Land-en Volkenkunde. Vol. 167, No. 4, 2011.
Kusno, Abidin. Politik Ekonomi Perumahan Rakyat dan Utopia Jakarta. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
Sabaruddin, Arief. Arsitektur Perumahan di Perkotaan. Bandung: Puskim, 2012.