Usia senja tidak membuat keinginan mereka untuk tetap mengajar hilang. Arah pendidikan tinggi yang pragmatis menjadi salah satu alasannya.
“Tidak ada dan tidak akan pernah ada reformasi di Indonesia,” ujar Yateman Arryanto, seorang dosen Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM. Pernyataan tersebut diutarakan saat menjadi pembicara dalam seminar di University of Western, Australia, pada 20 Mei 1998. Pada kesempatan yang sama, ia menjelaskan bahwa Indonesia terkena “kutukan keris Empu Gandring”, yaitu kutukan yang membuat orang-orang memperebutkan kekuasaan. Maka dari itu, seiring berjalannya waktu hal tersebut menjadi suatu budaya di Indonesia. Ia pun menyadari bahwa orang-orang gemar mencari kekuasaan, sebab terdapat kesalahan pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Yateman, pendidikan tinggi di Indonesia sangatlah transaksional. Baginya, dosen puas dengan mendapatkan gelar profesor, dan mahasiswa puas mendapatkan sertifikat kelulusan dari universitas. Hal ini membuat universitas hanya berfungsi sebagai ladang untuk mencari gelar saja. Dosen yang telah mengajar sejak tahun 1981 ini menambahkan bahwa gelar di Indonesia dapat menciptakan struktur hierarkis di tengah masyarakat. Maka dari itu, ia menyimpulkan bahwa universitas adalah salah satu institusi yang melanggengkan strata masyarakat. ”Universitas-universitas di Indonesia hanya membangun senapati-senapati yang bukan pemikir,” ujar dosen yang telah memasuki usia pensiun ini.
Beberapa departemen di UGM masih mempekerjakan dosen yang telah pensiun seperti Yateman. Hal ini bertentangan dengan undang-undang mengenai tenaga pendidik di perguruan tinggi. Pada Pasal 67 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, batas usia pensiun dosen non profesor adalah 65 tahun. Sedangkan, menurut Pasal 72 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, batas usia pensiun dosen bergelar profesor adalah 70 tahun.
Persoalan terkait usia pensiun dosen dapat diatasi dengan pemberian Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) yang dapat memperpanjang masa mengajar dosen yang bersangkutan. Perihal NIDK diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2015 tentang Registrasi Pendidik pada Perguruan Tinggi. Bila telah terdaftar dengan NIDK, masa mengajar dapat diperpanjang sampai dengan lima tahun untuk dosen non profesor, dan sembilan tahun untuk dosen bergelar profesor. Akan tetapi, UGM tidak memberikan nomor induk ini kepada dosen yang masih mengajar meskipun telah memasuki usia pensiun.
Meskipun menyalahi peraturan tersebut, pihak departemen berdalih bahwa mereka kekurangan tenaga pengajar. Hal ini disebabkan oleh sistem rekrutmen dosen yang kini terpusat di tingkat universitas. Sistem tersebut berbeda dengan sistem sebelumnya yang memberikan otonomi kepada fakultas untuk merekrut dosen sesuai keperluannya. Menurut Dr. Winarto Haryadi, M.Si. selaku Sekretaris Departemen Kimia FMIPA UGM, sistem ini mempengaruhi kurangnya jumlah tenaga pendidik di departemen tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tiga dosen yang sudah pensiun, termasuk Yateman, diminta untuk tetap mengajar. “Jika setahun ada satu–dua dosen yang direkrut dan dosen yang pensiun lebih banyak dari jumlah tersebut, otomatis ia dibutuhkan dan diminta untuk tetap mengajar,” ujarnya. Ia menambahkan pula bahwa dosen-dosen tersebut memang masih dibutuhkan keahliannya.
Prof. Dr. Lincolin Arsyad, M.Sc. selaku Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM menyetujui pendapat Winarto. Ia menyayangkan bila ilmu dari dosen-dosen yang telah pensiun tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh para mahasiswa. Walaupun begitu, pihak departemen tidak memaksa mereka untuk tetap mengajar. “Karena bekerja secara sukarela, mereka dapat memperkirakan kemampuan diri terkait umur dan kondisi kesehatan mereka,” tuturnya. Ia juga mengimbuhkan bahwa pihak departemen merasa terbantu dengan hal ini sebab kurangnya jumlah dosen di departemen ini.
Meskipun akademik jurusan tidak memberikan NIDK kepada Yateman, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap mengajar. Bagi Yateman, dunia saat ini membutuhkan seorang panutan. Terlepas dari sifat benar atau tidaknya panutan tersebut merupakan bagian dari urusan Tuhan. “Di Indonesia terlalu banyak orang tua yang sifatnya seperti anak-anak, tidak bersikap seperti orang dewasa,” ujar Yateman. Di tempat yang berbeda, Dra. Endang Sih Prapti Soemiantoro M.A., salah seorang dosen di Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM pun mengamini pernyataan Yateman. Endang mengungkapkan bahwa tugas manusia yaitu memaksimalkan apa yang dimiliki. “Inilah yang disebut dengan manusia berniat, Tuhan yang menentukan hasilnya,” tegas Endang.
Mengalami hal yang sama dengan Yateman, Endang mengatakan alasannya untuk tetap mengajar mahasiswa. Bagi Endang sendiri, mahasiswa tidak layak untuk mendapatkan ilmu dari asisten dosen. Pasalnya, asisten dosen belum memiliki pengetahuan yang mumpuni. Atas dasar itu, mahasiswa seharusnya mendapatkan ilmu langsung dari sumbernya yaitu dosen. Baginya, itulah cara menghormati mahasiswa sebab mahasiswa tidak hanya mengeluarkan uang kuliah semata. Mereka juga mesti mengorbankan waktu dan hal-hal kesukaan yang tidak bisa dinikmati karena status kemahasiswaannya. “Ini yang mesti kami bayar kepada mereka sebagai dosen melalui ilmu yang baik dan juga nilai hasil jerih payah mereka,” jelas dosen yang telah pensiun sejak tahun 2011 lalu ini.
Selama mengajar, Endang merasa bahwa generasi cendekia muda Indonesia sedang dilanda degradasi intelektual. Dirinya menyatakan hal ini terjadi, sebab banyak orang yang terpengaruh oleh hasutan untuk terlibat dalam aksi politik tanpa berpikir kritis. Ia mencontohkan dengan adanya aksi “411”, “212” dan “313” di Jakarta. Maka dari itu, Endang berpendapat bahwa mengajar mahasiswa agar menjadi intelektual adalah tugas berat. “Lulusan S-1, S-2, S-3, maupun profesor itu bisa jadi hanya sarjana, belum tentu intelektual,” tambahnya.
Selain itu, Endang menekankan kepada para dosen untuk mampu mengajar dengan berlandaskan filosofi dari mata kuliah yang diampu. Dengan mengaitkan filosofinya, mahasiswa diharapkan tidak hanya paham dengan teorinya saja, tetapi mengerti makna dari mata kuliah yang diajarkan. Menurutnya, jika mata kuliah yang diajarkan tidak dikaitkan dengan filosofinya, maka ilmu itu hanya akan sebatas teori. “Mengajarlah dengan filosofi yang sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan sehingga mahasiswa mengerti makna dari ilmu tersebut,” ucap Endang.
Mengamini Endang, Yateman mempunyai kriteria dosen yang dianggapnya ideal. Ia menyampaikan bahwa dosen yang baik adalah dosen yang mampu menuangkan pemikirannya kepada mahasiswa. Dengan begitu adalah kewajiban bagi dosen untuk menyampaikan ide dan gagasannya. “Jika hanya menyampaikan pengetahuan dari buku, mahasiswa dapat mencari sendiri,” tuturnya.
Kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia mengantarkan Yateman kepada suatu fisafat hidup yang didasarkan pada dua teori fisika. Teori yang pertama adalah teori termodinamik yang membahas tentang keadaan awal dan akhir dan berfokus pada tujuan akhirnya. Kemudian, teori kinetik berbicara tentang proses untuk mencapai tujuan tersebut sehingga bila prosesnya baik, maka hasilnya akan baik pula. Bagi Yateman, kinetika suatu reaksi sama dengan kinetika kehidupan. “Saya berbuat, salah satunya adalah dengan mengajari mahasiswa agar tidak menjadi termodinamik yang hanya memikirkan perkara hasil tanpa memperhatikan prosesnya,” pungkasnya. [Muhammad Irfan Hafidh, Oktaria Asmarani]
Erata:
-Nama narasumber Dra. Endang Sih Prapti Soemiantoro M.A. sebelumnya tertulis Prof. Dra. Endang Sih Prapti Soemiantoro M.A.