
©Putra/Bal
Suara palu bertalu riuh. Bilik-bilik bambu mulai dirobohkan. Para orang tua pun harus kehilangan sumber pencahariannya kini. Sedang anak-anak, dipaksa rela kehilangan tempat bermainnya.
Lonjoran baja terjajar rapi di atas tumpukan koral menjadi lanskap ketika memasuki kawasan ini. Sesekali diseberangi warga sekadar untuk bertegur sapa dengan tetangga. Setiap 5–10 menit sekali, rangkaian gerbong melintas. Deru bisingnya melengkapi pemandangan umum di Bong Suwung, permukiman bantaran rel kereta api sebelah barat Stasiun Tugu Yogyakarta.
Secara administrasi, Bong Suwung termasuk ke dalam wilayah Kemantren Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Di balik tembok kantor-kantor pemerintahan dan seberang gedung-gedung hotel bertingkat, ia ada. Letak Bong Suwung yang tak jauh dari Malioboro sebagai pusat pariwisata Yogyakarta langsung memberikan kesan kontras ketika memasukinya. Hanya lorong dan gang kecil selebar dua bahu orang dewasa yang menjadi lintasan hilir mudik untuk keluar-masuk kawasan ini.
Siang itu, Jati Nugroho tengah duduk di depan salah satu angkringan di Bong Suwung. Kursi panjang yang terbuat dari bambu menjadi tempatnya duduk bersandar. Tak lupa, kopi hitam tersaji di hadapannya sembari ia mengepulkan asap tembakau pekat. Sudah empat dekade Nugroho bergelut dengan kerasnya kehidupan kota Yogyakarta. Bong Suwung pun seakan menjadi saksi atas perjalanan hidupnya.
Nugroho merupakan ketua dari Paguyuban Bong Suwung yang memayungi komunitas warga di kawasan tersebut. Bisa dibilang semacam pamong atau kepala dusun. Kesehariannya ia habiskan dengan ngerosok atau mengumpulkan barang-barang bekas. Sudut-sudut kota sekitaran Malioboro pun takkan luput dari langkah kakinya. “Plastik, sandal, semua barang bekas laku,” terangnya.
Namun kemudian, urusan mencari barang bekas yang biasa Nugroho lakukan digantikan istrinya. Maklum saja, katarak yang menyelimuti mata Nugroho membuat penglihatannya berangsur-angsur menurun seiring bertambahnya usia. “Istri saya masih ngerosok juga. Padahal udah tua, tapi semangat hidupnya luar biasa,” tambahnya.
Kendati demikian, Nugroho masih ingat betul ketika pertama kali dirinya menginjakkan kaki di Bong Suwung, tepatnya pada tahun ‘80-an. Menurut penuturannya, dahulu Bong Suwung merupakan area makam yang sangat sepi dan tidak ada permukiman. Belum lagi dengan minimnya penerangan menjadikan Bong Suwung sebagai tempat beraksi para preman kala keheningan malam mulai menyelimuti. “Tempatnya sangat sepi dan rawan tindak kekerasan karena dekat stasiun,” tutur Nugroho.
Lambat laun, beberapa orang mulai mengisi ruang-ruang kosong di kawasan ini. Latar belakang dan tujuan mereka pun beragam. Akan tetapi, Nugroho lebih suka merangkum semua alasan itu dengan istilah “tekanan kehidupan”. “Terus mendirikan bangunan sederhana untuk usaha dagang kecil-kecilan, seperti wedang dan makanan kecil,” terangnya.

Suasana kontras Bong Suwung dengan gemerlap lampu perkotaan Yogyakarta ketika malam hari. ©Putra/Bal
Semakin terisinya ruang-ruang di Bong Suwung menjadi daya tarik bagi mereka dengan tekanan kehidupan yang sama. Tak hanya bagi para pedagang kecil, Bong Suwung pun menjelma menjadi ladang rezeki bagi para perempuan untuk melakoni pekerjaan sebagai pekerja seks. “Mbak-mbak ini pun [datang ke Bong Suwung-red] karena tekanan ekonomi,” ungkap Nugroho. Ikatan para pekerja seks dan pedagang pun diakui Nugroho seperti menyatu dan tak dapat dipisahkan.
Sedari dulu, aktivitas perjudian dan peredaran minuman keras menjadi hal yang lumrah di Bong Suwung. Belum lagi dengan tindak kekerasan yang sering terjadi. Bahkan saking ngerinya kawasan ini, santer terdengar ungkapan di masyarakat mengenai pantangan untuk berjalan ke arah barat Stasiun Tugu selepas turun dari kereta. “Ngeri betul dulu tindak kekerasan. Nggak segan-segan untuk melukai dan mengambil harta yang berharga,” kisah Nugroho.
Berbarengan dengan para warga lainnya, Nugroho kemudian mencoba untuk menata ulang Bong Suwung. Tujuannya adalah untuk membuat suasana lebih kondusif dan terhindar dari stigma negatif sebagai sarang kriminalitas yang selama ini melekat. Pada kurun tahun 2010–2013, upaya demi upaya perubahan pun coba dilakukan oleh warga secara kolektif dan swadaya. “Sekarang aman betul di sini, Dek. Dulu dunia miras, tindak kekerasan, perjudian, sekarang udah nggak ada,” tutur Nugroho.
Mereka di Ambang Petaka
“Dulu pas Corona, menari aku siang-siang jam segini nggak pake sandal, nggak pake apa,” kenang kembali Nia. Persis di tengah rel kereta tempatnya berdiri itu menjadi panggung bagi warga Bong Suwung mengumpulkan dana guna mendirikan dapur umum. Maklum saja, kala pandemi melanda, kawasan tersebut ditutup total. Aktivitas hilir mudik warga pun amat dibatasi.
Teriknya matahari siang itu tak menghalangi Nia untuk coba menguntai kembali banyaknya memori bahagia selama berada di Bong Suwung. Upayanya tersebut hampir saja memantik air matanya untuk menetes. “Aku bisa kenal banyak orang di sini, aku bisa kolaborasi sama temen-temen seniman juga di sini,” kenang Nia.
Kenangan Nia berubah menjadi kegelisahan. Hal tersebut merupakan imbas dari wacana sterilisasi yang akan dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 6 Yogyakarta di kawasan Bong Suwung. Wacana tersebut muncul sejak pihak Kesultanan Yogyakarta mengeluarkan serat palilah (01-07-24) yang berisi pemberian izin pemanfaatan tanah Kasultanan atau Kadipaten untuk sementara waktu. Hal inilah yang menjadi dalih PT KAI menggusur pemukiman warga yang selama ini berdiri di atas tanah milik keraton (Sultan Ground).

Rumah warga yang telah dibongkar. ©Putra/Bal
Edaran serat palilah dari keraton ini memantik kecemasan bagi seluruh warga Bong Suwung. Sampai di suatu siang yang panas dan gerah (28-09), warga pun mulai mengemasi barang-barangnya. Bilik-bilik kayu yang selama ini menaungi dari panas dan hujan pun harus rela mereka cungkili.
Satu per satu puing mereka angkut ke dalam truk menuju selter-selter penampungan sementara. Warga pun saling bahu-membahu melakukannya. Namun, sesaknya dada dan murungnya suasana tak dapat disembunyikan dari raut muka dan tatapan sendu yang mereka tampakkan.
Tak lama kemudian saat Nia sibuk mengenang kehidupannya dulu di Bong Suwung, ia didatangi oleh seorang lansia, Karinah. Ternyata, cucu Karinah hendak mengikuti ujian di sekolahnya. “Ini kan mau dipindah ke selter, dadi aku titip [cucunya-red] sampai ujian rampung, iso ora?” tanyanya kepada Nia.
Tanpa berpikir panjang, permintaan tersebut pun langsung disanggupi oleh Nia. “Nggih, Mak,” turutinya. Hanya bantuan ini yang bisa ia berikan kepada warga Bong Suwung yang telah menjadi keluarganya.
Tak hanya Nia, Rani menjadi salah satu di antara puluhan pekerja seks yang menggantungkan hidup di kawasan Bong Suwung. Terhitung 13 tahun sudah ia lalui untuk menjalani hidup di Yogyakarta. Sebagai perantau dari pulau seberang, Rani terbiasa menjadi tulang punggung bagi keluarganya. “Aku menghidupi keluarga sendiri. Dulu ayahku strok sampai meninggal itu aku juga yang biayain,” kisah Rani.
Kendati tampak tegar, Rani juga tak dapat membohongi perasaannya. Sebagai ibu dari dua orang anak, penggusuran merupakan suatu pukulan telak baginya. Mata Rani berkaca-kaca. Tatapannya mengisyaratkan ketakutan akan bayangan abu-abu perihal nasib anak-anaknya. “Aku kasihan sama anakku. Apa anakku harus kuajak tidur di pinggir jalan? Nggak tega,” ungkap Rani bersedu.

Warga bergotong royong memindahkan harta bendanya. ©Putra/Bal
Rani tak sendiri. Lebih dari 200 orang warga yang tergabung dalam 75 kartu keluarga juga ikut terdampak wacana penggusuran tersebut. Belum ada kejelasan nasib para warga yang selama ini menggantungkan hidupnya di Bong Suwung. “Aku masih bingung harus kerja apa coba? Aku nafkahin anak, ngasih makan dari mana?” dalam pilunya, gundah Rani.
Gonjang-ganjing isu penggusuran turut berpengaruh pada penghasilan Rani sehari-hari. Sempat terucap kepada anaknya untuk tidak melanjutkan sekolah. Mau tak mau, tak ada ongkos dan uang saku yang bisa ia beri. “Ma, jangan gitu. Aku tetep sekolah. Aku dibekali air aja aku udah bersyukur,” ujar Rani meniru ucapan anaknya.
Hati Rani pun kian luluh lantak mendengar anaknya yang turut berusaha tabah. Ia tahu, tak mudah bagi dirinya dan anaknya dalam menanggapi situasi semacam ini. Linangan air mata Rani pun akhirnya tak dapat terelakkan lagi. “Sakit nggak, Mas? Misal jadi orang tua denger anak seperti itu,” ucapnya merintih lirih.
Pada Kamis (03-10), PT KAI melancarkan penggusuran permukiman yang berada di kawasan Bong Suwung. Banyak kerugian yang ditimbulkan akibat dari penggusuran ini. Bukan hanya secara materiel tetapi juga morel. Hal ini tak hanya berdampak pada warga yang berprofesi sebagai pedagang dan pekerja seks. Namun, juga terhadap anak-anak Bong Suwung yang masa depannya kini turut terancam.
Tak Lagi Punya Tempat Bermain
Bagi Rani dan warga lainnya, Bong Suwung bukan hanya sebagai tempat untuk mencari nafkah dan bernaung. Lebih dari itu, Bong Suwung juga menjadi wahana bagi 33 anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang. “Banggane gini, Mas, orang tua yang nggak bisa nyekolahin, di sini diadakan sekolah,” jelas Rani.
Di Bong Suwung, anak-anak memang terbiasa memiliki kegiatan belajar di luar jam sekolah. Damar, salah satu pengurus Paguyuban Bong Suwung, menjadi orang yang biasa menanggungjawabi kegiatan belajar anak-anak di Bong Suwung yang diberi nama “Sekolah Senja”. “Ada kegiatan sekolah di balai sini, setiap Sabtu ada kegiatan,” jelas Damar.
Damar menyadari pentingnya anak-anak sebagai penjembatan antara Bong Suwung dengan dunia luar. Berbagai organisasi dari berbagai lapisan elemen pun silih berganti singgah di Bong Suwung, mulai dari akademisi hingga yayasan keagamaan. Tujuannya untuk membersamai anak-anak dalam proses belajar. “Semua piagam penghargaan Sekolah Senja, untuk anak-anak itu. Hasil karya anak-anak,” ungkap Damar dengan bangga.

Potret anak-anak mengikuti Sekolah Senja di Balai Bong Suwung. ©Istimewa/Bal
Senada tapi tak sama dengan Rani, penggusuran bagi Damar hanya akan membuat hak-hak yang dimiliki anak-anak menjadi terabaikan. Penggusuran seakan-akan menjelma sebagai kedok untuk merenggut kebahagiaan anak-anak. Satu hal yang disayangkan oleh Damar, hak anak-anak untuk ceria dengan ruang bermain yang mereka miliki kini harus sirna. “Dia [anak-anak-red] nggak ngerti rencana apa yang dilakukan di Bong Suwung. Ngertinya dia bisa jajan, bisa makan, bisa main sama temennya,” tegas Damar.
Suara Damar pun kini perlahan meninggi. Ia memang dikenal sebagai orang yang getol memperjuangkan nasib anak-anak Bong Suwung. Bisa dibilang, Damar merupakan garda terdepan dalam hal ini. Ia sadar betul ihwal anak-anak sebagai generasi penerus di masa mendatang. “Anak-anak itu yang harus kita pertahankan,” lantang Damar.
Namun, tiada daya bagi Damar kini ketika melihat anak-anak yang biasa ia rangkul harus menghadapi realita penggusuran. Tak hanya soal ruang bermain, beberapa anak-anak Bong Suwung pun harus rela terpisah dengan keluarganya karena dititipkan ke berbagai panti asuhan. Damar mengungkapkan bahwa orang tua mereka tak punya pilihan lagi akibat peliknya situasi yang ada. “Kalau memang kebutuhannya tidak sesulit itu, ndak mungkin mereka rela anak-anaknya dititipkan di panti asuhan,” terang Damar.
Setiap seminggu sekali Damar sempatkan waktu untuk menengok kondisi anak-anak yang berada di panti asuhan. Berada di panti asuhan tak langsung membuat mereka nyaman dengan tempat tinggal barunya. Damar pun mengakui bahwa anak-anak mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian ketika baru pindah. “Tapi sekarang waktu saya lihat, mereka sudah kerasan karena mungkin beradaptasi dengan lingkungannya,” jelasnya.
Selain anak-anak yang berada di panti, Damar juga khawatir dengan salah satu anak Bong Suwung yang sempat putus sekolah. Sehari-hari ia ikut menemani bapaknya yang berprofesi sebagai sopir becak motor dan biasa mangkal di depan salah satu hotel di sekitaran Tugu Golong Gilig. “Namanya Cindy, anaknya. Dia baru masuk kelas 1 SD,” ungkap Damar.
Menurut penjelasan Damar, Cindy biasa dititipkan di warung seberang hotel ketika bapaknya pergi menarik becak motor. Kendaraan itu pula menjadi tempat tidur Cindy selama beberapa waktu pascapenggusuran. “Sebenarnya punya kontrakan, tapi kalau ditinggal anaknya kan bingung juga,” terang Damar. Namun kini, Cindy sudah kembali bersekolah.
Berbekal arahan dari Damar, BALAIRUNG coba menghampiri salah satu panti asuhan yang berada di Kotagede, lantas bertemu dengan Rahma, salah satu pengurus panti asuhan tersebut. Berdasarkan keterangannya, terdapat tiga anak Bong Suwung yang dititipkan di tempat ini, yakni Joni, Johan, dan Risa. “Kalau Joni kelas 4, Johan kelas 2, Risa kelas 3,” sebut Rahma.
Benar saja, Rahma mengaminkan bahwa penggusuran juga turut memberikan dampak kepada anak-anak tersebut. Khususnya dampak terhadap kondisi psikis mereka. “Mbak, omahku lho digusur karo kereta,” ucap Rahma menirukan.
Trauma yang ditimbulkan cukup membekas di benak Joni, Johan, dan Risa. Menurut penuturan Rahma, pada awalnya ketiga anak tersebut cenderung diam dan tidak banyak bicara. Namun lambat laun, mereka mulai terbiasa dengan kondisi yang ada di sekitarnya dan tidak takut untuk berbaur dengan teman-temannya. “Risa itu malah di sini nangis seminggu, nggak mau sekolah, nggak mau makan. Tapi, sekarang udah nyuci sendiri, udah apa-apa sendiri,” jelas Rahma.
Menjaga Nyala Asa
Setelah 5 bulan berlalu semenjak penggusuran, warga Bong Suwung masih memperjuangkan hak mereka. Melalui jalur meja hijau, mereka bergerak dibersamai lembaga-lembaga advokasi. Pada akhirnya, mereka masih harus menyisihkan waktu dan tenaga lagi guna mengharap kejelasan akan nasib hidup mereka ke depannya.
Beberapa warga masih berada di selter-selter penampungan yang tersebar di berbagai wilayah Yogyakarta. Beberapa yang lainnya, seperti Rani, kini harus mencari kontrakan dengan harga terjangkau untuk ditinggali. “Ini anakku sekarang masih sekolah, meskipun aku agak mengkis,” ucap Rani.
Damar pula hampir sama dengan Rani. Setiap hari ia harus antar-jemput anaknya yang duduk di salah satu sekolah menengah kejuruan di daerah Umbulharjo. Jaraknya sekitar satu jam dari rumah kontrakan sederhana yang Damar kini tempati di dekat Pantai Parangkusumo. Belum lagi, ia harus memikirkan biaya untuk anaknya menjalani Praktik Kerja Lapangan. Kendati berat, Damar enggan mengeluh atas kondisi yang menimpanya saat ini. “Kayak kopi ini loh. Memang selalu pahit, tapi kita ambil manisnya,” ucapnya terkekeh sambil melanjutkan menyeruput secangkir getir di tangannya.
Penulis: Cahya Saputra
Penyunting: Ester Veny
Fotografer: Cahya Saputra
*Penulisan nama anak-anak Bong Suwung yang tertera dalam tulisan bukanlah nama sebenarnya.