Subuh ini mendadak Kabul tergugah dari tidurnya. Nafasnya menderu. Seakan teringat sesuatu, Kabul lantas berdiri, berlari menuju pintu kamarnya.
Pintu kamar terbuka. Tak ada pemandangan baru. Kabul hanya mendapati adik perempuannya tengah bermain boneka di ruang tamu. Dan, pemandangan ibunya yang sudah menjahit meski pagi masih terlampau pagi. Pemandangan yang biasa, lumrah untuk didapatinya setiap pagi.
“Kamu sudah bangun juga rupanya. Jangan lupa nanti antar teko untuk Bapak.”
Kabul mendengus pelan mendengar pesan ibunya.
Apa tak ada hal lain yang bisa dibincangkan sebagai pembuka hari? runtuk Kabul.
“ Bu, besok kalau Kabul sudah masuk kuliah, enggak mau seperti ini lagi ya. Kabul sudah mahasiswa, Bu. Banyak yang ingin Kabul lakukan. Kabul bukan anak perempuan yang harus selalu tinggal di rumah, Bu,” protes Kabul seraya memainkan rambut ikal adiknya.
Sang Ibu berbalik, menatap Kabul dengan amarah tertahan.
“Lantas kalau bukan kamu siapa lagi? Adikmu? Usianya masih 3 tahun. Ibu? Ibu juga harus kerja. Kamu ini aneh. Sudah cepat siapkan air di teko dan antarkan ke sawah,” ujar ibu nya penuh lembut.
“Hmm, selalu begini. Ibu bilang Kabul aneh. Coba Ibu jadi Kabul. Pasti juga enggak betah harus di rumah terus. Ngomong-ngomong Bu, kenapa enggak Bapak saja sih yang bawa tekonya sekalian? ‘Kan efisien.”
Hati Sang Ibu terenyuh. Sulungnya sudah besar. Rupanya.
***
“ Cabul?”
“ Kabul.”
“ Cabul boleh…”
“ KABUL!”
Geram mendengar namanya disebut dengan salah total, Kabul lantas menulis namanya di secarik kertas.
“Oh, Kabul. Maaf-maaf. Seingatku namamu Cabul. Nama dadamu enggak dipakai, sih. Kabul, boleh minta tolong beli kardus, raffia, dan kapas? Material kita masih kurang nih…”
Kabul mengangguk. Lantas memberikan kode pada gadis berkacamata tebal yang jadi lawan bicaranya. “Duit.” kata Kabul seraya menggosokkan jari tengah ke jempolnya.
“ Duit?”
“ Jangan boros, ya.” pesan si gadis seraya mengulurkan beberapa lembar rupiah.
Sebuah masa yang sangat bersejarah untuk Kabul dimulai. Adalah hari dimana Kabul dan ribuan anak muda beruntung lainnya memulai masa menjadi maha pembelajar, mahasiswa. Rangkaian orientasi mahasiswa baru yang diselenggarakan oleh universitas merupakan momentum wajib yang tak luput dari ingatan dan pemberitaan. Meski identik dengan hal-hal yang menguras tenaga dan pikiran, rangkaian orientasi mahasiswa baru selalu saja akan menyisakan keharuan dan rasa bangga di dalam benak pesertanya.
Tepat seperti saat ini, Kabul dan kelompoknya masih berkutat dengan tugas orientasi fakultas meski malam semakin larut. Tak peduli dengan rasa lelah dan kantuk yang mendera karena sudah tiga hari ini tidak tidur -hanya-demi- mengerjakan tugas orientasi. Hari ke hari menjadi sangat spesial karena Kabul berkumpul dengan mahasiswa dari berbagai latar belakang. Sebuah penyadaran bahwa Indonesia memang kaya.
“Sabar, Bul. Arni emang rada-rada kupingnya. Aku dengar saluran di telinganya ada infeksi.” celetuk Kwin setelah mengamati reaksi Kabul sedari tadi.
Kabul tersentil. “Oh, ya? Kok aku enggak tahu?”
“Ya salah siapa, kamu saja dari kemarin kurang membaur sama kita. Kamu asyik sendirian. Sudah tiga hari kita barengan, lho. Aware dikit dong sama kawan,” kekeh Kwin.
Kwin makin terkekeh melihat ekspresi Kabul yang mendadak muram. “Lain kali buka diri, ya. Yuk cabut, beli material yang kurang.” Kwin lantas melempar helm untuk Kabul. Beruntung Kabul tangkas menangkap.
“Buset. Ramai benar ya? Jam berapa sih, Bul?”
Kabul yang masih keki pada Kwin dengan malas membuka lock android-nya. “Jam sebelas lewat.”
“Wah, ternyata Jogja makin ramai kalau malam. Enggak beda sama Jakarta. Hati-hati kamu, Bul. Tetap jadi anak baik-baik kamu.”
Kabul tak menjawab. Dalam hatinya masih terpatri kata-kata Kwin tadi, yang mendiskreditkan dirinya sebagai orang yang acuh tak acuh. Ada amarah yang mencuat karena ketidakterimaannya terhadap kata-kata Kwin.
“Kamu orang baik-baik, kan? Harus tetap jadi orang baik, Bul. Kemanapun kamu pergi, sekalipun di tempat yang penuh hawa negatif, kamu tetap harus jadi pembawa hawa positif. Sama halnya nanti ketika kamu kuliah, bergaul, jangan mudah terlena sama hal-hal negatif yang kalau diliat sih emang asyik. Aku ngomong gini karena aku sudah pernah kuliah dua tahun, pindah-pindah dan ngalamin banyak hal negatif. Semoga ini kampus terakhir aku deh.”
Hening. Tak ada sahutan. Baik Kwin dan juga Kabul tenggelam bersama pikiran masing -masing.
“Bul? Nyahut, kek. Berasa ngomong sama batu,” tukas Kwin, kesal.
“Aku lagi mikir, Kwin. Kita lagi dimana ya?”
Pertanyaan sederhana Kabul sukses membuat Kwin sadar. “Iya, ya? Kita dimana?”
***
Matahari keemasan sayup-sayup mulai tenggelam. Di ujung gelisahnya, perempuan dengan warna rambut yang mulai memutih itu menghela nafas. Panjang. Senja telah menggantikan kerinduannya pada buah hati yang kini bergolak dengan mimpi. Senja telah menjadi pengingat yang baik akan susah payah membesarkan darah dagingnya.
Sudah tiga bulan, Kabul meninggalkan rumah. Bukan kabur dari tanggung jawabnya sebagai anak. Bukan kecewa besar karena tuntutan orangtua untuk mengerjakan tugas-tugas di rumah. Tetapi karena niat mulianya untuk membawa masa depan keluarga menjadi lebih baik lewat pendidikan.
Sudah tiga bulan, Kabul tidak pulang ke rumah. Tiga kali sehari setiap pagi, Kabul hanya menyempatkan menelepon ibu dan bapaknya. Kepada orangtuanya, Kabul menguraikan aktivitas yang akan dan sudah dijalaninya, jadwal kuliahnya yang padat, ditambah dengan praktikum yang cukup menyita waktu serta organisasi-organisasi kampus yang dia ikuti. Di hari Senin dan Sabtu sore, Kabul berlatih silat, di hari Selasa berlatih bridge, di hari Rabu dan Kamis ada rapat-rapat rutin, di hari Minggu pagi, dia mengadakan penelitian atau diskusi dengan study club-nya dan Minggu sore ada latihan karawitan. Lengkap sudah.
Rasa bangga jelas menyelimuti hati kedua orangtuanya. Tapi entah kini kedua orangtua Kabul gelisah dan menginginkan hal yang lebih dari sekadar berkomunikasi melalui telepon. Suasana rumah semakin sendu tanpa kehadiran Si Sulung.
“Awal-awal memang sulit, Bu. Kita memang harus ikhlas. Mau bagaimana lagi?”
Ibu Kabul menggeser tempat duduknya, memberikan sebagian yang lain untuk suaminya yang masih tampak lelah karena seharian di sawah.
“Yang penting dia baik – baik saja. Sukses. Wis, itu saja. Aku yakin dia bisa jaga diri.”
Ada kelegaan yang meruang di hati Sang Ibu. Tapi tetap saja tak mampu serta merta menghapus kerinduan yang makin membuat ngilu itu.
“Apa kita harus ke Jogja, Pak?”
Pertanyaan Ibu Kabul dibalas rangkulan hangat dari suaminya. Dia tahu betul bagaimana rindu seorang ibu terhadap anaknya. Matanya menerawang pada bentangan sawah berpayungkan langit emas yang ada di hadapannya. Lama menerawang, kerinduan yang sama meresap pula terhadap anak lelakinya.
***
“Wah, Kabul. Apa kabar kamu? Gila kamu jadi aktivis ya sekarang?”
“Ya, berkat nasihatmu, Kwin. Kamu apa kabar?”
Dahi Kwin berkerut, “Aku? Baik, sih. Tapi ya gini-gini saja hidupku. Enggak sepadat kamu. Hahaha.”
Kehadiran Kwin berhasil membawa Kabul pada ingatan akan perjuangan panjang memasuki kampus biru. Mulai dari mendaftar kuliah, mengikuti seleksi, sampai akhirnya diterima dan dipertemukan oleh Kwin di orientasi mahasiswa baru. Kwin adalah kawan yang menurut Kabul amburadul tapi sangat peduli dan bijaksana.
“Nah, kamu.. Ngapain ke jurusanku?”
Senyum Kwin mengembang, gelagatnya seperti orang salah tingkah. Sebuah amplop berwarna emas dikeluarkan Kwin dari dalam tas.
“Aku mau kasih ini.”
Mendadak tubuh Kabul panas dingin setelah membaca isi amplop itu. Dengan kaki gemetar, Kabul beranjak dari kursinya.
“ Se… serius ini? Ka..kamu?”
Nafasnya terputus-putus. Kwin hanya tersenyum tenang.
“Aku sudah ingin sekali punya keluarga. Bagiku, keluarga itu berharga. Keluargaku berantakan. Akhirnya akupun juga begitu. Dan, itulah yang mendorong aku buat lekas berkeluarga. Aku ingin belajar menikmati bagaimana punya keluarga yang rukun. Kamu beruntung, punya keluarga yang utuh dan harmonis. Bahagiakanlah mereka, Bul,” tepuk Kwin di pundak Kabul.
Sontak mata Kabul berkaca-kaca. Lagi-lagi ada inspirasi besar yang diberikan oleh Kwin. Lelaki yang menurutnya amburadul tapi sangat peduli dan bijaksana.
“Tetapi mengapa harus sama Arni?” bisik Kabul seraya memeluk Kwin. Tawapun pecah. Keduanya lantas melepas kerinduan. Kwin begitu bersemangat menceritakan awal mula kisahnya dengan Arni sampai akan berujung pada pernikahan.
***
“Assalamu’alaikum, Bu… Pak… Ranti… Kabul pulaaaang….”
Sendunya suasana rumah seolah melumer. Sang Ibu yang mendengar suara Kabul dari teras rumah lantas bergegas berlari keluar. Begitu pula dengan Ranti, adik perempuan Kabul yang tiba-tiba terbangun dari tidur siangnya setelah mendengar teriakan kakaknya.
“Apa yang membawamu pulang ke rumah, Nak?” celetuk ibu Kabul seraya memeluk erat Sulungnya.
oleh : Dian Yuanita Wulandari
Mahasiswi Fakultas Kehutanan 2012