Puluhan orang terlihat memadati antrean di depan pintu utama lantai satu Grha Sabha Pramana (GSP) UGM. Orang-orang sudah datang sejak pukul 18.00 WIB. Sebelum memasuki ruangan, mereka berjejer membentuk suatu barisan. Begitu memasuki ruangan, cahaya redup menyambut mereka yang mulai duduk di kursi sesuai nomor pesanannya. Tak lama, kebisingan pun lenyap. Cahaya nila keunguan menjadi hiasan tata panggung pada konser malam itu. Dua perempuan yang mengenakan gaun naik ke panggung membacakan tata tertib tanda dimulainya acara.
Setelah acara dibuka, lampu kembali meredup. Satu persatu pemusik masuk ke panggung membawa gitar akustik. Para pemain menyapa penonton dengan gesture khas orang Jepang dilanjutkan dengan petikan suara gitar. Riuh tepuk tangan penonton menyambut suara petikan gitar yang dimainkan pemusik. Lagu berjudul Start! dari duo Jepang, Depapepe, membuka konser mini GMCO yang diselenggarakan Sabtu (12/4) di lantai satu GSP UGM.
Konser mini ini mengambil tema “Teenage Dream”. Wieka Preseilla selaku ketua panitia, menuturkan, tema ini sengaja dipilih sebagai kelanjutan dari konser mini GMCO tahun lalu. “Tahun lalu bertema Rainbow Symphony yang identik dengan anak-anak. Sebagai kelanjutannya, tahun ini kita mengambil tema remaja,” ungkap mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis ’13.
Berbeda dengan konser orkestra pada umumnya, konser mini GMCO ini tidak banyak membawakan lagu-lagu klasik. Lagu-lagu yang masuk di jajaran 40 tangga lagu teratas, menjadi lagu yang ditampilkan dalam konser mini GMCO. We Are Young, Afterlife, Genie, Wrecking Ball, Titanium, We can’t stop, Teenage Dream, ROAR! hingga lagu-lagu dari Glen Fredly turut ditampilkan dalam konser yang berlangsung  selama dua jam. Alunan flute, cello, biola, piano, kontra bass, serta gitar akustik menghasilkan harmoni yang mampu menyajikan lagu pop dengan aransemen yang berbeda. “Kita mengubah lagu yang biasa didengar anak muda dengan konsep orkestra,” jelas Wieka.
Selama konser berlangsung, tidak semua lagu ditampilkan dengan konsep full orchestra yang melibatkan semua pemain musik di dalamnya. Beberapa lagu hanya dibawakan oleh tiga hingga tujuh orang saja. Pada penampilan pembuka, lagu Start! hanya ditampilkan dengan ansembel gitar. Selain itu, pada lagu Wrecking Ball, masih mengandalkan alat musik gesek dan petik seperti konsep sebelumnya. Penampilan itu tentu saja menarik perhatian penonton, sebab dimainkan dengan aransemen yang jauh berbeda dengan lagu aslinya. “Penonton menjadi lebih tertarik karena tahu bahwa musik klasik ternyata bisa dikombinasikan dengan lagu-lagu zaman sekarang,” terang Wieka.
Meskipun demikian, identitas orkestra sendiri tidak hilang begitu saja. Dari lima belas lagu yang ditampilkan, diselipkan Fur Elise dari Ludwig Van Beethoven. Diiringi orkestra, Fur Elise dimainkan dengan penampilan solo piano oleh Dian Haulainia Pradani, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan ’12.
Setelah itu, penonton diajak menikmati alunan lagu instrumental The Charm of Her Smile yang merupakan lagu ciptaan dari salah satu pemusik pada malam itu, Julius Catra Henakin. “Cara mengungkapkan cinta itu bermacam cara, salah satunya komposer yang satu ini. Dia menciptakan sebuah lagu sebagai ungkapan rasa cintanya pada seseorang,” ujar pembawa acara menjelaskan kisah di balik lagu itu.
Seusai pemusik menyudahi permainannya, terdengar tepuk tangan meriah dari penonton. Lampu yang redup, kembali menyala dan pembawa acara kembali muncul. Selain itu, pembawa acara juga menjelaskan kisah-kisah di balik lagu yang akan dibawakan oleh para pemain musik.
Pandu, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ’13 memuji acara ini. Menurutnya, konser ini cukup sukses meraup pasar anak muda dengan konsep unik yang ditawarkan. “Awalnya kita mengira konser orkestra ini akan berlangsung formal, tapi ternyata cukup cair,” ujar Pandu.
Konser ditutup penampilan full orchestra yang membawakan medley dari lagu-lagu Glen Fredly. Berbeda dengan penampilan awal yang hanya membawakan lagu-lagu instrumenutal, penampilan penutup dibawakan oleh trio vocal. Nyanyian dari penonton ikut terdengar mengiringi lagu yang dibawakan oleh penyanyi.
Di akhir acara, beberapa panitia membaur di kursi penonton. Terdengar teriakan panitia meminta penampilan tambahan, diikuti oleh suara dari penonton. Kemudian, sesuai instruksi dari konduktor, para pemusik kembali ke posisi awal. Mereka menampilkan kembali lagu Kisah Romantis Glenn Fredly diiringi tepuk tangan dari penonton.
Acara ini cukup sukses mengubah pola pikir orang awam tentang musik klasik. “Meskipun saya awam tentang musik klasik, tetapi melalui acara ini, saya dapat menikmatinya,” ungkap Melati Riastuti, mahasiswa Fakultas Psikologi ’13. Hal serupa diungkapkan Bagus Herputranto Adi, mahasiswa Fakultas Psikologi ’13. Menurutnya, konsep acara seperti ini diperlukan supaya musik klasik bisa dinikmati semua kalangan. “Musik yang dibawakan lebih ngena di telinga anak muda, jadi kita tidak merasa bosan,” pungkas Bagus. [Agdzhur Rinalsyam, Ervina Lutfikasari]
1 komentar
pengen denger Fur Elise