Guratan-guratan cat pada sebuah kanvas membentuk rupa seorang perempuan beralaskan sofa merah. Kakinya berselonjor dengan sehelai kain sebagai satu-satunya pelindung. Kain tersebut hanya menghalangi pandang mata yang mengamati pada bagian kemaluan. Setiap helai kain dan sudut tubuh seolah diletakkan penuh perhitungan demi mengekspos lekuk tubuhnya dengan payudara yang menjuntai. Wajahnya dilukiskan seolah tak mempermasalahkan penataan yang demikian.
Rupa perempuan berbeda yang dibalut kebaya bunga-bunga dan kain jarik mewujud melalui guratan-guratan cat dalam kanvas lain. Di depan kasur berkelambu putih, ia duduk di atas sebuah kursi kayu, dengan luwes bersandar dan menaruh tangan kanannya pada lengan kursi. Lamun, tetap memberikan kesan santun dengan kedua kaki dirapatkan. Pada siapa pun yang menatapnya, ia terlihat menatap balik dengan tenang, tetapi penuh ketegasan pula. Laksana figur ibu, seolah-olah menawarkan ketenteraman.
Kedua puan yang dimaksud telah kekal di dalam goresan kuas dua maestro seni lukis modern Indonesia. Penggambaran atas keindahan sosok perempuan muda dengan segala atribut yang melekat pada tubuhnya itu terabadikan dalam “Model Lita Sudarno” karya Basuki Abdullah. Sementara penggambaran sosok serupa figur ibu telah awet dalam “Di Depan Kelambu Terbuka” karya Sudjojono. Sekedip mata, haluan penggambaran perempuan pada kedua karya kanon seni lukis modern Indonesia ini bertolak belakang.
Namun, perbedaan tersebut menuju pintu yang sama. Sebagaimana disampaikan Brigitta Isabella, dosen Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, kedua lukisan ini menundukkan perempuan melalui tatapan maskulin dengan caranya masing-masing. Basuki Abdullah dalam lukisannya menampilkan perempuan dengan kecantikan ala budaya populer. “Kalau budaya populer ya ala Hollywood gitu. ‘Kan biasanya perempuan tuh kalau bukan pelacur ya perawan,” jelas Brigitta.
Tak kalah saing, Sudjojono menghadirkan kecantikan perempuan ala eloknya ibu pertiwi. Brigitta melihat lukisan ini sebagai medium untuk menunjukkan tubuh perempuan yang dipinjam sebagai perantara untuk membawa gagasan nasionalisme berbalut imajinasi maskulin. “Semuanya patut dipertanyakan. Ada satu yang lebih subtil, ada satu yang lebih eksplisit,” ucapnya.
Daulat Pemilik Tubuh
Melalui goresan tangan Ayurika, seorang seniman perempuan yang konsisten melukis perempuan tanpa busana, perempuan ditampilkannya secara berbeda. Lekuk dan tekstur tubuh perempuan ia tampilkan sebagaimana adanya. Sejak mengawali perjalanan keseniannya hingga telah mengadakan dua kali pameran tunggal, Ayurika mengatakan bahwa cipta artistiknya banyak mengalami pergeseran visual. Namun, tak sekalipun ia menghadirkan perempuan dengan nuansa “penundukkan”.
Lukisan-lukisan Ayurika sarat akan pengalaman ketubuhan yang terasa sangat personal. Perwujudan tatapan maskulin nihil dalam karya-karyanya. Selaras dengan tuturan Brigitta, pada lukisan yang menghadirkan tubuh perempuan, perspektif dan pengalaman sejati perempuan akan muncul seiring dengan agensi sang empunya tubuh. “Ketika perempuan melukiskan tubuhnya sendiri, biasanya mereka menunjukkan daya keperempuanannya. Alih-alih melulu [dimunculkan-red] sebagai korban,” ucap Brigitta.
Pemilihan tubuh perempuan tanpa busana tidak pernah dimaksudkan Ayurika untuk memenuhi hasrat imaji maskulin. Secara gamblang, seniman ini mengatakan bahwa tubuh perempuan yang dibawanya tidak bernuansa erotis. “Ketelanjangan yang kuangkat ini lebih ke sebuah sikap yang berani untuk menyaksikan ke-apa ada-an di setiap lekuk,” tambahnya.
Pemilihan tubuh perempuan sebagai objek lukis merupakan manifestasi keresahan diri bagi Ayurika. Meskipun hanya melalui satu objek, setiap goresan yang ia torehkan melatih dirinya untuk menerima segala keberadaan dan peristiwa. Baginya, tubuh adalah media untuk membaca dan mempelajari sekitar. Kelihaian Ayurika membantunya menggunakan tubuh untuk membawakan narasi yang berbeda-beda. “Garis benang merahnya memang aku berbicara lewat menghadirkan tubuh kita. Karena tubuh itu endapanku, ketika berkaca aku melihat tubuhku,” jelasnya.
Pada permulaannya, karya-karya Ayurika terasa lebih kelam dibandingkan karya-karya terbarunya. Ia menggunakan warna bernyawa gelap, jauh dari keceriaan. Perempuan-perempuan dalam lukisan-lukisan lawasnya terkulai lemah dan merana dengan luka di sekujur tubuh. Sebuah visual yang dapat menimbulkan perasaan gamang dan pertanyaan akan apa yang telah dilalui perempuan-perempuan ini. “Kalau dulu, referensi tubuh-tubuh yang kulukis itu cenderung kesakitan. Tubuh-tubuh yang kisahnya itu beririsan denganku dan berdampak padaku,” ungkap Ayurika.
Hingga suatu hari, Ayurika menerima panggilan telepon dari seorang temannya yang baru saja melihat lukisannya di sebuah pameran. Ayurika menceritakan bahwa teman tersebut mendapatkan dampak yang cukup serius secara psikologis setelah menghabiskan waktu untuk melihat karyanya. “Aku rasanya gemetar mendengar review semacam itu. Padahal karya itu maksudnya nggak ke sana, tapi ternyata juga bisa membawa energi yang ke sana,” ucap Ayurika getir. Percakapan tersebut menjadi permulaan babak baru dalam perjalanan seni Ayurika.
Setelah melewati perenungan cukup panjang, Ayurika memutuskan untuk tidak lagi menghadirkan tubuh-tubuh yang sakit. Perubahan tersebut dapat terlihat pada pameran tunggal pertama Ayurika dengan tajuk Rong pada akhir Desember 2 tahun silam. Pada pameran ini, Ayurika memaknai simbol-simbol yang ia temukan pada tubuh setelah melewati prosesi melahirkan. Munculnya kesadaran atas simbol-simbol pada tubuh turut memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mengantarkannya kepada pemaknaan hidup. “Aku ngerasa kalau tanda-tanda itu kita maknai, mungkin kita bisa meningkatkan kualitas kesadaran kita. Tentang bagaimana memaknai kehidupan,” terang Ayurika.
Misalnya, dalam lukisan tiga panel berjudul “Tapak Jalak” yang bermula dari penemuan tanda silang hasil tumpukan garis linea nigra dan bekas operasi sesar pada tubuhnya. Pada lukisan dengan rona biru gelap ini, ia menampilkan tubuh perempuan dari jarak dekat dengan tiga sudut pandang berbeda. Bercak dan garis-garis wajar pada tubuh dilukiskannya dengan penuh kejujuran dan apa adanya. Dua garis yang saling bertumpukan menyilang ditemukan dengan mudah pada setiap kanvas dari tiga panel lukisan. “Itu kayak tanda plus, simbol dualitas ya, sebuah keselarasan sebenarnya, berdampingan,” jelas Ayurika.
Dalam pameran tunggal berikutnya, alih-alih tubuh, kali ini Ayurika menonjolkan wajah dari keseluruhan bagian tubuh perempuan. Pameran dengan tajuk Kaca Benggala, yang digelar pada awal tahun, ini menampilkan wajah-wajah yang berhadapan, seakan sedang bercermin. Pameran ini menandakan perjalanan Ayurika dalam pengupasan dan penerimaan diri yang murni. “Menurutku, apa yang ada di dalam hati nurani semua akan kelihatan di wajah. Jadi, maksudnya celah si manusia bisa kelihatan dari wajahnya,” tutur Ayurika.
Curahan hasil perenungan Ayurika dalam karyanya disadari oleh Yaksa Agus, dosen Ayurika yang juga seorang seniman. Yaksa menjadi salah satu figur yang menemani perjalanan kesenian Ayurika. Selama mengamati dari dekat, Yaksa mendapati bahwa Ayurika meminjam visual tubuh perempuan tanpa busana untuk menerjemahkan pengalamannya atau persoalan sosial di sekitarnya. “Itu mengganggu pikirannya. Kemudian diterapkan jadi gagasan baru, sebagai hasil dari pemikirannya, dituangkan melalui catatan-catatan visual,” ujar Yaksa.
Berdasarkan penilaian Yaksa, seluruh proses artistik Ayurika dilakukan dengan penuh pertimbangan untuk menerjemahkan gagasan yang ingin disampaikan. Mulai dari pencarian model, penataan gestur, pemotretan, hingga melakukan laku lukis. Hasil dari proses artistik yang ditempuh Ayurika adalah sebuah ekspresi murni. Bagi Yaksa, pendekatan Ayurika berbeda dengan banyak seniman sekarang yang mengejar produksi berlipat-lipat untuk memenuhi permintaan pasar, menyampingkan kemurnian gagasan dalam berkarya. “Jadi, dia nggak langsung cari jalan mudah. Padahal stok foto [referensi-red]nya udah banyak kalau cuma mau cepet-cepetan produksi,” ungkap Yaksa.
Alternatif Tatapan Maskulin
Proses artistik yang penuh pertimbangan mengantarkan penonton turut melakukan perenungan atas tubuh lebih jauh. Baik tubuh yang terpampang di atas kanvas, maupun tubuhnya sendiri. Sebagaimana Felis, seorang penjaga dari pameran yang pernah memajang karya Ayurika dan sudah familier dengan karyanya, mencoba menerka-nerka maksud dibalik karya-karya sang seniman. “Kayak ada perasaan-perasaan tertentu yang pengen dia tonjolin. Terutama dari teknik dan warna yang digunakan, pewarnaannya menurut saya lebih ke sedih atau mungkin marah,” ucap Felis.
Pengamatan lebih jauh atas karya Ayurika juga datang dari Yusi, salah seorang penjaga pameran lain tempat karya Ayurika pernah dipajang. Seperti Felis, ia juga sudah beberapa kali berhadapan dengan karya-karya Ayurika. Dalam pandangan Yusi, Ayurika ingin menampilkan bahwa perempuan tetap indah dengan kekurangan yang dimilikinya. Tangkapnya, Ayurika senyatanya melukiskan perempuan secara lugas dengan luka yang tidak ditutupi ketimbang perempuan ideal dalam standar konstruksi maskulin. “Meskipun kita lihat objeknya itu perempuan tanpa busana, tapi itu bukan yang seksi untuk mengunggah gairah, apalagi gairah laki-laki,” ucap Yusi.
“Nah, mungkin karyanya Ayurika bisa dibaca sebagai subversi atas tatapan, male gaze atau alternatif gaze yang berbeda,” telaah Brigitta. Menurutnya, objektifikasi tubuh perempuan dapat terjadi sebab paradigma patriarkis yang telah mengakar kuat. Dalam tatanan masyarakat dengan paradigma semacam itu, Brigitta menyampaikan bahwa tatapan maskulin terhadap tubuh perempuan tak hanya datang dari laki-laki. Tatapan tersebut bahkan dapat berasal dari perempuan itu sendiri, misalnya perempuan merasa perlu memenuhi standar kecantikan. Brigitta mencontohkannya dengan fenomena romantisasi tubuh perempuan hamil melalui maternity photoshoot yang umumnya menampilkan perempuan sebagai sosok ideal bak malaikat.
Saat batasan struktural patriarki sudah membenam telak di muka bumi, objektifikasi tubuh perempuan menjadi pasar yang paling laris dalam karya lukis. Brigitta menyebutkan bahwa ada masa saat dunia seni diakuisisi laki-laki. Hal ini menutup keinginan banyak perempuan berkecimpung dalam dunia seni karena perasaan tidak nyaman untuk menggunakan “tubuh” lainnya sebagai objek seni.
“Cerita itu aja sebetulnya udah menarik banget dihubungin sama karya Ayurika yang menggambarkan perempuan telanjang,” ucap Brigitta. Batasan struktural yang sedemikian pelik, dipecah dan diaransemen oleh Ayurika. Ia menjadikan tubuhnya dan tubuh-tubuh perempuan lain yang ia pinjam sebagai ruang introspeksi terhadap realitas sosial, mulai dari hal-hal terdekat. Setiap lekukan tubuh digunakan dengan baik sebagai tempat mencurahkan perasaan perempuan yang dituntut mengikuti sudut pandangan patriarki di dalam masyarakat.
Penulis: Fanni Calista
Penyunting: Ester Veny
Fotografer: Fatimah Azzahrah