Riuh debur ombak terdengar kencang mengisi kehampaan ruang saat para pendengar tengah berduduk diam, entah dengan pengeras suaranya atau penyuara telinganya. “Seekor ibu penyu menyeret tubuhnya di atas hamparan pasir,” seketika narator membuka cerita. Suara beratnya menggema ke seluruh relung telinga kala mendeskripsikan kesibukan seekor ibu penyu yang sedang mempersiapkan telur-telurnya di bibir pantai.
Begitulah awal dari cerita “Perjalanan Melintasi Laut” karya Mariati Atkah yang dibacakan oleh Muhary Wahyu Nurba. Selama 25 menit, rekaman itu telah menyulap benak penonton menjadi pesisir laut. Cerita tersebut merupakan salah satu bentuk sastra suara yang disediakan oleh Difalitera, komunitas sastra difabel netra. Kegiatan utama mereka adalah membacakan karya sastra untuk “teman-teman netra”. Pembacaan ini direkam lalu diunggah pada situs web mereka agar mudah diakses.
Di sela-sela pembacaan cerita oleh naratornya, sastra suara yang digarap Difalitera dilengkapi dengan lantunan suasana yang mengelilingi cerita. Latar cerita “Perjalanan Melintasi Laut”, misalnya, dihiasi oleh suara gesekan pasir dan deru laut yang kencang. Lain lagi, latar puisi “Rumah” karya Aris Rahman Yusuf bahkan narasinya dinaungi oleh suara kicauan burung-burung di tengah hutan. Kekayaan suara alam ini menunjang daya imajinasi pendengar agar seakan-akan mereka masuk ke dalam cerita itu sendiri.
Pembayangan akan penjelajahan sensor auditori yang menakjubkan ini juga dialami oleh Bayu Sadewo. Ia adalah salah satu teman netra pendengar sastra suara sekaligus anggota komunitas Difalitera. Selayang pandang, dirinya memang sudah lama menjadi penikmat sastra.
Sebelum adanya Difalitera, perjalanan pencarian karya sastra biasa Bayu lakukan dengan format buku elektronik atau melalui aplikasi Google Play Book. Barisan penulis favoritnya adalah Dan Brown, Agatha Christie, dan Dee Lestari. Namun, pembacaan menggunakan mesin bernada datar itu tidak memberikan penghayatan yang berarti baginya. “Kalau dari Difalitera, [seakan-red] dibacakan langsung oleh manusia. Kita bisa menangkap suasana dan situasi yang diceritakan di dalam cerpen atau puisi yang dibawakan,” tuturnya.
Tak hanya Bayu, keresahan terhadap sulitnya akses sastra pun dialami oleh Agatha, salah satu teman netra yang sekarang bekerja sebagai pengelola salah satu perpustakaan di kawasan Jakarta. Sebagai mahasiswa lulusan sastra, Agatha merasa kecintaannya terhadap sastra tidak tersalurkan semenjak menjadi tunanetra. Ia mengalami penurunan visi saat tengah menempuh skripsi. Bacaan yang “terakses” untuknya cenderung menjadi sedikit. “Banyak teman-teman netra yang belum merasakan kenikmatan untuk membaca sastra, karena bahan bacaan masih terbatas,” ungkapnya.
Jalur Terjal Difalitera
Tak tinggal diam, Agatha menyampaikan keresahannya pada acara Bincang Sastra yang diselenggarakan Pawon Sastra dan Solopos FM pada 26 Juni 2016 silam. Di sana, ia bertemu dengan Indah Darmastuti, seorang penulis yang aktif di komunitas Pawon Sastra. Mendengar kerisauan-kerisauan Agatha, Indah terdorong untuk membangun sebuah komunitas sastra yang inklusif bagi difabel netra.
Pertemuannya dengan Agatha membuahkan refleksi bagi Indah. Agatha memang bisa mengakses sastra dengan aplikasi di gawainya, tetapi ia menganggap pengalaman sastra yang semacam didapat Agatha tak begitu hidup. “Sastra,” tutur Indah, “adalah pengalaman personal. Puisi atau cerita pendek, yang dibacakan oleh mesin, emosinya enggak dapet,” sambungnya.
Selama berbulan-bulan, Indah terus memutar otak untuk menemukan solusi yang dapat menyelesaikan keresahan Agatha dan teman netra lainnya. Kerunyaman tersebut mulai terurai ketika Indah dihubungi oleh empat mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang meminta izin untuk mengalihsuarakan karya sastranya.
Karya sastra yang telah dialihsuarakan itu, nantinya, akan diperdengarkan kepada teman-teman netra sebagai salah satu tugas kuliah mereka. Merasa menemukan pencerahan, Indah menawarkan untuk melanjutkan kegiatan tersebut. Mereka pun bekerja bersama selama beberapa bulan setelah pertemuan tersebut.
Tak semudah membalikkan telapak tangan, kesulitan kembali mendera ketika keempat mahasiswa itu lulus dan mulai sibuk bekerja di tempat masing-masing. Indah yang tak begitu paham dengan segenap kemajuan teknologi yang pesat harus mencari jalan keluar untuk tetap melanjutkan upayanya.
Akan tetapi, hambatan yang mengganjal langkah Indah mulai terkikis saat ia berkenalan dengan salah seorang pegawai studio Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang dipanggilnya Mas Kholid. Pegawai studio itu bersedia meminjamkan salah satu ruang rekaman yang berada di ISI Surakarta untuk dipakai Indah. “Nah, karena Mas Kholid ini yang pegang kuncinya studio ISI Solo, ya udah, aku direkam di studio ISI,” katanya.
Biasanya, ketika kegelapan malam memayungi gedung kampus, malam-malam Indah selalu dihabiskan dengan duduk di dalam sebuah ruang yang dindingnya dilapisi karpet peredam suara. Para mahasiswa telah meninggalkan kelas, tersisa Indah dan dua narator lain yang asyik melantunkan kata-kata dalam sebuah cerita. “Setiap jam 7, aku nongkrong di studio bersama teman-teman narator,” kisah Indah mengenang masa-masa awal pendirian Difalitera.
Setelah menyelesaikan beberapa rekaman, cerita-cerita itu akhirnya mengudara di situs web Difalitera yang baru mulai bisa diakses pada November 2018. Begitu situs web Difalitera terisi untuk pertama kalinya, komentar-komentar dari para pendengar mulai bermunculan. Tanggapan yang diterima tak langsung memuaskan. Ada satu pendengar yang merasa dibuat mengantuk saat mendengarkan pembacaan cerita. “Bahkan, seorang anak Difalitera yang difabel sejak kecil bilang, ‘suwe banget iki mocone’ (lambat sekali ini bacanya),” tutur Indah.
Masukan-masukan itu memetik ide baru di benak Indah. Ia berusaha mengumpulkan beberapa orang relawan untuk dilatih menjadi narator. Enam orang terkumpul. Dua diantaranya adalah teman netra, sedangkan empat lainnya mahasiswa UNS. “Tekanan-tekanan, tempo, dan ekspresi dari suara tidak boleh lempeng-lempeng saja. Itu semua sudah kami bekali,” tegas Indah.
Sesi-sesi latihan itu biasanya berlangsung sepanjang hari, mulai dari pagi hingga malam menjelang. Proses rekaman yang disusul dengan penggarapan latar musik juga memakan waktu lama. Sayangnya, tak semua bisa mengikuti proses jam-jam panjang yang dihabiskan untuk penggarapan cerita. Apalagi, Indah tidak mampu mengganjar kerja mereka dengan uang. “Seiring itu, kami sibuk semua sampai pernah vakum lama. Aku sempat frustasi kala itu,” ucap Indah lirih.
Selain itu, ada pula kendala di situs web Difalitera yang menyebabkan sulitnya akses bagi setiap pengunjungnya. Indah telah mencoba bertanya kepada admin yang mengurusnya, tetapi jawaban yang ia terima hanya setengah-setengah. Dengan kepala yang sesak dipenuhi segala masalah Difalitera, Indah memaksakan diri untuk mengurus semuanya sendiri.
Bayang-bayang lelah dari masa lalu merayapi paras Indah selagi ia mengenang pengalamannya. Masalahnya, ia menangani Difalitera mulai dari proses pembacaan cerita sampai pengunggahan sastra suara di situs web. “Setiap malam, aku tidur jam 2 pagi. Ngeri sekali. Rambutku sampai kumal,” keluh Indah.
Beragam permasalahan membuat Indah sempat ingin menghentikan perjalanan Difalitera. Namun, ketika nasib Difalitera berada di ujung tanduk, ada sebuah pesan yang muncul di kotak pesan Instagram milik Indah. Pesan itu dikirimkan oleh Daeng Maliq, seorang pendengar Difalitera yang berasal dari Makassar. “Kata Daeng, ia sangat suka dengan situs web Difalitera. Sebagai seorang difabel netra, ia merasa sangat terbantu dalam mengakses bacaan sastra,” kutip Indah pesan dari Daeng yang bagaikan pemantik baginya. Api semangatnya pun meletup lagi.
Saat ini, Indah bekerja bersama tiga narator tetap yang rutin membacakan cerita-cerita pendek untuk mengisi situs web Difalitera. Pelatihan membacakan cerita tidak lagi dijalankan karena ketiga narator itu sudah memiliki kemampuan yang dibutuhkan. “Satu dari mereka adalah orang teater, sedangkan dua yang lain bekerja sebagai penyiar radio,” papar Indah.
Tak hanya Satu Cara “Membaca”
Salah satu narator yang ikut menemani Indah pada awal perjalanan Difalitera adalah seorang wanita bernama Astuti Parengkuh. Ia diminta oleh Indah untuk menjadi narator. Hal ini dilakukan agar Astuti dapat membacakan karya-karya sastra miliknya supaya lebih mendalami pembacaan. Hasrat Astuti untuk menerima ajakan Indah didorong oleh ketertarikannya pada isu difabilitas.
Astuti begitu salut dengan semangat Indah dalam membangun komunitas. Contohnya saja saat Astuti mengikuti Teras Baca, sebuah sesi pembacaan novel yang dilakukan secara luring oleh Difalitera. “Jadi selalu Mbak Indah itu menawarkan, ‘mau dibacain buku apa? Ini ada pilihan loh’,” ucapnya dengan nada penuh semangat.
Kegiatan Teras Baca tadi juga disambut hangat oleh Bayu. Ia merasa senang saat Difalitera membacakan novel-novel yang tidak ia temukan di Google Play. Dalam diri Difalitera-lah ia dan teman-teman netra lainnya bisa meminta judul novel yang ingin dibacakan. Bayu juga merasa terkesima dengan beberapa kisah yang dibacakan oleh Indah di Teras Baca, salah satunya kisah Helen Keller. “Ketika dibacakan Helen Keller, kok bisa ya, orang yang notabenenya tunanetra dan bisu tuli bisa membuat sastra yang keren banget,” takjubnya.
Rangkaian kegiatan luring milik komunitas Difalitera tidak hanya Teras Baca, terdapat juga kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan Membaca Candi. Dari sudut pandang Agatha, kegiatan ini merupakan cara Difalitera untuk mendekatkan teman-teman netra terhadap seni dan budaya. Dalam satu kesempatan mengunjungi Candi Sukuh, teman-teman netra diberi kesempatan untuk meraba relief di candi tersebut. “Bagi teman-teman difabel, itu sesuatu yang unik dan menarik, belum pernah didapatkan dari tempat yang lain,” jelasnya.
Indah menginisiasi kegiatan Membaca Candi agar teman-teman netra bisa menggunakan indra perabanya untuk membaca. Berbagai relief candi yang sebelumnya dilarang disentuh, pada gilirannya, dapat disentuh ketika mereka berkunjung. “Aku bikin surat ke Balai Cagar Budaya di Prambanan, dibalas. Kemudian, kami berdiskusi mengenai apa yang dibutuhkan,” tutur Indah. Menurutnya, teman-teman netra bisa menyerap ilmu dan memahami sejarah lewat sentuhan tersebut.
Di sisi lain, ada pula kegiatan Membaca Aroma yang dilaksanakan sebagai bentuk peningkatan pengetahuan melalui penajaman indra penciuman. Wahyu, salah satu anggota Difalitera, berkesempatan mengikuti kegiatan tersebut. Di sini, ia menyelami hal-hal baru yang belum pernah ia alami.
Saat mengikuti kegiatan tersebut di Rumah Atsiri Indonesia, sebuah tempat pendidikan wewangian minyak aroma di Tawangmangu, Karanganyar, Wahyu berkesempatan menghirup semerbak aroma minyak kayu putih yang ia ingat hingga detik ini. “Aku enggak pernah belajar tentang itu, membaca di internet pun enggak pernah,” tuturnya.
Suara-Suara Penuh Harap
Walau saat ini sudah tidak aktif sebagai narator di Difalitera, Astuti tidak membiarkan harapannya kepada Difalitera ikut padam. Selain kegiatan “membaca”, ia ingin situs web Difalitera menandakan pijakan awal bagi komunitas penggema sastra suara itu agar bisa bertahan selama mungkin. Bahkan, Astuti juga tetap berharap Difalitera tetap memberikan karya-karya baru, seperti mengalihkan novel menjadi sastra suara. Keinginan itu kerap Astuti sampaikan kepada Indah. “Saya sudah usul sama Mbak Indah. Kalau novel terlalu banyak, nanti bisa rekam beberapa bagian saja,” pintanya.
Harapan itu juga muncul dari mereka yang masih terlibat aktif dalam Difalitera seperti Wahyu. Ia berharap teman-teman netra lainnya bisa seberuntung dirinya yang bisa merasakan sastra seutuhnya lewat Difalitera. Ia ingin komunitas itu terus membantu teman-teman netra lebih banyak yang terlibat dalam memaksimalkan potensinya sebagai penikmat dan pelaku sastra. “Banyak tunanetra yang berminat terhadap sastra, bahkan mungkin juga untuk menjadi penulis. Namun, dia enggak tahu, enggak ada yang mengarahkan dia harus bagaimana,” tutupnya.
Penulis: Catharina Maida, Ester Veny, dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Renova Zidane
Ilustrator: Parama Bisatya
Erata: Sebelumnya, tertulis pesan yang dikirimkan oleh “Deni Malik” diganti dengan “Daeng Maliq”, seorang pendengar Difalitera yang berasal dari Makassar.