Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan
Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...
Jurnalis Perempuan Selalu Rasakan Ketimpangan dan Kekerasan
Zine Media Perlawanan Alternatif Perempuan di Tengah Perayaan...
Proyek Kapitalisasi Kegilaan
Kelakar UGM, KKN Tak Boleh Kelar

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
BUKUKABARNALAR

CSR : Penggeseranan Logika Bisnis

Januari 3, 2014

SCR illus

Judul asli : Analisis praktik CSR di PT holcim Indonesia TBK

Penulis : Wirda Ennisyah Fitrie Damanik

Tahun Terbit : 2012

Tebal : xiv + 118

“Dalam perjalanannya, logika perusahaan “dipaksa” bergeser. Namun CSR adalah “tools” baru untuk meraup profit.”

Perusahaan dapat dianalogikan sebagai sungai yang berhulu di profit dan berhilir pada profit. Proses dari mengalirnya air tersebut akan melewati banyak komponen dan menimbulkan berbagai dampak.  Begitu juga dengan perusahaan, kegiatan perusahaan akan melibatkan banyak komponen didalamnya. Komponen tersebut dimulai dari lingkungan pabrik,  kegiatan produksi, sampai hak yang harus didapat oleh pihak internal.

Adanya kesadaran dari masyarakat akan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan menuntut adanya pertanggungjawaban dari kegiatan perusahaan tersebut. Namun, tuntutan tersebut bertolak belakang dengan logika perusahaan yang berkiblat pada maksimalisasi profit. Tibullah gejolak dari perusahaan itu sendiri, karena bergesernya logika perusahaan. Kesadaran dari masyarakat tersebut mendorong pemerintah untuk mengikat perusahaan dengan regulasi Corporate Social Responsibility (CSR).

Regulasi inilah yang “memaksa” perusahaan untuk wajib melaksanakan CSR. Saat ini CSR telah menjadi hal yang mengikat dalam dunia korporasi. Perusahaan yang memiliki visi kedepan selalu menempatkan program  CSR sebagai bagian tak terpisahkan dari kegiatan operasionalnya. Jika tidak maka akan memicu hilangnya relasi bisnis yang beresiko terhadap citra perusahaan (brand risk) dan mengancam kelangsungan hidup usaha. Relasi bisnis merupakan pihak yang mendukung jalannya perusahaan, yaitu masyarakat. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa peran masyarakat memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan korporasi.

Konsep CSR lahir pada 1953 oleh Howard R Bowen yang mengatakan bahwa CSR harus selaras dengan tujuan (object) dan nilai (value). Tujuan (object) adalah hal – hal yang ingin dicapai perusahaan sedangkan nilai (value) merupakan hal yang diyakini oleh masyarakat. Sejak lahirnya konsep tersebut kegiatan CSR terus mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan CSR dari charity menjadi kewajiban perusahaan untuk memberdayakan masyarakat, menjamin hak karyawan dan melindungi lingkungan disetiap perusahaan. Perkembangan dan perubahan positif terlihat dengan banyaknya penerapan CSR yang diadopsi oleh perusahaan manufaktur, perusahaan dengan investasi asing, dan BUMN.

Pada kenyataannya banyak perusahaan yang menerapkan CSR tapi terdapat kontra dalam menilai pelaksanaan CSR, yaitu menganggap bahwa CSR tidak memberi manfaat. CSR terkesan memberikan beban ganda yaitu dengan adanya pajak yang dibayarkan kepada pemerintah. Hal tersebut menyebabkan profit perusahaan semakin berkurang dan perusahaan dituntut fokus terhadap pelaksanaan CSR.

Padahal program CSR merupakan pedoman untuk perusahaan agar mementingkan aspek – aspek lain, tidak hanya profit. Perusahaan dituntut agar tidak lagi mementingkan profit yang pada akhirnya mereka tidak peduli dengan keadaan lingkungan diluar maupun dalam perusahaan. Melainkan perusahaan dituntut untuk menjadi sebuah entitas usaha yang wajib memperhatikan keadaan lingkungan dan hubungan dengan masyarakat tempat usahanya.

Merujuk dari pemaparan diatas, Wirda melalui tesis yang berjudul Analisis praktik CSR di PT Holcim Indonesia TBK dengan analisis lebih spesifik. Melihat praktik CSR yang dilakukan oleh PT Holcim Indonesia Tbk, baik secara internal maupun di eksternal perusahaan. Pelaksanaan CSR PT Holcim menjadi menarik karena kegiatan perusahaan bergerak dibidang pengolahan sumber daya alam (SDA). CSR Holcim menarik karena Holcim dituntut mengolah SDA tersebut untuk menghasilkan output yang berkualitas dengan tingkat kerusakan lingkungan seminim mungkin.

Pelaksanakan CSR merujuk kepada tiga aspek yang lahir dari triple bottom line yaitu, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan alam. Aspek ekonomi yaitu dengan bekerja sama dengan mitra usaha, pelanggan dan sektor industri umumnya. Tujuannya untuk memberi nilai tambah dan menciptakan penghasilan agar semua pihak dapat menikmati kehidupan yang baik. Aspek sosial dengan menjaga pertumbuhan tetap seimbang dengan membantu memenuhi kebutuhan masyrakat setempat. Aspek lingkungan yang meliputi pemanfaatkan, memperbaharui dan melesatarikan SDA semaksimal mungkin, menangani dampak kegiatan operasional terhadap iklim dan lingkungan.

Ketiga aspek itu harus dipenuhi agar perusahaan dapat menerima penghargaan melalui  Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper). Perusahaan melaksanakan prinsip CSR dimulai dari lingkungan internal perusahaan. Utamanya adalah karyawan karena mereka adalah asset penting bagi perusahaan, melalui tangan karyawan kegiatan produksi dapat tercapai. Penerapan program dibutuhkan untuk mengembangkan karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, aman, dan kondusif untuk berkarya.

Perusahaan di Indonesia harus mampu memberikan perhatian banyak terhadap hal – hal yang berkaitan terhadap kelestarian lingkungan. Perhatian tersebut khususnya berada pada lingkungan alam sekitar pabrik selama kegiatan operasional. Beberapa contoh kegiatan pelestarian lingkungan, dapat dilakukan menggunakan electrostatic precipitator, yaitu alat untuk menahan dan menyaring debu yang dihasilkan pabrik. Debu dan asap dari alat tersebut terus dipantau. Pengelolaan tingkat kebisingan menggunakan silencer (alat pengukur tingkat kebisingan) disetiap area produksi. Tingkat kebisingan dan getaran diukur, dipastikan berada pada tingkat yang sama atau lebih kecil dari batasan penetapan pemerintah daerah.

Metode penelitian Wilda untuk mengumpulkan data diatas  adalah penelitian deskriptif-analitis secara rinci, sistematik dan menyeluruh mengenai praktek tanggung jawab sosial perusahaan. Metode yang dilakukan antara lain, sumber dan jenis data meliputi data primer maupun sekunder. Data primer yaitu, wawancara langsung maupun berkomunikasi melalui surat kepada pihak terkait. Data sekunder meliputi dokumen baik dari internet, majalah perusahaan, koran, dan literatur lain. Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif-deskriptif yaitu meneliti praktek CSR pada perusahaan melalui data primer dan data sekunder.

Keberhasilan suatu perusahaan dalam penerapan CSR merupakan sebuah contoh agar perusahaan lain bisa mengikuti jejak perusahaan yang mendapat proper emas tersebut. Wirda berani mengangkat topik yang lebih mikro dalam menerapkan CSR. Tesis tersebut, dipaparkan dengan rinci bagaimana praktek tanggung jawab perusahaan di internal maupun eksternal.

Menurut Wirda CSR yang dilakukan oleh PT Holcim Indonesia mungkin merupakan prestasi tersendiri, karena Holcim lebih “merakyat”. CSR merupakan investasi social (social investment) dimana buntutnya adalah tetap pada profit. Faktanya, perusahaan harus memiliki tingkat profitabilitas yang memadai sebab laba merupakan pondasi bagi perusahaan untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Wilda, seolah – olah menyembunyikan hal tersebut. Dia hanya membuka bungkusnya tanpa melihat isinya. Argumen ini diperkuat dengan tidak ditampilkannya pendapat karyawan dan masyarakat sekitar yang merupakan “orang terdekat” PT Holcim Tbk, ini seolah – olah Wilda berjalan dengan menutup mata. [Tiffany Raditya]

CSRPenelitian UGMPergeseran Logika Bisnis
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Perangai Egois di Balik Aksi Heroik

Demotivasi: Alat Menyingkap Motivasi yang Manipulatif

Instabilitas Demokrasi Indonesia Pasca-Orde Baru

Menari di Bawah Rezim Kebudayaan

Hutan Adat Bukan Tanpa Tuan

Tak Semanis (Harga) Kakao

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

    Mei 4, 2025
  • Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau

    Mei 4, 2025
  • Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender dalam Sejarah Indonesia

    Mei 3, 2025
  • Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

    April 30, 2025
  • SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

    April 28, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM