Lima kendaraan bermotor tampak berbaris membentuk antrian di portal boulevard UGM pada Rabu (4/12) Sore. Para pengendara mengantri untuk mendapatkan karcis kuning sebagai akses keluar-masuk kampus UGM. . Padahal, sejak 22 April 2013 sudah ada kebijakan tentang penggunaan smartcard sebagai akses keluar-masuk UGM. Smartcard tidak hanya memfasilitasi akses keluar-masuk, tetapi juga untuk mengakses beberapa fasilitas kampus. Fasilitas tersebut meliputi penggunaan kartu perpustakaan, GMC, sepeda kampus, dan lain-lain. Smartcard merupakan bentuk penerapan pengendalian transportasi berbasis orang, bukan  kendaraan. Dengan smartcard, warga UGM dapat keluar-masuk ke lingkungan kampus meskipun berganti-ganti kendaraan bermotor.
Rencananya, smartcard mulai akan diterapkan pada tahun ajaran 2013 ini. Namun, karena adanya kendala, kebijakan ini belum bisa diterapkan. Oleh karena itu, pihak UGM masih menggunakan karcis kuning sebagai keamanan kampus. Awalnya, kebijakan karcis kuning merupakan tindakan yang diambil oleh UGM akibat dari pencabutan disinsentif KIK yang menuai banyak protes. Protes ini dilontarkan beberapa tahun silam oleh Kelompok Kerja Akuntabilitas Pendidikan Tinggi. Mereka melaporkan permasalahan tersebut kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Kemudian, ORI memberikan peringatan kepada pihak UGM yang memungut bayaran dari hasil kebijakan karcis disinsentif tersebut. Â Setelah peringatan tersebut sudah tidak berlaku, muncul kebijakan tentang smartcard ini.
Walaupun rencana kebijakan smartcard sudah dibuat, tetapi sampai saat ini belum dapat terealisasikan. Kebijakan ini belum terrealisasi karena kendala teknis, seperti persiapan cardreader yang belum memadai.  Jadi, untuk sementara waktu, karcis kuning masih dipergunakan untuk akses keluar-masuk kampus. Menanggapi hal tersebut, Wijayanti, Kepala Humas UGM, mengungkapkan alasannya mengapa masih menggunakan karcis kuning untuk akses keluar-masuk kampus. “Karena belum adanya smartcard, untuk saat ini hanya karcis kuning alat yang paling efisien sebagai keamanan,”  ungkapnya.
Wijayanti menambahkan tentang persiapan smartcard sebagai pengganti karcis kuning. ”Sejauh ini sudah mulai dirancang, hanya tinggal untuk karyawan, dosen dan perisapan cardreadernya,” tambahnya. Wijayanti juga mengakui apabila tetap menggunakan karcis kuning, hanya menambah biaya pengeluaran untuk memproduksi karcis tersebut. ”Silakan tanya Direktorat Pengelolahan dan Pemeliharaan Aset (DPPA), karcis kuning cuman jadi sampah yang menumpuk sampai beberapa karung,” ujarnya.
Karcis kuning itu sendiri, diakui oleh Edi Prasetyo, selaku Humas Kasubdit DPPA, setiap harinya dihitung. “Kami punya data setiap harinya,” beber Edi. Edi juga mengungkapkan didakannya kebijakan karcis kuning menyebabkan peningkatan volume kendaraan. Hal ini berbanding terbalik dengan rencana UGM yang ingin menciptakan lingkungan educopolis. Lingkungan educopolis adalah lingkungan kampus dengan kondisi suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran. Lebih lanjut, Edi menjelaskan penggunaan uang dari kebijakan disinsentif tersebut dikelola untuk pembangungan serta perbaikan sarana dan prasarana. Fasilitas sarana dan prasarana tersebut, meliputi perbaikan portal dan pemasangan beberapa portal baru. “Jadi, uang tersebut digunakan sebagai pengembangan fasilitas umum kampus,” tegas Edi.
Senada dengan Wijayanti, Edi juga memaparkan bahwa smartcard sedang dalam proses perancangan agar benar-benar bisa manghilangkan karcis kuning. Tetapi, adanya smartcard tidak bisa langsung menghilangkan kebijakan karcis kuning begitu saja. Hal ini karena hanya warga UGM saja yang mempunyai smartcard tersebut. “Misalnya, untuk kurir atau masyarakat umum kan nggak punya, jadi karcis kuning tidak bisa hilang begitu saja,” tambahnya.
Namun, berbeda dengan Halim Perdana Kusuma, mahasiswa Sosiologi’10 ini berpendapat tentang tidak perlunya karcis kuning. Menurut Halim, dalam implementasi karcis kuning belum cukup maksimal. “Karcis kuning ini seakan asal dijalankannya,” keluh Halim. Halim menuturkan bahwa lebih baik karcis kuning ditiadakan, namun sistem keamanan kampus lebih diperketat. “Ya, bisa dengan patroli rutin, menambah lampu di daerah yang gelap dan rawan, serta kalau bisa disediakan CCTV,” tuturnya. Halim juga mengatakan bahwa kebijakan smartcard ini harus diterapkan dengan benar agar masyarakat bisa ikut memiliki UGM. “Harus ada kebijakan khusus untuk masyarakat umum, sehingga UGM dapat menjadi ruang untuk semua elemen masyarakat,” pungkas Halim. [Agdzhur Rinalsyam]