Handoko gelisah. Kedua alisnya terpaut, telunjuknya sibuk mengusap bagian bawah bibir. Kemeja putih yang dikenakannya sudah berantakan di sana-sini. Selang beberapa menit, istrinya menghampiri. Ia mendudukkan diri di kursi yang hanya berbataskan meja dengan Handoko. Ekspresi istrinya tak jauh berbeda, kegelisahan dan kebingungan jelas terlukis di wajahnya. Keduanya duduk dalam kesunyian, tak saling bicara. “Kalau diam, bagaimana aku tahu apa yang kau pikirkan dan membuatmu gelisah,” ungkap pelan sang istri dengan jemari saling bertaut, takut salah bicara.
Lagi-lagi kesunyian menyelimuti mereka. Sang suami hanya memandang istrinya dalam diam, takjub dengan kalimat yang baru diucapkannya. Diamnya Handoko mengusik wanita itu. “Apa karena ini akhir bulan?” tanya istri Handoko dengan senyum kecil menghiasi wajahnya. Wajah Handoko tidak lagi mengisyaratkan keheranan. Nadanya tinggi menjawab pertanyaan istrinya, ia marah. “Ini lebih penting dari sekadar uang,” jawabnya kasar. Setelah berargumen panjang, Handoko tertawa hebat, bicaranya melantur seperti orang gila.
Selang beberapa menit, suasana menegang. Handoko mengungkapkan pada istrinya keinginannya untuk menanyakan sesuatu, yang mudah dijawab dan sering ditanyakan pasangan kekasih. “Masih adakah cinta di antara kita?” tanya Handoko dengan kedua tangan menari di udara membentuk simbol cinta. Istrinya terlihat heran dan mengulangi pertanyaan itu berulang kali. Wanita berdaster itu menganggap jawabannya sulit dan memerlukan pemikiran panjang.
Bukannya senang, Handoko justru menegang melihat sikap itu, apalagi ketika istrinya mengungkapkan keengganannya menjawab. Berkali-kali ia mengulang pertanyaan yang sama pada wanita yang telah menjadi pendampingnya selama 25 tahun. Kekukuhannya bertanya membuat sang istri semakin enggan menjawab. Istrinya balik bertanya dengan nada tak percaya, “Hanya untuk sebuah pertanyaan, kau berpikir bahwa keluarga kita jadi taruhannya?” Istri Handoko meninggalkan ruangan, meninggalkan suaminya dengan segelas kopi yang tadi dibawanya masuk. Handoko, yang belum lelah memohon jawaban dari istrinya, menggerutu sendiri dalam keremangan cahaya lampu rumah mereka.
Pertanyaan sederhana yang diajukan Handoko memulai petualangannya mencari kebenaran tentang cinta. Ia mulai bertanya pada orang-orang di sekitarnya, membuat sebagian besar bingung bukan kepalang. Rekan kerjanya, Bharata, tidak mengerti kenapa ia mempermasalahkan cinta berlarut-larut. Pada rekannya yang berambut klimis itu, Handoko mengisahkan alasannya mengukuhkan diri mencari jawaban pertanyaannya. Dengan nada serius, ia memaparkan keadaan masyarakat yang sudah tidak peduli lagi dengan persoalan cinta. Ia ingin pernyataan cinta yang diungkapkan secara gamblang, supaya tidak ada rasa curiga dalam pernikahannya. Bharata menyindir, “Lantas kau pikir pertanyaanmu akan membuat kau dan istrimu lebih harmonis?”
Handoko tidak peduli, ia justru mencoba mencari jawaban dari orang lain. Di pasar, kantor pos dan berbagai tempat umum lainnya ia mencari sebuah jawaban. Ia hanya mencari satu atau dua kata, ada atau tidak ada.
Kepada salah satu pegawai kantornya, Jono, Handoko memberikan selembar kertas. Selembar kertas pemberiannya serupa dengan lembaran-lembaran kertas yang tertempel di pasar dan kantor pos yang tadi dilaluinya. Semua kertas itu menanyakan hal yang sama, ‘Masih adakah cinta di antara kita?’. Lewat lembaran kertas itu, Handoko mencari jawaban atas pertanyaannya.
Usaha Handoko mencari jawaban mengantarkannya ke kantor polisi. Handoko dianggap menggegerkan kota dengan selebaran-selebarannya. Dari seorang warga hingga Bupati, semua resah karena pertanyaan yang diajukannya. Seorang detektif dengan nada mengejek mengingatkan Handoko untuk tidak mengumbar masalah pribadinya dengan masyarakat umum. ‘Cinta’ yang ditanyakan Handoko menimbulkan multitafsir yang berakhir pada keresahan. Cinta yang dipertanyakan suami terhadap istrinya tentu berbeda dengan yang dipertanyakan rakyat pada bupatinya.
Saat pertanyaan ini diajukan oleh rakyat untuk pemimpinnya maka yang hadir bukan jawaban melainkan keraguan. Apakah benar dengan banyaknya rakyat miskin dan sulitnya mencari pekerjaan, para pemimpin bangsa masih mencintai rakyatnya? Berbeda lagi jika pertanyaan ini diajukan dari sopir bus kepada kondekturnya, menyiratkan kesangsiannya terhadap kejujuran sang kondektur. Seluruh kota akhirnya geger karena pertanyaan sederhana yang diajukan Handoko.
Kekukuhan Handoko mempertanyakan cinta menjadi fokus naskah garapan N. Riantiarno. Semula, naskah ini sengaja dibuat Riantiarno sebagai hadiah perkawinan perak untuk istrinya, Ratna Riantiarno. Naskah ini dipertunjukkan pasangan suami istri Riantiarno pada tahun 2012 bekerja sama dengan Teater Koma. Sabtu (27/04) malam, naskah itu disajikan ulang oleh Teater Sirat IAIN Solo di hadapan puluhan masyarakat UGM. Dengan beberapa adaptasi oleh Muhammad Milkham, salah satu anggota Teater Sirat, pementasan itu berhasil memikat banyak penonton. Kesederhanaan tema yang diangkat justru membuat penonton merasa dekat dengan sosok Handoko.
“Karakter Handoko itu unik,” ungkap Mohammad Afinawa selaku pemeran Handoko. Keinginan Handoko untuk mendapat jawaban dari istrinya secara gamblang dianggapnya tidak masuk akal. Jarang ditemui orang seperti Handoko, yang masih mencari kebenaran tentang cinta di tengah modernisasi.
Tiga belas tahun kemudian, sepasang suami istri duduk di atas kasur tua. Rambut keduanya hampir memutih semua, menandakan umur yang menua. Mereka saling berpandangan dan tersenyum di bawah remang lampu kamar. “Kau ingat pertanyaanku?” Pria dengan tangan gemetar itu adalah Handoko yang masih mencari jawaban pertanyaan setelah 38 tahun pernikahan. Wanita berkulit keriput di sampingnya mengangguk pelan, dengan pandangan beralih mengisyaratkan kerisauan.
Wanita tua itu berkisah pelan pada suaminya, tentang rasa cinta dan Hari Senin. Ia menceritakan bagaimana Handoko adalah satu-satunya pria yang menyukai Hari Senin. “Ini Senin ke-1981 kita bersama,” tutur istrinya pelan dengan senyum mengembang. Keduanya saling bergenggaman tangan, saling menopang, seakan keraguan yang tadi sempat muncul terlupakan.
Terkadang cinta tidak perlu dinyatakan secara gamblang, layaknya istri Handoko. Di akhir cerita, Handoko menyadari bahwa tidak selamanya cinta harus diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun istrinya tetap tidak menjawab dengan satu atau dua kata yang dipilihkannya, Handoko tidak ragu lagi. Ia sadar tindakan lebih berharga dari sebuah kata. Tindakan istrinya yang terus menghitung Hari Senin mengisyaratkan rasa cintanya pada Handoko.
Pementasan ini membuka mata kita bahwa cinta bersifat universal. Zainnudin Jay, salah satu penonton, percaya bahwa cinta tidak selalu identik dengan seorang pacar. Cinta dapat terjalin antara siapa pun dengan profesi apa pun dan sampai kapan pun. Mempertanyakan cinta tidak akan ada akhirnya, seperti Handoko yang terus bertanya pada istrinya, bahkan setelah 38 tahun bersama. [Lintang Cahyaningsih, Ganesh Cintika]