(Oleh: Annisa Dhia Baswedan, juara kedua Lomba Penulisan Cerita Pendek Apresiasi Sastra KMSI UGM 2011) Kamis, 17 Januari 1998 Satu hal penting dalam tahun 1998 ini, aku akan rindu Jogja. Wildan ** Mengulum senyum, Wildan meletakkan surat kenangan dari sobat-sobatnya di Jogja. Surat terakhir dari ibu guru yang berpesan macam-macam. Mulai dari jangan lupa selalu kerjakan tugas, jangan malas mengejar ketinggalan pelajaran, sampai jangan lupa akan sahabat-sahabat dan guru-gurunya di SMPN 1 Jogja. Ia memang murid kesayangan Bu Dharmas—wali kelasnya—dan tinggal di Jakarta selama 1 minggu saja sudah membuatnya rindu akan suasana kelas VIIA. Setelah menyimpan rapi surat-surat kenangan itu di dalam box, tungkai telanjangnya melangkah menuju kasur dan menghempaskan diri di atasnya. Membiarkan tubuhnya yang berbobot 45 kg memantul-mantul sejenak sebelum rasa nyaman menjalari punggungnya. Satu kata, bosan. Tahun ajaran baru sekolahnya belum dimulai, dan tidak ada kegiatan lain yang menurutnya menarik untuk dijalani. “Ah..” desahnya malas. Kalau ini di Jogja, mungkin ia tengah memancing di pemancingan bersama sobat-sobatnya. Dan pikiran-pikiran akan kenangan di Jogja menyeruak kian ganas, sedikit membuatnya ingin menyalahkan Abah yang dipindahtugaskan. Namun ia tahu, menyalahkan Abah sama sekali tidak ada gunanya. Toh beliau bekerja untuk dirinya juga—anaknya. Kembali mendesah, Wildan mencoba memejamkan matanya dan tidur. Tapi sejak tinggal di perumahan elit di Jakarta ini, frekuensi tidurnya bertambah sehingga mencoba tidur pun percuma. Ketika memejamkan mata, bayangan akan hamparan sawah beratus-ratus meter persegi menghampiri pikirannya. Desiran angin yang menyejukkan serasa nyata dalam indera perasanya. Sampai akhirnya halusinasinya buyar karena suara Bunda terdengar memanggilnya. “Iya, Bunda!” Segera, Wildan turun dari kasurnya dan menyeret langkah menuruni tiap anak tangga untuk menemui Bunda. Masih menyeret langkah dengan terhuyung, kelopak matanya ia buat setengah terpejam. Berharap Bunda tidak memintanya pergi membeli sayur di toserba perumahan. Ia sangat malas keluar rumah saat ini. Terlebih remaja-remaja sebayanya yang tinggal di sekitar terkesan sombong dan tidak ingin bergaul dengannya. “Wilda, tolong belikan sayur di toserba, ya,” Pinta Bunda sesuai dugaannya. Remaja berambut cepak itu mengangguk, meraih lembaran rupiah dari Bunda dan melangkah loyo keluar rumah. Sinar mentari sore masih terik, namun semburat oranye telah menodai sang langit biru. Biarpun dibilang menodai, perpaduan biru dan oranye pada angkasa sore itu bisa dibilang sangat indah. Satu dari berjuta-juta ciptaan Tuhan yang membuat para manusia terkagum-kagum dan merasa sangat kecil di hadapan-Nya. Keyakinan itu benar-benar Wildan pegang. Jalanan perumahan sore itu terlihat lenggang. Kebanyakan tetangganya pergi keluar untuk menikmati sabtu malam bersama keluarga atau kerabatnya. Wildan ingin sih pergi ke Ancol hari ini bersama Abah dan Bunda, tapi malam ini Abah ada janji dengan pasiennya. Ya, Abah adalah seorang dokter, tepatnya dokter spesialis kejiwaan atau psikiater. Beliau menangani beberapa masalah kejiwaan ringan seperti stress, kecanduan game, depresi, hingga gangguan kejiwaan berat. Tungkainya terus melangkah sejauh 150 m untuk mencapai toserba yang berada di bagian depan perumahan. Masuk, kemudain keluar dengan sekantong plastik sayur-mayur. Ketika melangkah pulang, ia tidak terlalu memfokuskan pikirannya pada suatu hal khusus, sehingga gendang telinganya menangkap getaran suara asing. Suara remaja seusianya. Wildan menelengkan kepala, menik hitam kecokelatannyabergulir mencari sumber suara. Namun yang ia lihat hanyalah beberapa satpam yang tengah berjaga di pos mereka. Suara-suara itu kian nyata. Ia yakin ia tidak sedang berhalusinasi, satu pernyataan yang berhasil ia simpulkan secepat kilat. Ada segerombol remaja di suatu sisi yang berbeda dari tempatnya berpijak. Mungkin, terpisah oleh tembok beton putih yang menjulang membatasi area perumahan. Sungguh, ia tidak bisa mengendalikan rasa penasarannya. Kedua tungkai beralas sandal jepit sederhana itu berbalik arah, menuju tembok beton. Sampai di hadapan tembok itu, getaran suara yang ditangkap indera pendengarannya kian nyata saja. Menghela nafas, ia sadar, berusaha sekeras apapun iua tidak mungkin menembus tembok beton itu. Untunglah para satpam tidak menyadari tindak-tanduk anehnya, mereka berjarak beberapa ratus meter dari Wildan berdiri dan tampak asyik dengan siaran bola pada satelit televisi mereka. Yang bisa ia lakukan adalah menelusur permukaan tembok beton di depannya dengan seksama, hingga menemukan sesuatu yang ganjil. Rupanya kedua bole mata minus 0,25 itu masih cukup tajam untuk mendapati sebuah lubang yang setengah tertutup oleh tong sampah besar. Lantas, Wildan melangkah mendekati tong sampah tersebut dan menggesernya. Benar, sebuah lubang. Hanya berdiameter 20 cm. Duduk bersila, Wildan menggeser tong sampah itu dan duduk di depan lubang. Tong sampah yang besar namun kosong itu menutupi tubuhnya, membuatnya yakin tidak dipergoki siapapun. Ia bisa sepuasnya mengintip ke sana, ke area yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Gubuk kayu reyot berdiri rapuh di beberapa sudut, berjejeran. Dengan tali-tali tambang yang menggantung di beberapa sisi yang berpadu dengan beberapa potong pakaian lusuh dan kucel yang diletakkan sekenanya di atas tali tambang. Di mana itu? Memincingkan mata, maniknya bergulir ke sisi lain. Seorang ibu-ibu berdaster lusuh tengah mencuci banyak tumpukan pakaian. Wilda yakin bukan pakaian ibu-ibu itu. Maniknya kembali bergulir, segerombol bocah laki-laki tampak bermain dengan buah kelapa kering. Dan beberapa remaja terlihat tengah duduk-duduk di salah satu bangku kayu sambil, merokok?! Benaknya tidak percaya. Dahinya terkernyit dalam. Remaja merokok, tukang cuci, bocah-bocah bermain kelapa, dan rumah-rumah kayu reot berjejer. Tidak salah lagi, pemukiman kumuh. Ia sering membacanya di koran. Pemukiman kumuh sangat banyak jumlahnya dan tersebar hampir di setiap sudut kota. Namun ia tidak menyangka akan menemukan pemukiamn kumuh itu sedekat ini—sangat dekat dengan kedua matanya. Wildan diam. Ia merasa iba, dan juga miris. Kenapa Pemerintah tidak memperhatikan mereka? Apakah Pemerintah hanya sibuk dengan urusan-urusan politik yang berhubungan dengan uang? Untuk mengalihkan segala kasus sosial seperti warga di pemukiman kumuh itu? Apapun itu, sekarang pikirannya teralih, ia sedikit terlonjak, mendapat sepasang mata hitam menatapnya dari seberang lubang. Begitu dekat. Namun ia tidak bisa melihat keseluruhan wajah pemilik bola mata hitam itu. “Siapa kamu?” tanya si bola mata hitam. Wildan menggeser tubuhnya hingga menyentuh permukaan tong sampah yang dingin. Tak bergeming. Masih terkejut akan kemunculan mendadak si bocah bolamata hitam. “W… Wildan,” jawabnya gugup. Seorang anak dari pemukiman kumuh tengah mengajaknya bicara. Kulit wajah si bola mata hitam berwarna cokelat tua, mungkin terlalu sering terbakar cahaya matahari. Dan perlahan bocah itu mundur, membuat wajahnya secara keseluruhan terlihat. Bukan bocah, seorang remaja, berambut cepak seperti dirinya namun dengan pakaian lusuh. Wajahnya kotor namun Wildan mengakui bahwa sosok entitas di hadapannya itu memiliki ketampanan yang tersimpan dibalik debu dan kuman yang menempel di wajahnya. Dan bola mata hitam itu, nampak sangat antusias dan cerdas. Berwawasan luas. Sungguh tidak dapat diduga. “Oh, anak perumahan ya?” Aku Jek, berapa umurmu?” tanya Jek penuh rasa ingin tahu. Wildan menelan ludah gugup, berusaha memberanikan diri mendekat dan mungkin sekadar bertegur sapa dengan entitas lusuh namun tampan di depannya, dan berhasil. “Ya. Aku baru pindah, umurku 13 tahun. Salam kenal, Jek.” “Kembali. Hei, kita sebaya.” Jek mengulum senyum, tampak senang mendapat teman ngobrol. “Kau tidak jijik ngobrol denganku, kan?” namun Wildan memotong, “Tidak! Tentu tidak, aku bosan seharian di rumah. Aku rindu Jogja, kota asalku.” Jek mengangkat alis tertarik akan topik yang diarahkan oleh Wildan. “Yogyakarta? Aku ingin lihat kerajinan perak di sana,” Manik hitam kecokelatan itu terbeliak kaget akan pernyataan Jek. Diam sejenak. “Ya! Kerajinan perak kami yang terbaik!” Wildan menjawab dengan bangga. “Aku pernah membacanya di koran lama yang dikumpulkan almarhum Bapakku,”Almarhum?Jadi dia anak yatim? “Ah, aku turut berduka… maaf membuatmu mengungkitnya.” Desah Wildan merasa bersalah. Yang dibalas oleh Jek dengan cengiran tanpa raut sedih sambil melanjutkan celotehannya tentang beberapa letak geografis dan astronomis wilayah-wilayah di Indonesia beserta kepadatan penduduknya. Tiap gubernur di 33 Provinsi di Nusantara, sampai sejarah Sumpah Pemuda. Semua ia uraikan dengan lancar tanpa jeda, membuat Wildan melongo saking takjubnya. SubhanAllah! Sungguh brilian! Benak Wildan. Lambat laun ia mulai menikmati obrolan dengan orang asing ini. Latar belakang mereka sangat berbeda, namun Je memiliki wawasan yang jauh lebih luas dibanding Wildan. Yang membuatnya terheran-heran, bahkan Jek tidak pernah mengenyam pendidikan formal sekalipun. “Mau dibayarin siapa sekolah? Makan aja susah! Nggak ada waktu juga! Lebih enak otodidak, tanpa aturan. Aku nggak suka dikekang oleh peraturan sekolah!” Jek kembali nyengir. Tiap katanya berbobot tapi wajahnya terus penuh dengan cengiran seakan ia sedang melawak. “Kau seperti Albert Einstein,” celetuk Wildan. “Bedanya aku tinggal di pemukiman kumuh, Einstein di Jerman. Jika Einstein pernah berhenti sekolah, aku belum pernah sekolah. Dan jika otak Lintang brilian dalam bidang fisika dan sejenisnya, maka aku lebih mendalami bidang Ilmu Pengetahuan Sosial. Geografi, Sosiologi, Ekonomi, mereka hidupku! Aku bersyukur bapak pernah membeli buku-buku bekas itu, mereka para buku membuat hidupku lebih berarti, ketimbang hanya duduk-duduk merokok, menganggur, dugem, ngelem, dan lainnya,” Responnya panjang lebar. Hari kian gelap, sebenarnya Wildan enggan beranjak dari tempatnya duduk, ia seperti terhipnotis oleh tiap kata yang dilontarkan bibir tipis seorang remaja 13 tahun dari pemukiman kumuh itu. Jek. Hanya Jek. Ia tidak sempat menanyakan nama lengkapnya, karena hari kian gelap, tak sadar mereka telah bercengkerama selama 2 jam penuh. Wildan melangkah pulang, menenteng plastik belanjaan sayurnya yang sedari tadi tergeletak terabaikan. Sebelum itu, Jek berbisik, sebuah pesan. “Kau boleh ke sini lagi besok, aku senang bisa ngobrol denganmu. O iya, jika kau lihat salah satu dari mereka merokok, jangan hiraukan, jangan sekali-kali kau coba tembakau itu,” Jek terdiam, “Sekarang pulanglah, sekali lagi senang bertemu denganmu,” Ya. Senang juga bertemu denganmu, Jek. Kedua insan itu berjabat tangan melalui lubang berdiameter 20 cm, awal dari persahabatan mereka. *** Hari Minggu, setelah melakukan kegiatan pribadinya, remaja SMP itu tahu hal menarik apa yang bisa ia lakukan sekarang. Jek. Segera, kedua tungkai itu melangkah ringan menuju lubang di tembok beton. Abah dan Bunda sama sekali tidak curiga. Wildan sudah punya teman baru. Benak kedua orang tuanya tersebut. Sesuai pesan Jek, ia datang lagi. Wildan kembali memposisikan diri senyaman mungkin dan menutupi tubuhnya dengan tong sampah yang besar. Dan sesuai harapan, Jek di sana, duduk seperti kemarin, namun dengan sepotong roti di tangannya. “Lama-lama kau merasa kita seperti 2 orang anak kecil di novel The Boy In The Striped Pyjamas. Bedanya banyak sih, tapi mereka sama-sama bersahabat dengan latar belakang yang berbeda. Endingnya kejam, tapi aku tidak ingin berakhir seperti itu,” Celoteh Jek dengan potongan roti memenuhi mulutnya, “Sebenarnya aku belum pernah nonton film itu, sih, aku membaca reviewnya di koran 2 tahun lalu.” Wildan terkekeh mendengar pernyataan jujur teman barunya itu. Jek sungguh berwawasan luas, ia merasa 2 hari ngobrol dengan Jek makin menambah ilmunya. Sejarah, sosial, dan pengetahuan umum semuanya ia serap baik-baik. Ia tahu, data-data yang masuk ke otaknya itu akan berguna di kemudian hari. Seperti biasa waktu berjalan begitu cepat ketika Wildan bersama Jek. Tidak ingin membuat Bunda khawatir, ia pamit pulang pada Jek dan berjanji akan kembali lagi di tiap waktu ia bisa. Namun esok hari Senin tahun ajaran baru akan dimulai dan Wildan yakin waktunya akan tersita habis di sekolah. Sebenarnya, tidak semuanya jelek sih, di sekolah ia mendapat ilmu juga teman. Ilmu yang mungkin tidak Jek dapat dari belajar otodidaknya. Si bola mata hitam benar-benar mengajarkan Wildan untuk terus bersyukur tengah mengenyam pendidikan formal dan tidak perlu mengamen atau membersihkan jendela mobil di perempatan jalan. *** Sudah sebulan lebih ia mengenal Jek. Ternyata nama aslinya adalah Zaki, lengkapnya Muhammad Zaki. Ia lahir di sebuah dukun beranak, untunglah bayinya selamat biarpun hanya terlahir seberat 2,5 kilogram. Ayahnya seorang pemulung, meninggal karena kecelakaan setahun silam dan ibunya seorang buruh cuci. Ternyata ibu-ibu yang dulu pertama kali ia lihat adalah ibunya. Zaki sangat sayang ibunya, jadi tiap hari ia selalu berusaha mencari pekerjaan untuk membantu sang ibu. Ia tidak ingin mengamen di perempatan jalan. Motonya adalah: “Selama kaki ini masih sanggup melangkah, selama tangan ini masih sanggup mengangkat, dan selama mata ini masih sanggup melihat, kau harus bekerja. Suatu saat Tuhan akan melihat usahamu dan memberikan jalan kemudahan bagimu!” Setelah mengucapkan kata bijak itu, Zaki atau Jek akan tersenyum dengan lebar sembari menggigit potongan roti tawar kesukaannya. Sejak Jek bilang bahwa makanan kesukaannya adalah roti tawar, Wildan selalu berusaha membawakannya tiap ada kesempatan. Namun waktu kian berubah, keadaan tidak setenang dulu ketika mereka pertama kali bertemu. Jek sering tampak gelisah dan takut, ia takut jika petugas kota menggusur rumahnya dan memisahkannya dari sang ibu yang amat sangat ia cintai. Ia akan menjadi sebatang kara, dan tidak punya tempat tinggal. Pemukiman kumuh itu satu-satunya harapannya tetap hidup dan bernafas pada atmosfer dunia ini. Atmosfer dunia yang kian kejam mencekik tenggorokannya dan rekan-rekan hidupnya. Wildan iba, tidak pernah ia melihat Jek segelisah hari itu. Dirinya memutuskan untuk mengadukannya pada Abah. Siapa tahu Abah bersedia mendanai keluarga Jek, yang hanya terdiri dari Muhammad Zaki dan ibunya seorang buruh cuci berusia 49 tahun. Kalau perlu, Wildan dengan sukarela akan mengambil sleuruh tabungannya di bank dan memberikannya pada Jek. Ia ingin membalas tiap ilmu yang Jek berikan padanya. Ilmu yang tidak ternilai harganya. Dan Abah setuju. Biarpun sedikit kecewa karena Pemerintah tidak terlalu memperhatikan mereka, para penghuni pemukiman kumuh. Mungkin, memang mereka mendirikan rumah tanpa izin. Karena mereka tidak sanggup. Ya, mereka melanggar hukum, namun mereka juga manusia yang masih memiliki hati. Mereka memiliki hak untuk hidup, hak untuk mendapat pendidikan, dan hak untuk menyatakan pendapat mereka di muka umum. Namun nyatanya ketika mereka berusaha menuntut hak, justru mereka kian tersiksa. Rumah mereka digusur, keluarga mereka terpecah belah, dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi yatim piatu dan berkelana di jalanan. Rasanya tidak ada gunanya berteriak pada Pemerintah hingga pita suaramu putus, karena seluruh teriakan yang bahkan bergema tidak akan pernah didengar. Ironis. Lamunan Wildan buyar. Mobil sedan itu telah diparkirkan di salah satu sudut jalan. Abah mengajak Wildan turun dan berjalan kaki ke kediaman kumuh yang letaknya tersembunyi itu. Namun jalanan yang dipenuhi sampah tidak memungkinkan. Bau busuk sampah dan air selokan yang kotor dan tercemar menyeruak mengganggu indera penciuman. Wildan mengerutkan hidungnya, sambil tetap berjalan. Berharap akan segera bertemu Jek dengan cengiran lebarnya seperti biasa. Terakhir ia melihat sosok entitas cerdas itu kemarin, dan ia berjanji akan mengunjunginya. Namun yang terlihat justru hal yang paling tidak diharapakan Wildan. Jeritan pilu, bunyi traktor, suara-suara manusia yang berdebat, semuanya bercampur aduk sehingga apa yang Wildan lihat saat ini seperti video yang diperlambat. Manik hitam kecokelatannya bergulir, mencari sosok Jek. Menoleh ke sana dan kemari mulai panik. Bahkan tidak menghiraukan tarikan tangan Abah yang memintanya menjauh dari wilayah yang tenah digusur itu. Tidak mungkin, sobatnya hilang. Pupus sudah harapannya untuk membantu meringankan beban hidup Jek. Ia gagal, gagal menjadi seorang yang baik sekaligus gagal menjadi seorang sahabat. Bukankah seorang sahabat selalu ada ketika sahabatnya membutuhkan? Namun apa yang terjadi sekarang? Bahkan ketika Jek tengah menghadapi mimpi buruknya, Wildan hanya berdiri dalam diam tak bersuara. Tenggorokannya tercekat, ia tak mampu berkata-kata. “Wildan!” berbalik dengan cepat, Wildan segera mengenali suara itu. Jek. Sobatnya masih hidup, masih ada. Dan tengah merangkul ibunya yang berurai airmata sekaligus melambaikan tangan. Tentu dengan cengiran lebarnya seperti biasa. Tapi cengiran itu bergetar, seiring gerakan truk yang mengangkut puluhan orang itu. Dan cengiran itu hilang, truk bergerak menjauhi pemukiman yang digusur. Pemukiman kumuh penuh kenangan. Sekalipun hanya ia amati dari balik tembok beton yang menjulang. “Selamat tinggal, Wildan!” teriaknya dengan emosi yang tak menentu, namun berusaha tersenyum. Ini memang mimpi buruk bagi seorang Muhammad Zaki. Tapi ini bukanlah akhir dari semuanya, Zaki dan ibunya akan bangkit biarpun sulit. Dan ia memutuskan untuk menghadapinya dengan senyuman. Senyuman terakhirnya untuk sobat di balik temboknya, ia bertemu dengan Wildan dengan senyuman. Maka, ia akan pergi meninggalkannya dengan sebuah senyuman pula. *** Teringat Jek. Muhammad Zaki. Perpisahan itu sungguh memilukan, tapi di mana ada sebuah pertemuan pasti ada sebuah perpisahan, kan? Dan aku yakin ia pasti bisa menjalani sisa hidupnya bersama ibunya dan bangkit dari keterpurukan. Jek benar-benar mengajariku arti hidup ini dari sudut pandangnya. Jek, Muhammad Zaki, si bola mata hitam, di manapun kau berada, apapun yang tengah kau lakukan, dan bagaimanapun kau menjalani tiap cobaan di atmosfer dunia ini, kau pasti tetap nyengir lebar seperti biasa, kan? Dan suatu saat kita akan bertemu kembali! Wildan