Sebulan lebih, lukisan bergaya teks dan figur dipamerkan di galeri Sangkring Art Space. Tanpa pemaknaan khusus, ekshibisi ini ingin membangun kembali ‘rasa’ yang muncul melalui visual.
Di beberapa sudut, patung-patung dipamerkan. Hadir jua sesosok pria berjas hitam yang menjulang tinggi sebagai mural. Disoroti lampu temaram, beragam corak yang berpadu dalam warna tertoreh pada kanvas yang tergantung. Gaya abstrak dan realis tampak kontradiktif, namun mendominasi. Ekshibisi ini mempertemukan dua wujud yang berlainan sekaligus lewat teks dan figur.
Figuring Text, Texting Figure adalah tajuk pameran yang digelar komunitas seni rupa Jogja Contemporary ini. Baik teks maupun figur merupakan sebentuk yang farik. Tidak sulit membedakan satu di antara keduanya. Suatu teks dapat terlihat melalui huruf-huruf dan kumpulannya yang berelasi. Sebentuk figur bisa dijumpai dalam wujudnya yang berasosiasi dengan peristiwa lain; semisal figur boneka, manusia, jamur, anak kecil, pesawat, bahkan robot. Keduanya memiliki laku yang berbeda untuk memahaminya. Ketika teks dibaca, terdapat gambaran yang muncul dalam pikiran. Itulah figur yang dibayangkan dari teks. Sementara saat memandang rupa, akan terjadi upaya menerjemahkannya. Maka, figur siap dimaknai melalui tulisan yang berada di baliknya.
Corak figur dan teks rupa-rupanya menjadi ciri khas dalam karya beberapa seniman Jogja. Rismiliiana Wijayanti, manajer Jogja Contemporary, pun melihat adanya pengelompokkan karya seni yang bertendensi teks dan figur ini. Berangkat dari kecenderungan tersebut, ia mencoba menyandingkan karya abstrak dari teks dan gaya realis dari figur.
Sungguh terlihat perbedaan lukisan bergaya figur dan teks yang dipamerkan di galeri Sangkring Art Space pada 12 April–15 Mei lalu. Tengok saja lukisan Berpikir Dosa karya Dedy Sufriadi. Karyanya yang abstrak dengan teks-teks yang cenderung berpencar menyebabkannya tak terbaca. Teks-teks itu bak digoreskan oleh anak kecil yang baru berlatih menulis. Di salah satu sudut kanvas, terdapat teks yang tertangkap jelas: berpikir dosa, holly horn, unlogic line. Semuanya saling tumpuk menumpuk. Tidak hanya itu, latar belakang hitam dan teks yang berwarna putih dengan efek tulisan yang terhapus membuat keseluruhannya bagai tergambar di sebuah papan tulis berkapur.
Di sisi yang berlawanan, terlihat lukisan dengan gaya figur yang realis. Sosok Kamen Rider tengah melakukan kuda-kuda siap menerima serangan. Tak ketinggalan, roman seorang anak hadir sebagai latar belakang. Ekspresinya geram ingin menyerang Kamen Rider bercelana pendek. Figur-figur tersebut mendominasi lukisan Anis Ekowindu yang berjudul Father and His Son Fight (The First) tersebut. Meski dekoratif, objek-objek berupa pesawat dan robot yang dihadirkan Anis dalam lukisannya justru menambah riuhnya nuansa pertempuran.
Ketika diaplikasikan dalam media kanvas, teks memang dikemas secara acak oleh Deddy dalam lukisan Berpikir Dosa tersebut. Namun, karyanya tetap dapat dinikmati. Dengan goresan oil bar, ia memenuhi kanvas dengan sebentuk teks. Ia isi latar belakang hitam itu dengan coretan tak beraturan. Dengan dominasi latar hitam dan coretan putih, lukisan tersebut nampak seperti sebuah papan tulis hitam. Goresan yang seolah dihasilkan kapur tulis sukses diciptakan Deddy dengan oil bar. Pun efek hapusan oil bar berhasil menampakkan tulisan yang pupus. Coretan yang ritmis namun tak beraturan secara tegas memamerkan bentuk yang visual. Kesatuannya memberikan kesan spontanitas dan kebebasan bagi penikmatnya.
Walaupun sama-sama bergaya abstrak, lukisan Agus Baqul yang berjudul Kalau Bukan Kau Kepada Siapa Lagi Aku Mengutuk mengekspos sebuah teks yang justru tak terbaca sebagai aksara. Ia menduplikasi teks serupa dan menimpanya dengan yang lain. Tumpukan itu berada dalam warna yang sama, namun juga diletakkan di atas warna lain. Meski begitu, warna gelap dan terang dihadirkan agar nyaman ditangkap oleh mata.
Jeda kosong memang tidak disisakan Agus dalam lukisannya. Seakan tak memberikan helaan nafas, teks yang saling tindih-menindih luap memadati kanvas. Pengulangan teks yang menumpuk, tampak laiknya benang kusut. Jika berhasil memerhatikan secara detail, jelaslah teks yang terbaca:iblis–yang ditulis dalam huruf Arab. Indah memang kaligrafi itu dengan paduan warna-warna manis dan getir sekaligus. Namun, lewat guratan teks yang tindih menindih dan tanpa jeda, ada kepenatan yang dirasakan.
Ada sebentuk kesan yang tertangkap ketika mengamati goresan-goresan ataupun kesatuan rona teks. Sebabnya, melalui bahasa seni itu, karya seni bertutur. Dalam seni visual, yang berkata-kata adalah yang terlihat secara visual. Apa yang terlihat oleh mata memang harus memiliki rupa. Namun, sesuatu yang visual itu dapat pula tak mesti berbentuk secara bersamaan.
Seni lukis memperlihatkan bahwa wujud visual pun dapat muncul lewat perpaduan warna cat. Ia timbul meski hanya melalui hitam dan putih, bahkan sekadar warna monokromatis yang manis. Entitas visual itu dapat saja hadir lewat pertemuan titik-titik yang melebur ke dalam garis. Corak itu bahkan boleh-boleh saja memainkan ruang melalui kerumunan yang satu dan kelengangan di sisi yang lain. Baik ukuran maupun medium berusaha membahasakan yang visual itu. Keseluruhan bahasa seni tersebut dieksekusi para seniman sehingga secara visual diresapi oleh penikmatnya. Maka, terdapat dorongan rasa yang hadir ketika menyelami lukisan tersebut. Itulah sensasi ketika menangkap visual itu.
Tak berhenti pada lukisan abstrak, sensasi pun hadir dalam figur yang mendominasi suatu karya. Umumnya, figur seringkali harus memiliki cerita. Sebab, sosok itu memang tampil figuratif. Namun, guna melihat yang visual dan mendapatkan rasa, figuratif tak terlalu asasi. Lukisan Anis yang menampilkan sosok Kamen Rider barangkali tak dimaksudkan untuk benar-benar menghadirkan kisah Kamen Rider. Lihat saja, kostum yang dieksekusi Anis untuk figur Kamen Rider justru mengenakan celana pendek dengan sepatu Crocs. Secara figuratif, ia bisa jadi penjelmaan sang ayah. Namun, secara visual lukisan ini seakan menempelkan objek-objek guna menutupi sosok anak kecil di belakangnya. Anis rupanya melibatkan anaknya dalam menciptakan lukisaan ini. Objek yang tergambar pun jelas memiliki perbedaan.
Gaya lukisan Anis yang solid dan ekspresif berpadu dengan karakter penggambaran objek yang dibubuhkan anak lelakinya. Meskipun cenderung tak utuh, permainan mimik dan parodi yang menjadi kekhasan Anis tidak hilang. Kejenakaan tetap hadir lewat teknik visual yang berhasil memperlihatkan guratan kegeraman yang naif dari anak kecil. Akan tetapi, Anis yang selalu memberi ruang di setiap karyanya, kali ini bereksperimen. Sentuhan imajinasi figur-figur yang seolah direkatkan begitu saja mengisi kekosongan ruang di kanvas. Dengan begitu, lukisan ini pun memberikan kesan keriuhan dan keluguan sekaligus.
Teks dan figur memang tidak sekadar hadir begitu saja. Bagaimanapun, ia tak dapat lepas dari pemaknaan. Namun, upaya pemahaman dan makna itu relatif, subjektif sifatnya. Maka, makna terhadap teks dan figur yang diciptakan lukisan tersebut bervariasi. Perkara itu tak jadi soal sebab pemahaman pun terpulang pada penikmatnya.
Dominasi teks dalam lukisan Deddy, misalnya, akan mencetuskan sebentuk imaji. Goresan-goresan teks dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa seni (high art) bukanlah sesuatu yang esensial. Seni dapat berupa sesuatu yang tak beraturan sekalipun seperti coretan anak kecil. Pun layaknya anak kecil yang tak pikir panjang, dalam lukisan bertajuk Berpikir Dosa ini karya seni bisa saja muncul melalui spontanitas.
Sementara itu, upaya pemaknaan akan berbeda jika menengok lukisan bergaya figur. Objek-objek asosiatif yang tampil dalam karya Anis bertutur melalui ekspresi dan aksi figur. Raut rupa anak kecil dan ancang-ancang Kamen Rider berbicara mengenai suatu pertempuran imajinatif. Keduanya menampilkan sosok yang diasosiasikan dengan figur nyata. Sesosok berkedok Kamen Rider menggambarkan si ayah, sedangkan potret dengan ekspresi geram menyiratkan kemarahan si anak. Entah mereka saling beradu atau justru berkolaborasi melawan seteru. Barangkali, karya ini menjadi sebentuk kecintaan ayah pada anaknya yang sama-sama menyenangi tokoh Kamen Rider.
Ekshibisi ini tak hanya menyandingkan karya seniman yang bergaya figur yang realis dengan teks yang abstrak. Keduanya menawarkan upaya yang berbeda dalam pemahamannya. Akan tetapi, suatu sensasi akan hadir sebelum ada makna yang sifatnya representatif ketika menyelami bahasa seni yang dihadirkan. Dengan begitu, pemaknaan yang beragam dapat diatasi dengan merasakan sensasi.
Pun medium yang berbeda menimbulkan sensasi yang berlainan pula ketika menikmati mural Farhan Siki, Implosion #2. Sesosok pria berjas hitam dengan dasi kupu-kupu seakan menyambut ramah. Akan tetapi, figur itu tanpa ekspresi. Wajahnya hanyalah sekumpulan merek-merek kenamaan. Disini, Farhan berusaha menggabungkan teks dan figur. Bahkan, melalui label-label itu ia menjadikan teks sebagai figur dan sebaliknya. Ikon-ikon itu berkerumun pada noktah yang membundar. Akan tetapi, beberapa simbol sengaja ditarik keluar untuk menegaskan keterbacaannya.
Dari kejauhan, simbol-simbol itu memang terlihat apik dan menarik. Warna-warna ceria– merah, kuning, hijau, dan biru–sengaja ditonjolkan agar mata dapat menangkap keindahannya yang acak. Uniknya, tak seperti menggambar sosok yang dilukis langsung, Farhan menggunakan teknik sablon untuk membuat ikon-ikon tersebut. Garis-garis tepi tampak amat rapi. Itu jelas harus dilihat secara detail dari dekat. Namun, perlu sampai di puncak untuk memandangnya dan menikmati kekaribannya.
Abstraknya teks dan realisnya figur yang menjadi keunikan para seniman sengaja dipertemukan dalam ekshibisi satu ini. Menariknya, Rismilliana yang juga penggagas ekshibisi ini tak memberikan konsep tertentu pada perupa terhadap lukisannya. Adanya penyandingan tersebut dimaksudkan untuk memamerkan kekhasan pelukis lewat karya. Dari situ, sensasi dapat dinikmati. Dorongan rasa yang muncul pun tak akan membatasi untuk menemukan sendiri makna yang dipahami. [Yuliana Ratnasari]